Lily memang sudah berjanji dan bertekad bulat untuk tetap di samping Angkasa bahkan dengan traumanya yang mungkin bisa muncul kembali. Mungkin beberapa hari ini Lily masih bisa menyembunyikan keresahannya, namun Lily tidak bisa menjamin untuk hari-hari yang akan datang.
Seperti biasa jika Lily mengintip kedalam kelas Angkasa, maka Doni akan memberitahunya bahwa Angkasa sedang berada di perpustakaan, karena sebentar lagi olimpiade akan diadakan.
Lily selalu menemukan Angkasa berada di meja barisan tengah dan duduk di dekat jendela yang anginnya berhembus kecang hingga membuat tirai berterbangan.
Pemandangan ini sangat Lily sukai, dimana Angkasa fokus belajar, membalik lembar demi lembar buku. Lily akan memperhatikan Angkasa dari celah buku yang tertata rapi di rak selama beberapa menit, sebelum akhirnya menghampiri Angkasa dan mengganggu konsentrasinya, ini merupakan hobi baru Lily.
"BA!"
Bukannya terkejut Angkasa malah tersenyum kearah Lily. Lily? Tentu mendapat teguran karena berisik di perpustakaan.
"Sa, aku ganggu kamu gak?" Tanya Lily setelah semua kembali pada aktivitas membaca mereka masing-masing.
"Kenapa?" Angkasa meletakkan pensil yang digunakannya untuk menulis, bersiap mendengarkan Lily. Tapi begitu Angkasa menunggu, Lily tak kunjung mengucapkan satu katapun.
Angkasa memajukan tubuhnya mendekat kearah Lily yang duduk dihadapannya. Sontak Lily menahan nafasnya dikala nafas Angkasa menerpa permukaan wajahnya.
"Kamu habis dari mana? Kok ada rumput kering di rambut kamu." Angkasa kembali kekursinya sembari membuang rumput kering kesembarang arah.
"Maafin aku ya Ly, kayaknya nanti aku gak bisa ikut study tour sama kamu. Soalnya ada olimpiade." Lily tersenyum simpul melihat kekhawatiran Angkasa.
"Aku tahu kok, udah dikasih tahu Rena dari kemarin." Rasa bersalah muncul di pucuk hati Angkasa. Sebenarnya Angkasa sedikit menantikan hari itu, dimana dirinya bisa bersenang-senang bersama Lily.
"Maaf Ly, aku gak kasih tahu dari kemarin. Aku takut kamu marah." Lily mengernyit, sejak kapan Angkasa memikirkan hal seperti itu? Entah mengapa Lily lebih suka saat Angkasa mengatakan semua hal apa adanya.
"Aku gak akan marah, toh juga olimpiade itu juga buat masa depan kamu." Angkasa mengangguk setuju. Tangan Angkasa yang terulur kearah Lily terhenti.
"Kamu lanjut belajar lagi aja. Aku balik ke kelas duluan ya?" Tanpa menunggu jawaban Angkasa,Lily segera berlari keluar perpustakaan.
Meninggalkan Angkasa yang menatap kepergian Lily dengan penuh tanda tanya.
*
Lily berlari dengan kencang menuju kamar mandi, masuk kedalam salah satu bilik dan menguncinya. Lily memposisikan dirinya duduk diatas toilet yang tertutup.
Lily berusaha mengatur nafasnya yang tidak beraturan. Tangannya mencengkram erat kerah depan seragamnya, seakan ada sesuatu disana hingga membuatnya sulit bernafas.
Keningnya penuh dengan peluh. Raut mukanya memerah. Lily benar-benar kesakitan saat ini. Tangan Lily bergetar meraih obat yang ada disakunya dan segera menelan obat itu bulat-bulat.
Begitu merasa keadaannya sedikit membaik, Lily keluar dari sana berencana kembali ke kelas, atau jika nafasnya kembali hilang, Lily akan berbelok saja ke UKS.
Trauma Lily seakan kembali ke masa awal dirinya baru tertimpa kejadian buruk itu. Lily tidak boleh seperti ini, Lily harus kuat. Lily tidak boleh lemah karena Angkasa.
Semua orang yang Lily lewati menatapnya aneh. Bisikan seperti..
"Wajahnya pucat banget."
"Tanyain gih."
"Tolongin tuh."
"Sakit apa gimana?"
"Lo aja sana samperin."
Apa wajahnya terlalu pucat hingga semua orang terheran-heran menatapnya?
Entah mengapa Lily merasa jarak kelas menjadi sangat jauh, sudah sedari tadi Lily berjalan tapi kelasnya tak kunjung terlihat.
Saat itulah nafasnya kembali menjadi berat, dunia seakan berputar dengan cepat dan bayangan hitam menyeruak masuk kedalam matanya secara perlahan.
*
Angkasa menyusul Lily yang berkata akan kembali ke kelas, namun Angkasa tidak menemukan Lily ada disana. Angkasa kembali berlari menuju perpustakaan yang mungkin Lily kembali lagi kesana, tapi Angkasa juga tidak menemukannya.
Angkasa terhenti dikala petugas perpustakaan menghentikannya.
"Sa, sini ibu kasih tahu." Angkasa mendekat pada Bu Umi, selaku kepala perpustakaan sekaligus satu-satunya petugas perpustakaan besar milik sekolahnya.
"Ada apa Bu?" Angkasa mengernyit heran disaat Bu Umi menunjukkan satu buku yang belum pernah dilihatnya.
"Ini buku buat kamu." Buku tebal yang terlihat masih baru itu menarik perhatian Angkasa terlebih judul buku yang tak asing baginya.
"Buku buat saya? Kenapa kasih ke saya bu, pasti dapetinnya susah kan bu." Setahu Angkasa buku ini sangat sulit didapatkan, baginya buku ini termasuk mahal sebanding dengan banyak keunggulan didalamnya.
"Iya buat kamu. Ibu sengaja menggunakan nama sekolah untuk beli buku ini, tapi tenang saja buku ini ibu beli pakai uang ibu sendiri. Cuma ya, harus pinjam nama sekolah supaya bisa terbeli. Sudah bawa saja. Ini bisa bantu olimpiade kamu." Angkasa tersenyum haru, Bu Umi adalah orang yang selama ini membantu kesulitan Angkasa saat belajar di perpustakaan.
"Kalau gitu saya bawa ya bu. Tapi pasti ada apa-apanya nih. Gak mungkin kasih buku semahal ini cuma-cuma." Tebak Angkasa. Benar saja, Bu Umi mengangguk, membenarkan ucapan Angkasa.
"Sebenernya, ibu mau minta tolong sama kamu."
"Minta tolong apa bu? Minta tanda tangan artis?" Bukan rahasia lagi jika para guru tahu tentang karir model Angkasa, untuk mendukung jadwalnya.
"Bukan ih, kamu kenal artis senior Giordano?" Angkasa mengangguk.
"Kenal sih bu, cuma gak deket banget. Cuma ya sebatas sapa. Emang kenapa bu?" Bu Umi menghela nafas kasar.
"Jadi, ibu ketemu dia pas di kondangan temen." Bu Umi mengecilkan suaranya. "Dia suka neror ibu setelah pertemuan itu. Suka telfon, kirim pesan gak penting juga."
"Masa bu?" Ujar Angkasa sedikit tidak percaya. Sebenarnya kepala perpustakaan memang ini masihlah muda dan memiliki wajah yang cantik. Hanya saja nol besar untuk berpenampilan.
"Iya, tapi percuma deh. Kamu gak kenal orangnya. Sana kekelas keburu jam masuk." Angkasa mengangkat bahunya acuh, tak lupa berterima kasih untuk buku yang sudah Bu Umi berikan padanya secara gratis.
Angkasa berjalan gontai membawa buku tebal itu. Angkasa berhenti dikala kerumunan siswa dan siswi menghalangi jalan menuju kelasnya.
Beberapa anak yang berlari untuk memanggil guru, menyenggol Angkasa hingga membuat buku tebal itu terjatuh. Angkasa menunduk mengambil buku yang terjatuh didekat kakinya sembari mengintip dicelah kaki orang-orang yang berdiri berkerumun.
Angkasa melihat rambut pendek yang tidak asing ada diantara kerumunan itu. Sontak Angkasa mendekat, membelah kerumunan hingga dirinya bisa melihat jelas Lily tergeletak tak sadarkan diri disana, tanpa satupun berniat membawanya pergi ke tempat yang aman.
Angkasa menjatuhkan bukunya dan menghampiri Lily yang tergeletak disana.
"Ly, bangun. Ini aku." Angkasa menepuk-nepuk pipi Lily perlahan. Namun tak kunjung mendapat respon. Angkasa menempelkan jari telunjuknya di hidung Lily.
Mata Angkasa membulat sempurna dikala nafas Lily berhembus sangat tipis dan nyaris tidak terasa oleh kulitnya.
"Dia kenapa?" Tanya Angkasa pada orang-orang disekitarnya. Seorang siswa laki-laki berpenampilan rapi datang, terdapat bet PMR di lengan bajunya.
"Dia kenapa?!"
"Katanya dia sempet kesulitan nafas, hampir kayak kejang-kejang dan berakhir pingsan." Ujar anak PMR itu sembari mengusapkan minyak kayu putih di tangan Lily dan terus mengusapnya.
Tangan Angkasa bergetar terus berusaha membuat Lily tersadar dari pingsannya.
"Tapi gak papa. Dia beberapa kali gini di UKS dan penyebabnya bukan karena penyakit. Jadi bakal membaik seiring jalannya waktu." Apa maksudnya dengan beberapa kali? Kenapa Angkasa sama sekali tidak tahu hal itu?
"Sekarang kita bawa dia ke UKS dulu." Angkasa benci mengetahui ada orang lain yang lebih mengetahui hal-hal tentang Lily dibanding dirinya.
Angkasa menepis tangan siswa itu yang hendak mengambil alih Lily darinya.
"Jangan sentuh dia." Ucap Angkasa menatap siswa itu tajam. Tak memedulikan tatapan aneh siswa itu, Angkasa segera menggendong Lily pergi menuju UKS.