Lily sangat senang saat tahu Sean membawa mereka ke sebuah salah satu restoran seafood. Restoran kesukaan Lily dengan menu andalan pasta laut dan ikan bakar yang fenomenal.
"Kamu pesen apa Tan?" Tanya Sean pada Intan yang terlihat masih bingung menentukan pilihan.
"Aku samain aja kayak Lily." Putus Intan segera, berada di tempat yang penuh dengan makanan berlemak ini membuat perutnya mual, sepertinya besok Intan harus berlari sejauh 5km.
"Oke. Berarti pasta aja ya." Intan mengangguk sembari memberikan buku menu kepada pelayan yang menunggunya.
"Kamu pasta aja Ly?" Tanya Sean sekali lagi untuk memastikan.
"Iya, lagi gak mood makan."
"Tumben, tadi kayaknya seneng-seneng aja deh pas dateng kesini."
"Iya, tapi ikan bakarnya habis kak. Padahal pengennya itu. Makan pasta doang mana kenyang." Rajuk Lily, benar-benar kecewa saat ikan bakar favoritnya di restoran ini telah habis terjual.
"Lain kali kita kesini lagi aja ya?" Tawar Sean dan diangguki Lily dengan malas.
"Kak Intan dari tadi diem aja kenapa?" Tanya Lily saat melihat Intan hanya berdiam diri dikursinya.
"Gak apa-apa kok Ly. Cuma kecapean aja."
"Tadi ditanya pulang langsung gak mau, malah ngikut kesini." Lily terbengong mendengar Sean mengatakan hal yang mungkin akan membuat Intan sakit hati itu. Angkasapun jika mengatakan hal serupa pada Lily, Lily akan tidak suka.
"Ih kak Sean kok ngomongnya gitu. Tinggal bilang, 'iya habis makan kita pulang terus istirahat ya'. Apa susahnya sih?" Dengan gemas Sean mencubit pipi Lily. Namun Lily cepat-cepat melepas tangan Sean dari pipinya, sedikit tidak enak hati pada Intan yang menatapnya.
"Kamu lebih pinter dari Kak Sean Ly." Intan memberikan kedua jempolnya pada Lily. Lilypun merasa tersanjung.
"Permisi, pasta-nya tiga orange jus dua dan satu ice chocolava."
Seorang pelayan datang menyajikan makanan yang telah dipesan. Tidak menunggu waktu lagi, mereka segera memakan makanan mereka masing-masing.
Intan menyuapkan satu sendok pasta kedalam mulutnya. Intan merasakan ada sesuatu yang familiar pada pasta ini.
"Ada apa kak?" Tanya Lily yang menyadari kediaman Intan.
"Gak apa-apa kok. Pastanya enak."
"Enak kan? Ini kesukaan Lily selain ikan bakar disini." Intan mengangguk mengerti, sedikit sedih karena sepertinya Sean tahu segala hal tentang Lily namun tidak dengan dirinya.
"Oh iya Ly, aku baru tahu lho, kalau ternyata Angkasa disekolah tuh nyamar jadi cupu ya?" Lily mengangguk cepat.
"Apa gak ada yang nyadar kalau Sky Flower itu Angkasa?"
"Gak ada. Sama sekali gak ada. Padahal ya, pas pertama kali lihat Angkasa nyamar cupu aku bisa tahu kalau itu dia loh." Sean mendekatkan orange jus milik Lily.
"Minum dulu, jangan bicara sambil makan. Nanti keselek loh."
Baru saja Lily hendak meraih gelasnya, namun tiba-tiba Intan menumpahkan ice chocolava miliknya. Intan terbatuk-batuk deengan keras dan dengan sigap Lily membantu Intan untuk menepuk-nepuk punggungnya.
"Kak Intan kenapa? Ini minum orange jus punya Lily." Lily mendekatkan minuman itu pada Intan. Saat tangan Intan sudah membawa orange jus menuju mulutnya, tiba-tiba Intan terjatuh ke lantai dengan nafas yang tersengal-sengal. Sama seperti Lily jika traumanya kambuh. Hanya saja Lily melihat beberapa ruam merah di celah kemeja bagian lengannya.
"Kak Intan!" Pekik Lily saat Intan tiba-tiba kehilangan kesadarannya.
Sontak Sean yang sedari tadi terdiam kini ikut panik melihat Intan yang tidak sadarkan diri. Beberapa orang yang melihat kejadian itu kini ikut membantu Sean mengangkat Intan masuk kedalam mobilnya.
*
Lily terduduk lemas di kursi tunggu didepan kamar bangsal milik Intan. Bagaimana wanita itu tidak memberitahu jika memiliki alergi terhadap beberapa jenis makanan laut dan memakannya tanpa ragu disebuah restoran seafood.
Lily tidak mengerti.
Lily langsung menghampiri Sean yang baru saja datang entah dari mana, membawa sebungkus kantung plastik berisi air mineral.
"Ly, ini kamu minum dulu. Tadi gak sempet minum kan?"
Lily menepis tangan Sean dengan keras hingga botol minuman itu terjatuh pada lantai.
"Kak Sean dari mana aja? Apa air mineral itu lebih penting dari pacar kakak yang sekarang masih gak sadar diri?" Sean terdiam mendengar amukan Lily.
"Kakak tahu apa yang dokter bilang sama aku barusan?" Lily menarik nafasnya dalam-dalam. "Telat sedikit kita bawa kak Intan kesini dia bisa dalam bahaya."
"Bahaya gimana Ly?" Tanya Sean mulai tidak mengerti, Sean kira Intan hanya kelelahan.
"Kak Intan alergi sama pasta yang tadi kita makan."
"Alergi?" Beo Sean.
"Jangan bilang kakak gak tahu kalau Kak Intan punya alergi sama udang dan sejenisnya?" Lily mengela nafas frustasi. "Ya, kalau kakak tahu pasti gak bakal biarin kak Intan makan pasta itu." Jawab Lily sendiri.
Lily melirik garang kearah Sean yang masih berdiam diri seperti orang bodoh. Lily ingin melempar Sean ke lautan yang luas, tapi tidak mungkin Lily lakukan karena Lily ingat Sean adalah penolongnya dari kejadian kelamnya.
"Kak Sean harusnya pilih restoran biasa aja, kenapa harus pilih restoran seafood?!" Lily kembali terduduk lemas dan meremas kepalanya yang sama sekali tidak pusing.
"Aku pilih restoran itu karena itu restoran kesukaan kamu."
"Kenapa? Kenapa harus restoran yang aku suka. Aku gak masalah kok Kak Sean sama Kak Intan mau bawa aku makan kemanapun..."
".. Sikap Kak Sean ke Kak Intan akhir-akhir ini juga aneh banget tau gak? Gak kayak orang pacaran pada umumnya. Kalau kak Sean beneran sayang sama Kak Intan harusnya jangan kayak gini."
Sean hanya terdiam mendengar omelan Lily. Beruntung di koridor ini sepi dan kebanyakan bangsal memiliki ruangan yang kedap suara, sehingga tidak mengganggu para pasien.
"Kakak pacarnya kak Intan kan?" Tanya Lily, frustasi rasanya saat berbicara tapi tidak mendapat jawaban. Seperti berbicara pada tembok.
"Jawab kak!"
"Iya aku pacarnya Intan. Tapi.." Jawab Sean pada akhirnya.
"Tapi apa?" Desak Lily.
"Tapi aku suka sama kamu!" Lily melotot, apa lagi ini?
"Maksud kakak apa? Kakak kan pacarnya kak Intan harusnya kakak sukanya ke Kak Intan."
"Aku tahu, aku tahu Ly. Tapi setiap lihat kamu sama Angkasa kakak gak suka, kakak marah!" Lily tecenung, tidak menyangka Sean menyimpan hal seperti itu padanya.
"Terus kakak artiin itu sebagai rasa suka gitu?" Sean gila, Lily ingin membenturkan kepala Sean dengan benda apapun yang bisa membuatnya tersadar.
"Itu cuma obsesi kak. Kakak cuma pengen lindungin aku aja, karena kakak tahu semua masa lalu kelamku. Lagian aku cuma anggep kakak ya sebagai kakak. Enggak lebih." Tekan Lily pada kalimat terakhirnya.
"Apa kamu gak bisa terima perasaan kakak ke kamu Ly? Anggap saja itu rasa terima kasih kamu karena kakak udah nolongin kamu dari kejadian itu."
"Aku, sangat berterima kasih sama kakak karena udah nolong aku waktu itu. Tapi gak gini juga caranya!"
Sean menarik Lily kedalam pelukannya secara paksa, membuat Lily berontak dengan kencang. "Pokoknya kakak suka sama kamu dan kakak cinta sama kamu. Kamu cuma perlu tahu itu!"
Lily melepas pelukan itu dengan sekuat tenaganya.
"Aku gak mau tahu. Yang aku mau tahu sekarang, Kak Sean urusin Kak Intan yang lagi sakit di dalem sana, jangan sampai Kak Sean buat kak Intan kecewa atau aku bakal marah sama kakak."
Lily segera pergi dari sana dengan langkah besar, meninggalkan Sean dengan hati yang berantakan. Bagaimana mungkin orang yang Lily anggap sebagai kakak, ternyata malah menyimpan perasaan berlebih padanya?
Lily benar-benar tidak menyangka.
"Lily!"
Lily segera menoleh pada sosok yang memanggilnya dari kejauhan. Saat melihat sosok Angkasa yang tampan berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri, Lily meneteskan air matanya.
Langkah kaki Lily perlahan mendekati Angkasa yang juga berjalan kearah Lily sambil melambaikan tangannya.
"Katanya Kak Intan.." Ucapan Angkasa terpotong disaat Lily tiba-tiba memeluknya.
"Jangan kesana." Lily terisak, membuat Angkasa terheran dengan apa yang terjadi. Angkasa mengelus pelan rambut pendek Lily, sesekali mengecup puncak kepala Lily. Berharap perasaan Lily sedikit membaik.
Gelapnya malam dan sedikitnya penerangan lampu tempat parkir rumah sakit ini, membuat Angkasa tidak bisa melihat ekspresi Lily.
Rindu Angkasa untuk memeluk Lily sedikit terobati. Tapi tidak ingin saat Lily menangis seperti ini.
"Kenapa Ly? Kak Sean marah sama kamu?" Lily menggeleng kuat-kuat dalam pelukan Angkasa.
"Jangan kesana." Lirih Lily sebelum akhirnya kesadarannya hilang dalam pelukan Angkasa.