webnovel

Apa itu mungkin?

Aakash selalu mencari gadis kecil di masa lalu, tapi seiring berjalannya waktu ingatan tentang gadis itu mengabur hingga ia di pertemukan dengan sosok gadis periang, adik dari temannya, Noah. Pertemanan antara Aakash, Noah dan adiknya membuat mereka seperti saudara, tapi jelas berbeda dengan perasaan antara Aakash dan adiknya Noah. Ada rasa yang membuat keduanya seiring waktu terus bersama, tak cukup takdir mempermainkan berakhir insiden yang membuat terpuruk. Aakash di haruskan pergi melanjutkan untuk melanjutkan pendidikan di london. Ketika S2nya selesai, dengan modal tujuan dan tekat bulat membuatnya kembali ke negara asal tempat dimana banyak kenangan tersimpan. Tanpa di sadari Aakash kembali bertemu gadis kecil dari masa lalu, tapi keduanya tidak menyadari bahkan tidak dapat mengingat pada masa itu. Bisakah Aakash mengembalikan ingatan masa lalunya? Apa alasan di balik perginya Aakash ke luar negeri? Gadis mana yang akan Aakash pilih nantinya? Baca cerita lengkapnya di 'Apa itu mungkin?'. Update setiap malam minggu, dan enjoy guys~

Arandera · วัยรุ่น
เรตติ้งไม่พอ
3 Chs

02.

Jika tuhan selalu menolong umatnya, sudah di pastikan tuhan selalu mendengar segala keluhan dan doa-doa dari seluruh umatnya, dan seandainya boleh berharap, semua orang pasti ingin memiliki kebahagiaan dalam hidup agar tidak ada lagi yang namanya keluhan.

Ada yang berdoa ingin kaya, tapi dirinya sama sekali tidak ingin berusaha dan malah bermalas-malasan. Tidak mungkin tuhan akan memberikan rezeki lewat hujan uang turun dari langit bukan? Itu sama sekali tidak masuk akal, kecuali ada dalang yang menghamburkan uang dari atas atap rumahnya.

Ada juga yang berdoa ingin menjadi penguasa di dunia. Jika ia ingin menjadi penguasa dunia, bukankah itu sangat sulit? Seakan mengendalikan segalanya di dunia ini, dan bisa di pastikan hal seperti itu hanya bersifat sementara dan tidak kekal selamanya. Jadi, kalau ingin berharap atau berangan-angan sebenarnya sama sekali tidak salah. Tapi setidaknya memang yang bisa di capai, bukan hal yang mustahil. Ya walaupun di dunia ini tidak ada yang mustahil, atau sekedar kebetulan. Bisa saja karna tuhan mengizinkan. Tidak ada salahnya meminta kepada tuhan, tapi sebaiknya di sertai dengan usaha itu akan menghasilkan suatu yang baik.

"Sudah berdoanya, nona?"

Gea membuka matanya. Menurunkan tangan yang sebelumnya bertaut untuk berdoa, memperhatikan pria yang berdiri di sebelahnya dengan pandangan bingung. Jika di lihat dari cara berpakaian pria itu bisa di pastikan seorang pengusah, rapi dan terlihat berkharisma, aura wibawa juga terlihat jelas ada di pria itu dengan balutan jas merah maron yang melekat di tubuhnya. Tapi kenapa dia menggangguku berdoa padahal masih banyak tempat kosong di lain?, pikirnya.

"Tidak usah memandangku seperti itu, apa aku terlihat seperti pastur?"candanya.

Gea berdiri, mensejajarkan tinggi dengan pria yang baru di temuinya. Meskipun tinggi mereka berbeda jauh dengan Gea hanya setinggi bahu pria itu. "Tidak, aku tidak berpikir seperti itu,"ucap Gea seadanya.

"Hm, begitu. Ngomong-ngomong, kalau di lihat dari bajumu…"ia menggantung perkataannya, mata itu terlihat mengamati pakaian Gea dari atas sampai kaki.

"Sepertinya kau anak sekolahan. Apa kau bersekolah di dekat sini?"tanyanya.

Gea melepaskan sapu tangan berwarna putih dari atas kepalanya. "Tidak."

"Lalu kenapa kau pergi ke sini? Apa tidak kejauhan?"

"Tidak juga, aku hanya sekedar mampir untuk berdoa."

"Sepertinya kau sangat taat ya,"puji pria di sebelahnya.

"Lumayan."

Pria itu terkekeh karna setiap pertanyaan yang ia lontarkan hanya di balas singkat."Kau dingin sekali, nona."

Tangannya terjulur seakan ingin berjabat tangan. "Aku Noah,"ucap Noah ramah.

Gea melipat sapu tangan lalu memasukkan ke dalam saku rok abu-abu yang di kenakannya. Kini perhatiannya tertuju penuh pada Noah, pria yang mengganggu acara berdoanya.

Tidak ada sambutan hangat dari Gea, matanya terus memperhatikan uluran tangan Noah yang masih dengan setia menunggu jabatan tangan darinya.

Sebenarnya Gea merasa aneh dengan keberadaan Noah. Kenapa pria itu memperkenalkan dirinya padahal ia tidak meminta? Kenapa pria itu banyak tanya dan mengganggu acara berdoanya? Tidak mungkin kan secara kebetulan tuhan mengirimkan Noah untuk bertemu dengannya seperti yang Gea lihat di drama kesukaannya. Sangat tidak mungkin.

Noah menarik kembali tangannya sembari tersenyum simpul ke arah Gea. "Kalau tidak ingin jabatan tak apa, sebenarnya tidak usah malu seperti itu saat bersamaku. Anggap saja aku itu teman sekelasmu."

"Sepertinya kau jauh lebih tua jika di anggap teman sekelasku,"ucap Gea santai.

"Apa aku terlihat setua itu di matamu?"tanya Noah heran.

"Kurang lebih seperti itu."

Ternyata tidak mudah untuk berkenalan dengan gadis seperti Gea. Bukannya menyenangkan malah di buat kesal karna setiap perkataan santai dari Gea, terasa begitu menusuk. Sepertinya ia hanya di anggap gangguan bagi gadis mungil itu. Noah terkekeh jika di hadapakan gadis seperti Gea.

Kalau di luar sana para wanita berbondong-bondong mendekati bahkan merayu dirinya, berbeda dengan Gea yang terlihat cuek sedari awal saat menatap Noah.

"Gea."

Noah lagi-lagi tersenyum mendengar Gea yang akhirnya mau memperkenalkan diri padanya. Ya meskipun harus bermodal basa basi terlebih dahulu, setidaknya Gea masih merespon perkataannya meskipun agak terlambat.

"Gea ya? Nama yang bagus, apa arti namamu?"

Gea sama sekali tidak menjawab pertanyaan Noah kali ini, jemari lentik milik gadis bermata amber itu mengambil tas ransel berbentuk telinga kelinci. Mungkin orang lain berpikir hanya anak kecil saja yang mengenakannya, tapi itu salah. Karena pemilik dari tas itu adalah Gea. Apa benar gadis mungil itu bersekolah menengah atas?

Jika di lihat dari penampilannya mungkin tidak salah kalau tidak percaya kan? Badan yang mungil, dengan tas seperti anak kecil. Bisa di bilang Gea tidak mengikuti waktu pembagian tinggi badan bukan?

"Kenapa menatapku seperti itu?"tanya Gea.

Gea menyilangkan tangan di depan dadanya, menatap Noah yang terus memperhatikan dirinya dari kepala hingga ujung kaki. Risih jika di perhatikan seperti itu apalagi yang memperhatikan seorang pria.

"Apa kau melewatkan tinggi badan sebelumnya? Sepertinya tinggimu tidak sesuai dengan rata-rata anak sekolah menengah atas,"tanya Noah penasaran.

Bugh.

"Akh!!!"

Noah menjerit, tangannya langsung menutupi bagian bawah tepat di area sensitif miliknya yang terasa sakit akibat tendangan Gea. Bibirnya sukses terbuka lebar tanpa suara.

"Ka-kau…kenapa menendangnya?"Noah tak mampu berkata, rasanya ia sudah kehabisan kata-kata karna menahan rasa nyeri di area sensitifnya.

Jika saja tidak membahas hal sensitif tadi, mungkin Gea tidak akan sekasar ini pada pria yang baru di kenalnya.

"Baru bertemu tapi kau sudah tidak sopan dengan menanyakan tinggi seperti itu. Lain kali perhatikan perkataanmu, tuan Noah,"ucap Gea sebelum pergi berlalu meninggalkan Noah yang masih menatapnya tak percaya, ia keluar dari gedung membiarkan Noah menjerit kesakitan tanpa suara.

Noah bersumpah tendangan Gea begitu bertenaga membuat aset berharganya terasa begitu berdenyut nyeri. Jika tidak ingat gadis bermata amber itu mungkin masih berdiri di depan pintu gedung, Noah sudah pasti menjerit dan menangisi benda berharga miliknya.

Masa depannya terasa hancur karna tendangan yang di berikan Gea tepat mengenai pertengahan selangkangnya, rasanya sakit tapi tidak berdarah. Bukan hal baik jika berurusan dengan gadis seperti Gea.

"Holy shit."

*****

Juki menatap tumpukan buku-buku yang membuatnya nyaman beberapa hari terakhir. Menurutnya bau kertas lama dengan suasana sepi seperti ini sangat enak di jadikan tempat beristirahat, apalagi untuk tidur. Tentu saja akan terasa nyenyak.

Meskipun dia tidak terlalu suka membaca buku karena membosankan, setidaknya Juki masih menyukai tempat dimana buku-buku di kumpulkan dan menjadi tempat belajar kedua selain kelas.

Duduk di sudut tepatnya di dekat pendingin ruangan dengan rak-rak buku menutupi tempat duduk itu merupakan posisi yang nyaman jika ingin tidur atau sekedar membolos. Setidaknya Juki mendapatkan banyak tempat persembunyian saat dia membolos nanti.

Juki tidak terlalu menyukai ketika dia sendiri seperti ini, terkesan seperti anak anti sosial. Terbilang jauh dari dirinya yang sangat suka bergaul dan berteman dengan semua orang. Tapi tidak ada salahnya kalau kali ini mencoba tanpa berinteraksi bersama teman, Juki agak lelah menghadapi manusia yang selalu berubah-ubah sifatnya. Bikin bingung saja, pikirnya.

'Cepat selesaikan tugasmu, lio. Jangan membuang waktu lebih lama, kau ingin kembali menjadi dewa bukan?'

Deg.

Juki mengedarkan penglihatannya ke seluruh penjuru ruangan perpustakaan. Tapi nihil, sumber suara yang dia cari tidak ketemu. Perpustakaan juga terlihat sepi, tidak mungkin kan kalau ada yang berbicara keras di tempat seperti ini? Bisa di pastikan akan di usir jika ada yang berbicara dengan suara keras begitu. Samar-samar suara itu masih terngiang di telinganya meningatkan akan tugas belum terselesaikan.

'Apa kau tidak mengatakan padanya saja kalau kau dewa pilihan untuk menjaganya? Berhenti bermain-main di bumi, lio. Aku peringatkan kau untuk terakhir kalinya, sebelum rapat para dewa kau sudah harus menyelesaikan tugasmu itu bagaimanapun caranya. Jika tidak, lebih baik kau menjadi manusia biasa saja seperti sekarang dan selamanya.'

Juki menghela nafasnya. Membiarkan pikirannya berkelana, menikmati udara yang membantu nafasnya kembali normal. Memejamkan mata sejenak tidak ada salahnya, pikir Juki. Tangannya menyilang di depan dada dengan kepala mengadah ke atas, menatap plafon bernuansa klasik.

"Sepertinya aku mulai berhalusinasi akhir-akhir ini,"Juki memejamkan matanya, menikmati tidur siang menenangkan di tempat yang pas untuknya.

*****

"Hahaha, kenapa cara jalanmu lucu sekali?"

Noah menatap tajam pria di hadapannya. "Diamlah. Aku sedang kesakitan begini malah di tertawakan, teman macam apa kau?"ketus Noah.

"Aha, jangan-jangan kau baru saja…"pria itu semakin tertawa keras setelah menggantungkan perkataannya.

Noah melemparkan bantal sandarannya ke arah pria di hadapannya. Kesal? Jelas saja. Bagaimana tidak, saat memasuki perusahaan semua mata tertuju padanya, lebih tepat-- mengamati cara berjalan Noah yang terbilang aneh hari ini. Banyak para karyawan yang berbisik bahkan menertawakan cara berjalan atasannya.

Sedangkan pria di hadapan Noah saat ini tidak berhenti tertawa memperhatikan temannya yang terlihat begitu kesal. Coba saja saat ini dia sedang tidak ada perlu dengan Noah sudah pasti akan kelewatan momen langka dan menyenangkan seperti ini.

"Bisa kau berhenti tertawa, kas? Sudah cukup mengejek cara berjalanku seperti para karyawan di luar sana,"ucap Noah dingin.

Pria itu menghentikan tawanya, lalu berdehem menetralkan suaranya. Kini senyum kotak muncul di antara sudut bibir, memberi kesan nyaman jika melihatnya lama-lama, begitu kata wanita di luar sana saat melihat dia tersenyum. Sayangnya, dia jarang bergaul dengan wanita, lebih memilih berteman dengan pria-pria di sekelilingnya. Bukan berarti tidak normal,hanya saja dia tidak ingin mengungkapkan kenapa ia seperti itu.

"Oh ayolah, lagipula kenapa bisa cara berjalanmu mengangkang seperti itu. Apa jangan-jangan kau melakukannya? Ya, Noah kita akhirnya sudah dewasa,"kekeh Aakash.

Lagi-lagi Noah melempar bantal sofanya ke arah Aakash. "Brengsek. Kau salah paham, ini semua karna aku salah berucap dengan seorang gadis."

Kali ini Aakash di buat tertegun. Bagaimana mungkin seorang Noah membiarkan wanita memukulnya, apalagi tepat di area sensitif yang sangat di jaga. Sebelah alisnya terangkat seakan masih tidak mengerti dengan perkataan Noah dan meminta jawaban lebih atas penuturannya.

Noah menundukkan kepalanya. "Sebenarnya itu salahku,"ucap Noah mengelus tengkuknya.

"Memangnya kau berbuat apa?"tanya Aakash penasaran.

Noah melirik Aakash sekilas. "Aku hanya mengungkit hal yang mungkin sensitif dan dia tidak terima, berakhir dengan tendangan mendadak dan aku tidak sempat menghindar. Ya begitulah singkatnya,"menghela nafas merupakan kebiasaan yang dia lakukan ketika merasa bersalah.

"Jelas saja marah. Lagian kenapa mulutmu seperti wanita? Mengungkit hal yang tidak perlu, lebih baik kau simpan saja daripada berakhir seperti ini. Noah kecil yang malang,"Aakash menggelengkan kepalanya, pantas saja wanita itu marah. Jika dari awal temannya tidak mencari masalah tidak mungkin Noah akan bernasib seperti ini, pikirnya.

"Lupakan saja, aku tidak ingin mengungkitnya lagi. Ngomong-ngomong, ada yang mau di bahas? Kau bahkan tidak memberi kabar akan kemari,"Noah merasa heran dengan adanya Aakash yang tiba-tiba tanpa mengabarinya terlebih dahulu seperti biasa ia lakukan.

"Seperti yang kau tau, sekitar 2 minggu yang lalu aku baru kembali dari London setelah menyelesaikan S2ku bukan? Aku sudah memutuskan untuk bekerja dan tinggal di sini,"jelas Aakash, tanganya tak tinggal diam ia sesekali memainkan tisu yang di sediakan di meja, menunggu jawaban apa Noah berikan.

"Benarkah? Itu kabar bagus, kau tidak perlu susah - susah pergi jauh hanya untuk mengunjungi nenek,"tutur Noah.

"Itu benar, dan keputusanku pindah bukan untuk itu saja. Tapi ada alasan khusus juga,"Aakash menjeda perkataannya menunggu Noah agar menangkap dan memahami maksud kemana pembicaraannya ini.

Noah mengangguk, mengiyakan perkataan Aakash meskipun kurang mengerti ke arah mana pembicaraan kali ini akan di bawa. "and then? apa alasan khususmu itu?"

Jujur terkadang Aakash perlu banyak pertimbangan kalau berbicara dengan Noah, karena jika salah dikit maksud pembicaraan maka akan berbeda juga arti yang di tangkap Noah.

"Ekhem, sebenarnya aku hanya ingin bertemu dengannya, apa itu bisa?"tanya Aakash hati-hati.

Noah terdiam. Matanya terfokus pada Aakash, memperhatikan teman masa kecilnya sedari dulu sama sekali tidak ada perubahan. Hanya sikap dan tingginya saja yang berubah, sisanya masih sama seperti Aakash yang dia kenal.

Tidak ada masalah dengan kembalinya Aakash ke negaranya sendiri setelah 7 tahun belajar di negeri orang untuk menekuni bidangnya dan melupakan segala macam hal yang menjauhkan diri dari masa lalu agar terus maju tanpa berbalik kebelakang walau sekedar menoleh sebentar.

"Apa kau yakin?"tanya Noah memastikan.

Bukan dia melarang tujuan teman akrabnya itu, atau menutupi apa yang ingin di tutupinya. Noah tidak ingin kalau hal sama akan terulang. Apa salah jika yang di lakukan demi kebaikan temannya sendiri termasuk dirinya?

Aakash mengangguk mantap, yakin dengan apa yang ingin di lakukan. Dia tidak ingin mensia-siakan keputusan yang memakan waktu berhari-hari untuk mengutarakannya langsung seperti ini.

Bagi Aakash, bagaimanapun hasil nanti lihat saja setelahnya, sekarang dia hanya ingin menemui alasan dirinya kembali.

Noah melirik ke arah figura foto di atas meja kerjanya. Dia tersenyum, kembali mengingat kenangan masa lalu. Membawanya ingin kembali dimana saat semua hal berawal dari sana. Memberi kebahagiaan pada anak-anak ketika menikmati waktu kebersamaan yang ada.

"Ku harap itu keputusan yang tepat, bung."

Noah mengambil pulpen tinta dan secarik kertas kecil cukup untuk mengabulkan permintaan dari temannya, tanpa ragu ia menuliskan alamat yang di minta, lalu meletakkan kertas di atas meja tepat di hadapan Aakash.

Tidak butuh waktu lama berpikir ulang, Aakash langsung mengambil kertas itu, menyimpanya ke dalam saku kemeja biru langit yang ia kenakannya.

Aakash berdoa, semoga pilihannya kali ini tepat dan tidak akan lari lagi karna dia akan menetap, tidak akan takut dengan apapun tanggung jawabnya.

"Boleh aku berpesan sesuatu padamu?"

Aakash menatap Noah, menunggu pesan apa kali ini. "Apa itu?"

Bukannya menjawab, Noah mengeluarkan gantungan kunci berbentuk beruang kecil dari saku jasnya. Ia lemparkan ke arah Aakash, seakan mengerti maksud Noah dengan cepat menangkap gantungan kunci dan mengamatinya sembari mengingat dimana pernah melihat benda familiar yang ada di genggamannya saat ini.

"Dia menyukainya. Dia bilang itu pemberian darimu, terima kasih,"ucap Noah sembari tersenyum.

Mata berwarna hazel milik Aakash kembali mengamati gantungan berbentuk beruang, memutarnya mencari sesuatu yang dulu tertulis di sana. Benar saja, gantungan dulu pernah ia belikan untuk seseorang yang sangat menginginkannya. Berinisial A di kaki beruang.

Aakash mencoba menahan sesak di dada, di masukan gantungan beruang ke dalam saku celanannya. Dia berdiri, memperhatikan Noah yang menatapnya. "Kalau begitu aku berangkat, jaga dirimu. Jangan lupa kompres terlebih dahulu dengan air dingin,"ucap Aakash mengingatkan.

"Bisa kita lupakan hal tadi? Itu memalukan."

"Hahaha,aku bercanda. Terima kasih untuk alamatnya."

"Iya sama-sama. Ku harap kau tidak menyesal nantinya."

Aakash tersenyum. "Tidak akan. Aku pamit, sampai jumpa,"meninggalkan ruangan Noah dengan tergesa-gesa.

"Ku harap juga begitu,kawan."

*****

Tidak ada bulan, tidak ada bintang, hanya awan mendung menyelimuti langit malam. Lebih baik menikmati hembusan angin malam sambil meminum susu pisang yang ia beli di supermarket perempatan dekat dari taman.

Gea menatap bulan dengan tatapan kecewa, sayang sekali tak sesuai harapan. Bulan bahkan tidak ingin timbul, membiarkan lampu jalanan jadi penerang gelapnya malam. Ia terduduk di ayunan, tempat dimana Gea sering menghibur diri atau sekedar meluapkan kekesalan pada pasir di taman, entah lah dia pikir ini sudah menjadi tempat kesukaannya sejak dulu.

Melihat dari ramalan cuaca mengatakan malam akan turun hujan, dan jika tuhan berkehendak, maka Gea dengan senang hati menerima hujan di berikan tuhan. Setidaknya hujan lebih mengerti perasaannya saat ini. Terkadang Gea memikirkan hal berlebihan, seperti apa dia pernah melakukan kesalahan di masa lalu? Sehingga tuhan menghukumnya sekarang, atau memang begini takdir hidupnya? Bukan tidak mensyukuri apa yang di beri tuhan, hanya mempertanyakan kenapa sulit sekali menjalani harinya saat dia beranjak dewasa?

Semilir angin menerpa rambut Gea membuat gadis itu mengadahkan kepala ke atas, memperhatikan langit tampak cantik bersama kilatan cahaya pertanda sebentar lagi hujan akan turun.

Mungkin orang lain memilih teman sebayanya untuk menjadi teman tukar pikiran atau teman berbagi cerita, tapi bagi Gea tidak ada teman yang benar -benar mau ada di saat ia senang maupun susah. Sejak kejadian yang menewaskan kedua orang tua dan kakak laki-lakinya 11 tahun yang lalu, dia kehilangan keluarga bahkan semua kekayaan milik ayahnya. Karna waktu itu Gea hanya gadis kecil, tidak tau apa-apa selain bermain dan tertawa. Sampai paman Gea sendiri yang merebut kedudukan ayahnya dan menyingkirkan Gea dengan menitipkan ia di Gereja agar menjauh dari kehidupannya dulu.

Kalau tuhan mengasih dia kesempatan, Gea hanya ingin mengingat dimana makam kedua orang tua dan kakak laki-lakinya. Kenangannya begitu saja terlupakan akibat trauma masa lalu. Dia lupa, bagaimana wajah kedua orang tuanya. Walaupun Gea selalu memaksakan diri agar ingatan masa kecilnya kembali, tapi bukannya ingatan itu pulih malah membuat kepalanya sakit.

"Kenapa harus seperti ini tuhan?"tanya Gea dengan suara lemah.

Gea merasakan ada tetesan air dari langit yang jatuh mengenai keningnya. Dia tersenyum, hujan, gumamnya.

Membiarkan mata terpejam seakan menikmati rintik hujan membasahi bumi dan seisinya, termasuk dirinya. Gea hanya merilekskan pikiran, meyakinkan bahwa hari esok bakal lebih baik daripada hari ini, dia di ajarkan harus selalu mensyukuri segala yang di miliki karna itu semua pemberian dari tuhan. Gea yakin kalau tuhan pasti punya alasan di balik jalan hidup setiap umatnya.

Hujan semakin deras, tapi tidak ada tanda pergerakan ingin menjauh atau beranjak dari ayunan. Gea malah semakin mengeratkan pegangan tangannya di rantai ayunan, mendengarkan alunan suara air hujan yang jatuh ke atas atap rumah dengan ritme beriringan. Tuhan mengerti apa yang di inginkan setiap umatnya tanpa di ungkapkan terlebih dahulu, 7bukankah itu hebat?

Hawa dingin merasuki kulit putihnya yang tampak memucat akibat kedinginan. Tulang dan ototnya terasa lemas, meskipun begitu sang empunya tampak tak perduli, berniat untuk pulang pun tidak ada di pikiran Gea saat ini. Dia ingin mendinginkan segala pikiran dan hatinya. Mungkin setelah itu Gea baru bisa pulang dan beristirahat dengan nyenyak.

Sekitar setengah jam Gea masih setia di posisinya, terduduk sambil menikmati air hujan yang mengguyur dirinya. Gea tidak pernah terpikir ingin mati jika kedinginan seperti ini, karna dia tau seberapa kuat tubuhnya. Paling-paling cuma kena demam, pikirnya.

Lama kelamaan tetesan air hujan tak lagi mengguyur seperti sebelumnya. Terganti dengan rasa hangat walaupun sedikit, tentu saja tidak sehangat ketika kita berada di depan perapian seperti itu. Hanya saja Gea merasa ada yang janggal sekarang. Kenapa suara hujan masih terdengar di telinganya sedangkan dia tidak merasakan adanya air membasahi dirinya?

Gea membuka matanya perlahan, membiasakan cahaya yang masuk ke mata amber milik gadis mungil itu. Berkali-kali matanya berkedip, meyakinkan penglihatannya. Seorang pria berdiri dengan topi menutupi rambut berwarna coklat kegelapan dan tangannya masih setia memayungi Gea.

"Kalau ingin mati gunakan cara lain. Tidak usah menyiksa diri dengan cara kedinginan seperti ini,"pria itu lalu memindahkan payungnya ke tangan Gea.

"Apa perdulimu?"tanya Gea tampak tak senang dengan kehadiran pria di hadapannya.

"Benar juga, kenapa aku harus peduli bahkan aku sendiri tidak mengenalmu bukan begitu?"bukannya tersinggung dengan tatapan tak bersahabat dari Gea, pria itu malah memutar balik apa yang ada di pikiran Gea, seakan bisa membaca pikiran gadis mungil di depannya.

Gea terdiam. Dari sorot matanya jelas saja ia terkejut kenapa pria itu seperti membaca pikirannya padahal dia tidak mengatakannya secara langsung. Meskipun begitu Gea tidak mengindahkan perkataan lawan bicaranya, dia berdiri lalu mengembalikan payung ke pemilik asalnya.

"Aku tidak membutuhkannya."

"Kalau begitu buang saja."

Perkataan itu sukses membuat Gea membuka mulutnya, menatap lelaki di hadapannya seakan tak percaya. "Apa kau gila? Kenapa harus di buang, ini milikmu jadi bawa saja payung ini bersamamu."

"Aku tidak memerlukannya, lalu untuk apa ku bawa pulang? Lagian di supermarket juga masih ada,"jawab pria itu santai.

"Sepertinya kau orang kaya sampai tidak pernah memikirkan uang seperti itu,"ejek Gea.

"Simpan saja pemikiranmu itu…em Gea,"ucap pria itu setelah mengamati name tag Gea.

"Lebih baik kau pulang ke rumah lalu menghangatkan tubuhmu itu, bukankah anak sekolahan tidak seharusnya berada di luaran di jam malam seperti ini? Apalagi besok bukan hari libur,"lanjutnya.

Gea mengamati bajunya lalu mendecak. Baru saja pikirannya mulai tenang, lagi-lagi malah terganggu entah siapa orang yang ada di hadapannya sekarang. Kenapa tuhan suka sekali mempermainkan jalan takdir hidup seseorang? Tidak bisakah ia bertemu dengan pangeran berkuda yang menyelamatkannya dari kegelapan?

Merasa tangannya di tarik, Gea memperhatikan payung yang di kembalikan pria itu ke tangannya. Sebenarnya lumayan dia dapat payung gratis tanpa harus membeli terlebih dahulu, setidaknya tidak membuang uang, pikirnya.

"Gunakan saja, tidak usah jual mahal padaku. Itu untukmu,"ucap pria itu lalu berlari ke arah mobil sedan berwarna hitam pekat.

Gea tidak mengalihkan padangannya saat mobil sedan berwarna hitam pekat itu melaju di jalanan meninggalkan taman, tempat dimana Gea masih dengan setia memperhatikan kemana arah mobil itu pergi.

Gea tersenyum. Di liriknya payung yang melindungi kepala dan badannya dari air hujan. Lagi-lagi tuhan mempermainkan takdir, pikirnya.

"Dia pergi tanpa sempat berkenalan, menarik,"gumam Gea.

*****

- to be continue

note. semoga kalian suka sama ceritanya, jangan lupa vote and commentnya. Dukung terus ceritaku ya, terima kasih~