"Ephemeral ...."
[ANGELIC DEVIL: The Crown]
Enam Hari Lalu ....
____________________
Kacrak! Kacrak! Kacrak!
Kacrak! Kacrak! Kacrak!
"ANGKAT TANGANMU DAN JANGAN BERGERAK!"
Mile pun mengangkat kedua tangannya perlahan. Dia menatap moncong-moncong itu dengan senyuman, lalu mengajukan pembelaan. "Ha ha ha ha ha, apa kalian ingin menembakku?" tanyanya. "Silahkan. Aku yakin siapa pun bisa melihat, bahwa aku tidak menyerang terlebih dahulu."
Mereka pun tampak geram, tapi mau bagaimana jika itu kebenarannya. "YA SUDAH, BERDIRI!" bentak cluster yang paling dekat. Dia menjambak kerah Mile Phakphum. Menyeretnya. Lalu melempar Alpha itu ke mobil.
BRAAAKKKKKHHH!!
"BANGSAT!" maki Mile karena wajahnya terbentur kaca. Namun, dia sadar diri tak punya tenaga lagi. Babak belur. Juga kalah jumlah dengan mereka. Alpha itu pun melirik Paing yang sudah ambruk ke paving. Batuk-batuk. Lalu muntah darah ketiga kalinya.
"UHUK! UHUK! UHOOOOKKH!"
Mile akhirnya mundur dengan kontak yang bergemerincing. Alpha itu keluar gerbang dengan suara gas urgen. Langsung pergi. Samasekali tak menoleh lagi ke belakang.
SRAAAAAKKKHH!
Suara ban mobilnya juga menjadi-jadi. Sangat agresif. Karena rencana berkelahi kalau bisa tak digunakan saat bertamu tadi. "DASAR BEDEBAH ITU! ARRRGHH!" teriaknya sambil memukul setir mobil.
BRAKH! BRAKH! BRAKH!
Bukannya apa. Ekspektasi Mile memang membuat keributan di sana. Menekan Apo dan selingkuhannya. Mengancam mereka. Sehingga Apo panik dan pulang ke rumah. Terpaksa atau tidak, TERSERAH! Mile ingin mengunci Apo sehari di dalam. Mengajaknya bicara, atau mengklaim-nya sekalian. Namun, Paing ternyata membaca dirinya begitu tajam. Alpha itu malah menidurkan Apo. Mengamankannya, padahal harusnya biarkan saja sang Omega mendengar obrolan di tempat itu.
"Ini antara kau dan aku saja, huh? HA HA HA! BAGUS! MEMANG HARUSNYA BEGITU!!" tawa Mile, walau tatapan matanya getir sekali. ".... aku sudah lama sekali ingin menghajarmu, Takhon. Sangat. Siapa kau meletakkan tangan pada istriku," katanya dengan genggaman mengerat.
BRRRRRRRMMMMMMM!!
Mile pun melaju lebih kencang saat memasuki jalan tol. Dadanya panas mengingat seberapa clingy Apo Nattawin, atau caranya tidur pulas di sisi Paing. Dia benar-benar seperti kucing yang lucu. Dimana dulu Apo hanya pernah meringkuk padanya. Memeluk lengannya, dan Mile betah untuk meniti hidung mancungnya.
Dengan telunjuk. Dengan kecupan. Tapi Apo tidak bangun dan hanya menggeram. "Hmmngh ... Mile?" katanya sebelum lelap kembali.
BRAKKKKHHHH!
LANTAS KENAPA SEKARANG DIA BEGITU PADA ALPHA LAINNYA?! BRENGSEK!
Mile pun mengamuk sepanjang jalan. Dia mendesis ketika sadar darah berceceran di lantai mobil. Dan ternyata itu berasal dari lengan serta lututnya. Sial! Pelintiran Paing sungguhan tak main-main. Mile yakin dia patah tulang jika Alpha itu sehat keseluruhan.
"Ah, aku harus pulang sekarang ...." batin Mile. Lalu menelepon Sou agar datang segera ke rumah. Dokter pribadi Keluarga Romsaithong itu sedikit terkejut. Sebab dia yang menjaga Pomchay justru diminta hadir mendadak. "Iya, sekarang. Kutunggu di rumahku sendiri. Tidak pakai lama," katanya.
"Baik, baik! Saya akan segera ke sana!" kata Sou. Dokter itu pun membenahi selimut Pomchay. Siap-siap. Lalu segera berangkat dengan mobilnya.
BRRRRRRRMMMMM!
Mile langsung menutup sambungan. Dia melempar ponsel itu ke jok samping. Agak kesal. Mungkin karena nyeri dan perihnya mulai terasa jelas. "Ssshh ... fuck!" makinya pelan. "Harusnya kusisakan satu glock untuk jaga-jaga saja ...."
"MAMAAAAAAAAAAAAA!" teriak Alan saat pulang sekolah. Pukul 11, bocah itu berlari pada ibunya. Masuk studio tanpa mencopot sepatu. Lalu loncat-loncat sambil menunjukkan piagam di tangan.
"Aaapa, Sayaaang?" tanya Nazha. Sambil tersenyum, wanita itu pun minta break kepada fotografernya. Menggendong Alan. Toh itu sesi photoshoot majalahnya sendiri. "Sini!"
BRUGH!
"LIHAT! MA MA! Alan dapat juara 1!" kata Alan gembira. Meski baru pindah, bocah itu pun masuk kelas piano, dan gurunya langsung mengikutkan lomba karena Alan sudah ahli. Dia mewakili sekolahnya sebagai peserta termuda. Dan hasilnya memang luar biasa.
"Woaaaah, keren! Sekarang tos dulu sama Mama. Sini!"
Plakh!
"TOSSSSSSS!! Hihihihihi!" kikik si bocah pelan. Alan kelihatannya bangga sekali, apalagi saat Nazha mengecek piagam itu. Matanya berbinar karena senyuman sang ibu. Dan inilah kesempatan tepat untuk meminta hadiah.
"Hm? Apa? Mama benar-benar tidak dengar," kata Nazha menggoda. "Coba ulangi sekali lagi?" pintanya, lalu mendekatkan telinganya ke bibir Alan.
Alan pun menarik gaunnya geregetan. "Ih! Mama!" bisiknya. "Aku au pakai baju yang kembaran ama Daddy. Boleh?"
Kening Nazha langsung berhias kernyitan. "Eh? Kembaran? Maksudmu baju yang mana?" tanyanya.
Alan pun menunjuk-nunjuk lehernya. "Itu ... yang sini ...." katanya. "Ada dasi-dasinya ...."
"Oh ...." desah Nazha. Lalu mengangguk paham. Dia membayangkan Alan memakai suit jas mungil. Berpose ala Mile Phakphum. Dan mata bocahnya menatap kamera polos. "Bagus. Tapi kenapa mendadak ingin begitu? Baju suit tidak nyaman loh, Sayang. Gerah, sesak, dan banyak lapisannya."
Alan malah cemberut mendengarnya. "Ahh! Pokoknya suka!" katanya. "Alan au keren kayak Daddy. Boleh yaaaa?" bujuknya. Padahal apapun yang bocah itu mau, Nazha akan mengambilnya asal senyum gemasnya terlihat. "Pweaseeee! Pweaaaseeee!"
Nazha pun menyerang Alan dengan ciuman. Dia menggigit pipi si bocah dengan menggunakan bibir. Sementara Alan tertawa sambil menampar mukanya.
Plakh!
"AHAHAHAHAHAHAHAHAHAH! NOOO!! STOOOOP! MAMAAAA!! HAHAHAHAHAHAHA!" jerit Alan membuat studio ricuh. Dia protes malu karena dikasih cermin. Lalu mencebikkan bibir karena pipinya terhiasi lipstik.
Pakh!
"Aduh!"
Alan balas mencubit pipi ibunya gemas. "Iiiyyy, jeylek!" katanya tidak terima. Bocah itu pun merajuk sambil mengomel. Sementara Nazha cukup mengusapi bekas itu dengan tisu basah.
"Ish, ish, ish ... kau ini. Awas kalau fotonya selesai, ya. Bertahanlah kalau Mama serang lagi, hmph."
Alan pun menolak kalah dengan sang ibu. "Aish, Mama nakal!" katanya. "Nanti aku ama Daddy aja! Hmph."
Nazha pun menyuapi Alan makan siang dahulu. Dia lantas meminta si bocah menunggu, sementara dia harus menyelesaikan sesi photoshoot. Tak apa. Semua baik. Alan tampak senang tiduran di sofa panjang. Nonton YouTube ditemani babysitter, dan isinya anime Naruto.
"Woahahah! BAM! Amaterasu!" jerit Alan saat Itachi mengeluarkan jurus mangekyou sharinggan. Alan mungkin tidak memahami keseluruhan, tapi senang dengan pembawaan anime tersebut.
Well, meskipun manja dan cengeng, Alan adalah dunia Nazha Bextiar. Bocah itu sering diikut sertakan kemana pun dia pergi. Dan Nazha lebih sering merawatnya sendiri daripada ke babysitter.
"Oh, iya ... Mama. Aku au kasih lihat itunya ke Daddy," kata Alan saat digandeng keluar studio. Dia mendongak lucu kepada Nazha. Agak sedih, dan langkahnya terseok-seok untuk mengimbangi sang ibu. ".... ayo pulaaang."
"Heeeh ... Daddy jam segini masih kerja, oke? Jadi ayo main sama Mama dulu."
"Unn, tapi kan bisa ke tempat kerjanya Daddy ...." kata Alan. "Kayak yang waktu itu loh Ma. Aku kangen ...."
Nazha pun menghela napas panjang. Memang susah kalau sudah begini, batinnya. Wanita itu pun membujuk Alan beberapa kali. Tapi dia memang paling lengket dengan sosok ayah. Nazha sampai harus mengajak si bocah keliling kota, tapi tetap merengut juga. Dia membiarkan es krim di tangan mencair. Tidak dijilat. Sementara Nazha sigap mengelapi jemarinya dengan tisu. "Ah! Sayang, ya ampun ...." keluhnya.
Alan pun meremas es krim itu sampai berjatuhan. Tapi dia memang pantang melempar suatu barang. Walau tetap keras kepala dengan caranya sendiri. Dia mewarisi sifat Mile maupun dirinya. Sangat teguh. Untungnya punya sisi lembut Liu Hanyi.
Ah, entah bagaimana kalau dulu Alan tidak pernah dipegang lelaki itu. Nazha pun akhirnya menuruti, tapi bingung juga karena siapa pun tidak tahu dimana Mile berada. Baik rumah maupun kantor, mereka miss informasi karena Mile keluar di jam istirahat. Seharusnya dia kembali saat jam kerja masuk kembali. "Kenapa tidak mengangkat teleponku juga," gumamnya. Padahal nada sambung terdengar di seberang sana.
Apa sedang di rumahnya sendiri? Pikir Nazha. Dia pun meninggalkan satu pesan untuk Mile. Yang isinya seperti ini.
[Mile, Apo pernah bilang dia tidak tinggal di rumah kalian lagi. Jadi, apa dia bersama Tuan Takhon? Kurasa tak masalah kan kalau Alan kubawa ke sana? Dia ingin bertemu denganmu]
___ Nazha
Namun, Mile benar-benar tidak merespon waktu itu. Padahal Nazha yakin harusnya Mile standby untuk untuk makan siang. "Kau ini sebenarnya dimana?" gumamnya.
Tahu-tahu mobil Kia Rio-nya memasuki kawasan rumah Mile, tapi Nazha juga tidak menemukan sang suami di dalam sana.
"Tidak ada pulang?" tanya Nazha saat dipersilahkan duduk para pelayan. Mereka tampak sopan saat menyambutnya. Mungkin karena Mile tidak pernah punya tamu sejak Apo pergi. Jadi, itu putera pertamanya Tuan Mile? Pikir mereka gemas. Alan juga senang dengan puding yang disajikan. Bahkan aktif menjawab saat diajak mengobrol.
"Belum, Nyonya. Tapi tunggu saja, kalau Anda bersedia," kata si pelayan sambil tersenyum. "Beliau pasti pulang kok. Tuan Mile jarang keluar malam akhir-akhir ini."
"Oh ...."
"Jadi palingan nanti sore ...."
Nazha pun mengangguk pelan. "Oke." Wanita itu membiarkan Alan diajak main oleh beberapa pelayan. Toh mereka welcome sekali. Tidak seorang pun tahu Mile melarang mereka masuk ke rumah ini. Atau siapa pun yang dia kehendaki.
Pelayan pun tak pernah diberi titah. Pikir mereka, rumah tangga retak pasti memiliki efek. Namun, mereka juga tidak buta kalau Apo sempat bertamu beberapa minggu lalu. Mereka cukup senang Mile dan Apo bisa bicara "wajar", setidaknya bukan pakai pukul-pukul seperti dulu. Jadi, apa Tuan mengundang istri mudanya tinggal di sini? Pikir mereka. Dan beliau ini cantik sekali ... wah ....
"Aku? Hahaha, iya. Model juga. Terima kasih," kata Nazha saat dipuji beberapa pelayan. Mereka bercengkerama wajarnya kepada tamu. Tapi jelas lebih antusias karena Nazha dan Alan sudah masuk dalam keluarga Romsaithong.
"Mau berkeliling sebentar, Tuan Muda?" ajak seorang pelayan kepada Alan. Si bocah langsung meraih tangannya. Kemudian nyengir-nyengir tipis.
"Wah! Boleeeeh?" kata Alan.
"Boleh, kenapa tidak?" kata si pelayan sambil mengulurkan tangan. Alan pun menyambutnya dengan gandengan. Lalu mengikuti langkahnya ke banyak ruang. Bocah itu tampak senang karena ada banyak foto di rumah itu. Pajangan-pajangan "adek bayi" terpotret di sepanjang dinding. Dan Nazha ikut mereka untuk memantau.
"Ayiiiii! Maaaa! Maaaaa!" jerit Alan kesenangan. Dia menunjuk triplets yang usianya masih berapa bulan. Dan jepretannya jelas memanjakan mata. Bagaimana pun Mile adalah fotografer editorial, maka jangan ragukan kualitas estetika di setiap foto. Ada yang dicetak super besar nyaris menyamai dinding. Ada yang sedang-sedang berbagai ukuran. Ada juga yang ditata rapi kecil-kecil. Semuanya berisi Apo dan triplets. Foto Mile sendiri tak sebanyak itu. Menandakan sang Omega benar-benar dunia sang Alpha. "Woah! Peri kecil!!"
Nazha pun menoleh ke foto Kaylee yang meringkuk menggunakan sayap di punggung mulusnya. Baby itu tampak damai saat memejamkan mata. Menurut dijepret, tapi bukan Nazha Bextiar jika tak peka. "Tapi senyum Omega ini samasekali tak lega," batinnya saat meraba figura terbesar. Di situlah keluarga Mile ter-capture lengkap. Ada Mile, Apo, dan ketiga bayi mereka. Sayang Apo seperti menahan amarah.
Kenapa?
Apo juga berkeringat sedikit. Keningnya hangat, seolah baru tergesa melakukan sesuatu, tapi dipaksa hadir di tempat itu.
Ini sungguh-sungguh aneh ....
BRAKKKHHH! PRAAAANNGGGG!
"AAAAAAAAAAAAAAA!" teriak Alan tiba-tiba. Nazha sendiri pun terlonjak mundur. Kaget setengah mati. Sebab figura tersebut jatuh hingga kacanya pecah berkeping-keping. Untungnya Nazha sigap menarik Alan, lalu mundur sebelum benda itu menghantam lantai. "MAAAAMAAAAAAAAAAAAA!!"
BRAAAKKKKKKHHHHHH!
Alan pun menangis kencang karena kaget. Suara bantingannya begitu keras. Sehingga dia digendong Nazha untuk ditenangkan secepat mungkin. Sayang, semakin Nazha membujuk, semakin menjadi-jadi juga jeritan Alan. Sudah dasarnya cengeng, bocah itu pun ketakutan karena kaca yang berserakan di sekitar.
Nazha sendiri heran dengan pemandangan di depan matanya. Sebab ada dinding putar yang berbalik pelan-pelan. Isinya 2 jas pernikahan yang dipajang di manequin. Sepatu-sepatu bayi di lemari kaca. Beberapa figura hasil USG. Dan ada juga yang berupa boneka kain super mungil. Itu seperti jahitan tangan sendiri? Nazha tebak Apo yang membuat benda tersebut, karena Mile mustahil melakukan pekerjaan sedetail itu.
"HUAAAAAAA!! AAAAAAAA!"
"Tenang, Sayang. Sssshh ... ssshh ... shh ... sshhh .... cup-cup ...."
Nazha pun terus melipur puteranya. Dia bahkan menggunakan syal untuk mengusapi air mata Alan. Lalu menciumi wajahnya yang merah. Oh, dia pun menyadari sesuatu. Mungkin tadi Alan bermain di sekitar patung kucing kayu. Dan bagian ekor sebenarnya merupakan tuas mungil.
Ini benar-benar bukan pajangan biasa, pikir Nazha sambil memuntirnya ekornya ulang. Dia masih menggendong Alan yang perlahan mereda. Menyaksikan bagaimana dinding itu berbalik seperti semula--tapi bisa jadi Alan tadi keliru arah.
Yang harusnya memutar ke kanan, justru Alan memutarnya ke kiri. Jadilah dinding itu maju 2 jengkal. Menggetarkan figura barusan. Sehingga jatuh ke lantai. Oke, jadi kira-kira begitu, batin Nazha. High heels-nya pun mundur setelah menganalisa, padahal jantung ikut panik dan keringat dinginnya mengucur deras.
"Sebentar, ya sayang. Mama telepon seseorang dulu," kata Nazha sambil memandangi ceceran kaca di lantai. "Iya, halo? Aku butuh bantuanmu." Dia bilang. "Hu-um, kemarilah untuk mengecek figura yang persis ini. Lalu carikan yang baru ... iya ... it's okay. Gampang kalau soal biayanya. Yang penting cepat, oke? Aku mau fotonya dipasang ulang sebelum jam 3."
"Baik, Nona!" sahut suara dari seberang sana.
Nazha pun mematikan sambungan. Wanita itu tampak sangat resah, lalu menoleh ke belakang sekali lagi. "Ah, semoga Mile benar-benar tidak pulang hingga nanti sore," batinnya
BRAKHHHHH!
"APA YANG KAU LAKUKAN DI SINI?!"
DEG
"Mile?"
Mendengar suara keributan itu, seketika Nazha pun berbalik ke belakang. Dia melihat sang suami babak belur di sana-sini. Sangat mengerikan. Bahkan Alan saja sampai pucat melihat Mile Phakphum.
"D-Daddy?" panggil Alan. Tapi daripada wajah merah bocah itu, Mile justru teralih pada kekacauan di dalam rumahnya.
"Hahh ... hahh ... hahh ...." desah Mile yang masih emosi dari luar sana. Alpha itu makin tampak geram. Kesal luar biasa. Lalu mendekat dengan langkah menghentak. "SEJAK KAPAN AKU MENGIZINKANMU KEMARI, NAZHA?! TIDAK PERNAH!"
DEG
"HEI, MILE! TUNGGU, TUNGGU, TUNGGU, MILE!"
PLARRRRRRRRRRRRR!!
Gamparan Mile ternyata lebih cepat daripada protesan Nazha.
"TUAN MILE! OH TUHAN, TUAN MILE!" panggil para pelayan di sekitarnya.
"DIAM KALIAN! MEMANG BRENGSEK KALIAN SEMUA!"
PLARRRRRRRR! PLARRRRRRRR!
"MILEEE! ITU SAKIT!" terik Nazha yang telinganya sudah berdarah. Namun, rupanya sang suami benar-benar sudah gelap mata. Alpha itu bahkan menyeret Nazha hingga terbanting ke perabotan. Tak peduli. Sementara Nazha hanya memeluk Alan seerat mungkin.
BRAAAAKKKKHHHHH!
"ARRRGGGHHHHH!" teriak Mile.
BUAAAGHH! BUAGHHHH!
"MILE PHAKPHUM!! BRENGSEK!!"
PLAARRRRRR!! PLARRRRRR!!
"DADDDYYYY!!! HUUAAAAAAA!!"
Alan pun menangis lagi di tengah-tengah mereka. Dia memeluk erat sang ibu. Takut luar biasa. Karena yang Alan lihat sekarang bukanlah sesosok ayah. Tapi monster--dan itu makin parah karena Alan pun ikut kena gampar hingga Nazha jatuh untuk melindungi dia.
BRUGGHHHH!
"ALAN! ALAN! ALAN!" jerit Nazha. Dia bertahan, meskipun dijambak dari belakang. Digampar lagi. Tapi kali ini para pelayan ikut bertindak. Mereka pun keluar untuk memanggil bantuan. Sehingga para penjaga dan satpam bahkan ikut masuk. Semuanya berbondong-bondong memisahkan Mile Phakphum. Memberangusnya. Bahkan ada yang berani memukulnya dari belakang agar tak sadarkan diri.
BRUGGGHHHHHH!
Nazha sendiri langsung duduk dan memeluk Alan seerat mungkin. Dia meraba-raba ponsel, meskipun nyaris tak bisa berpikir. Lalu menelpon polisi dengan jemari bergetar. "AKU TIDAK MAU TAHU! KEMARI DAN BERESKAN DIA SECEPAT MUNGKIN! TITIK!" bentaknya, lalu melempar benda di tangannya begitu saja.
PRAKHHH!
Tuuuttss ... tuutsss ... tuuuttss ....
"HIKS HIKS MAAAAMAAAAAAA!! HUAAAAAAAAAAAAAAA!!" jeritan Alan pun menghiasi ruangan itu suara sirine terdengar.