webnovel

S2-82 TWO SIDE

"A whole world for us ...."

[ANGELIC DEVIL: The Crown]

Meski sulit, Apo bisa menyudahi amarahnya selama di kantor. Dia tak membanting barang seperti dulu. Justru bekerja semakin cepat. Apa yang dia lihat saat ini bukti perkataan Jeff kemarin. Orang-orang menyerang perusahaan mereka berdua, makin serius. Bahkan Apo kini paham siapa yang disebut Paing "pengkhianat."

"Aku benar-benar minta maaf," kata Apo sambil memeluk Paing di sisi ranjang. Omega itu tidak tahan untuk tak mengadu, padahal sang mate berada di dalam mimpi. "Phi pasti bingung situasi sekarang, kan? Karena dulu aku minta bantuanmu. Sekarang mereka malah ikut menghajarmu. Umn, ya ... walau projek Phi dengan Mile sudah batal, tapi aku janji itu yang terakhir."

"...."

"Aku janji akan lebih kuat sekarang, Phi. Untukmu. Untuk kita. Aku akan ikut mengawasi perusahaan kalian sebisa mungkin. Percayalah."

"...."

Tak seperti biasanya, Apo juga tak menangis samasekali. Dia hanya curhat dan mengomel di depan sang mate, seolah-olah flip up dengan Paing tiga minggu lalu. Jadi seperti ini rasanya? Pikir Apo. Pantas saja Paing nyaris gila waktu itu. Dia pasti merasa sendiri. Bingung mau cerita pada siapa. Sampai-sampai ada suara perkelahian.

"HRRGGGHHH! HRRRGGHHH!"

"TUAN TAKHON! TUAN TAKHON! TUAN TAKHON! TUAN TAKHON!"

KACRAK!

"BERHENTI ATAU KUTEMBAK SEKARANG JUGA!"

Apo bisa mendengar semua kekacauan itu. Tentang betapa gelisah sang mate, tapi Paing tak serius membunuh hingga sekarang. Alpha itu terkekang norma dan nasihat orang. Demi Apo, padahal Amaara sudah melukainya sejauh ini.

"Ha ha ha ha. Kemudian Jeff dan Joe cuma bilang ... 'Jangan ikut campur urusan Oslo, Tuan Natta. Dan perlakukanlah Amaara dengan baik'--- astaga. Apa itu tidak brengsek sekali namanya?" kata Apo, yang kini membuat jarak sejengkal. Dia menatap wajah Paing yang badannya masih panas. Kemudian berbisik padanya. "Karena itu, sekarang terserah saja, Phi. Berhentilah merasa bersalah atau memikirkan aku. Cukup maki, hajar, kalahkan, dan bunuh siapa pun yang kau mau."

"...."

"Aku akan selalu ada di belakangmu, oke? Aku takkan menyalahkan tindakanmu mulai sekarang."

DEG

Mendadak ada gerakan lemah yang membuat Apo tertegun. Sebab Paing balas memeluknya, meskipun masih terpejam. Alpha itu juga menguarkan harum yang Apo sukai, sangat kuat. Dan mereka hanya begitu hingga Paing terlelap kembali.

"Oke, good night," kata Apo. Dia menyempatkan diri ke "Istana kecil" dulu, padahal sudah berpiama sehabis mandi. Namun, Apo rasa harus menilik triplets dalam sehari. Tak masalah sebentar jika capek kerja. "Hihihi, Edsel ... lagi-lagi kau yang paling suka begadang, ya?" cengirnya saat melihat Ed ditemani main babysitter. Tinggal mereka mereka berdua di dalam sana. Sebab Kay dan Er sudah pulas sejak tadi.

"Halo, Tuan Natta," sapa si babysitter sambil tersenyum.

Apo pun buru-buru mendekat. "Wah! Ed sudah bisa merangkak? Sejak kapan?" tanyanya.

Si babysitter tampak ikut kemana pun Edsel pergi. "Baru kok. Tadi siang, Tuan Natta. He he ...."

Terlalu gemas, Apo pun bersila di depan Edsel. Menggendongnya. Lalu memangkunya dengan serangan ciuman. "Umh! Umh! Umh! Umh! Kapok kau! Ha ha ha!" tawanya.

Edsel pun nyengir-nyengir lalu menampar mukanya.

Pakh!

"Aduh!"

"Pa pa!" jerit Ed seolah dia paham dapat serangan. Apo pun makin geregetan mengerjai si kecil. Lalu ikutan merangkak di sisinya untuk melatih.

"Ayo, ayo, lagi!" kata Apo menyemangati. Ed pun makin cepat bergerak. Tidak mau dikalahkan Papanya, sehingga si babysitter tertawa-tawa.

"Ha ha ha, ya ampun, Tuan Natta. Anda ini benar-benar lucu ....!"

Apo tak peduli dan memantau Ed kembali. Dia menggerakkan mainan agar dikejar, sehingga karpet bulu pun jadi lahan main mereka.

Sayang, begitu Edsel tidur, Apo malah sedih melihat Blau Er. Dia melipir ke ranjang baby tersebut. Mengesunnya, lalu menimangnya dengan nyanyian.

Mungkin, apa ya ... karena Blau Er lah yang paling telat berkembang? Dia bahkan belum pernah bisa miring. Jarang mengoceh, padahal dua saudaranya cepat belajar.

Babysitter bilang, Kaylee sepertinya akan menyusul Edsel. Baby itu mulai semangat tengkurap, tapi Blau Er tetap saja tertinggal.

"Kau ini sebenarnya kenapa, Sayang?" tanya Apo sambil menggenggam jemari Blau Er. "Tidak takut ketinggalan saudaramu? Ayo semangat. Kau pun bisa seperti mereka."

Blau Er malah menguap sebelum meringkuk ke dadanya. Baby itu tampaknya manja sekali. Terus mendusel untuk cari kehangatan. Lalu menggeliat sebentar.

"Astaga, ha ha ha ha," tawa Apo. Entah kenapa dia merasa gemas. Lalu menganggap Er paling imut daripada lainnya. "Ah, tapi tidak ... bukankah mereka bertiga Alpha?" tanyanya ke babysitter.

"Iya, Tuan. Alpha kok. Sejauh ini belum pernah ada yang berubah," jawab si babysitter. "Apa Anda mau lihat buku tesnya? Saya bisa ambilkan jika ingin mengecek hasil."

Apo pun mengangguk dan mulai melihat-lihat. Dia memastikan triplets mendapatkan gizi sama, tapi Er memang tercatat lambat sekali. Sudah paling sering tidur. Tak responsif. Hanya saja paling dekat Paing.

Apo ingat, Er dulu sering mengoceh saat ada sang Alpha. Baby itu juga pernah tertawa keras. Menendang gembira. Mungkin karena menganggap Paing Daddy-nya. Hei, kenapa aku baru sadar? Pikir Apo. Lalu membawa si kecil serta ke kamar.

"Eh? Tuan Natta?" Babysitter pun bingung karena disuruh tidur duluan.

"Ayo, Sayang. Hari ini kau boleh gabung bersama kami," kata Apo sambil merebahkan Blau Er di sebelah Paing. Baby itu berada di tengah-tengah. Tetap lelap. Bahkan meski Apo mendepetnya juga di sisi kiri. "Hmmh, sudah senang?" tanyanya sambil membelai pipi gembil Blau Er. "Kau di sebelah Phi Paing sekarang."

Cup. Apo pun mengakhiri hari pada pukul 1. Dia ikut tidur setelah menarik selimut. Tanpa tahu ada satu keluarga lagi yang begadang di tempat lain.

***

DOR! DOR! DOR!

PRET PREEEEEEEEET!

"Selamat ulang tahun--ugh... Daddy!" kata Alan. Usai meniup peluit pesta, dia pun berlari masuk ruang kerja Mile. Bocah itu membawa pancake. Loncat-loncat. Lalu menyodorkannya pada sang ayah. Mile yang tadinya serius bekerja pun langsung teralih. Dia melepaskan kacamata. Memijit hidung. Lalu menatap Nazha yang berjalan mendekat.

"Selamat ulang tahun, Mile," kata Nazha sambil meletakkan kue di  meja sang suami. Dia dan Alan harusnya tidur jam segini, tapi mereka mungkin janjian untuk memberi kejutan. "Hmm, walau agak telat, sih. Ini sudah tanggal 17. Tapi tidak apa-apa, kan? Bagaimana pun kami baru pindah kamarin."

Mile pun memandangi kue dengan deco angka 30 itu. Dia saja lupa kalau tambah umur. Sangking sibuk dan stress-nya mengurus kantor setiap hari. "Oh, ya ...." katanya, lalu membuka mulut saat disuapi Alan. "Terima kasih ...."

Alan nyengir saat mencicipi pancake itu. Dia tak masalah dengan bekas gigitan, apalagi Daddy kesayangan yang melakukannya. "Daddy suka?" tanyanya.

"Hm, suka. Manis," kata Mile sambil mencubit pipinya.

Alan langsung senang hingga menyeruduk impulsif. "Daddy!" serunya. Lalu naik-naik ke pangkuan Mile. Bocah itu meletakkan pancake agar bisa menerima pisau. Sementara Mile disodori benda tersebut. "Ayo potong kue?" ajaknya. "Tapi tiup lilin terus doa dulu, yaaa!"

Mile pun mengangguk, walau sempat terdiam lama. Dia bingung karena senyum Apo muncul di atas kue. Sehingga butuh waktu untuk kembali sadar.

"Mile, kau harus meniup lilinnya dulu," kata Nazha mengingatkan.

DEG

"Oh ...." desah Mile, yang tampak diam selama memotong-motong. Alpha itu menyuapi Alan setelah selesai. Berikutnya Nazha, tapi dia sendiri tak tertarik mencoba.

"Kenapa?" tanya Nazha.

"Daddy why why ...." sahut Alan. Ikut penasaran, meski omongannya sembarang ceplos. Arah matanya ikut ponsel Mile yang disodorkan. Lalu Nazha menerimanya.

"Nazha, masukkanlah tanggal ultah kalian," kata Mile. "Pasang pengingat. Aku bukan orang yang seperhatian itu untuk peduli hal kecil."

Nazha pun melakukannya. Milik Alan 23 Agustus, miliknya 16 Mei. Namun, dia juga me-notice pengingat lain. Di sana ada tanggal ultah Apo. Triplets. Dan anniversary mereka berdua. Oh, rupanya terlewat beberapa bulan lalu, Batinnya. "Sudah," katanya. Lalu mengembalikan benda tersebut. "Tapi, apa mau lanjut kerja? Alan bilang ingin menunjukkan sesuatu kalau ada waktu."

Mile menoleh pada puteranya. "Apa?" tanyanya.

Alan yang mendongak malah menerbitkan senyum jahil. "Daddy tebak?" katanya, padahal Mile malas main kucing-kucingan seperti itu.

"Tidak tahu."

Alan pun langsung cemberut. "Ih! Kok gitu ...." katanya. Mendadak turun dan menggandeng Mile pergi. "Ayoooooo!" Bocah itu membuat langkah Mile terseok. Nyaris tersandung. Apalagi belum terbiasa dengan rumah baru. Dia diseret ke ruang musik. Disuruh duduk. Lalu Nazha ikut bergabung di sebelahnya. "Daddy lihat yaaaaaa!" katanya sambil melambai-lambai.

"Oh, dia mau perform piano-nya?" tanya Mile. Karena Alan menyeret sebuah kursi tinggi. Naik duduk. Lalu menghadapi grand piano.

"Yup, just take a look," kata Nazha. "Dia akan melakukan mash-up, Mile. Lagu pertamanya milik Mozart - Serenade. No. 13. G-major."

Mile yang tak paham samasekali hanya menyimak. Bagaimana pun gaya klasik, bukanlah dirinya. Tapi itu memang sangat mewah. Pertunjukan Alan membuat suasana ruangan langsung berubah. Seolah-olah dia terlempar pada dimensi para bangsawan yang pesta dansa.

"Hm, sekarang sudah berubah ke Chopin - Fanta Isie. OP. 66, C-sharp Minor," kata Nazha lagi. Dia bangga karena lagu ini sangat cepat. Jelaslah gerakan jari lincah Alan pada tuts-tuts monokrom. Apalagi suaranya berisik sekali. Membuat orang yang mendengar emosional, tapi tiba-tiba turun dan mendayu-dayu. ".... nah, yang ini Bach - The Well Tempered Clavier. Prelude No. 1, C-major."

Sangking indahnya performa itu, Mile pun sulit berkedip menatap Alan.  "Hm, yang ketiga seperti mengajak tidur," komentarnya. Membuat Nazha terkekeh-kekeh.

"Apa kau sudah mengantuk?"

"Tidak."

"Setelah ini mau kerja lagi?"

"Tentu. Besok aku masih ada urusan menumpuk."

"Senang tidak ikutan pindah di sini?"

Pertanyaan terakhir Nazha membuat Mile menoleh. Bagaimana pun, dia baru mengosongkan rumah lama. Tak dirubah, tapi Mile juga tidak menjualnya. ".... Alan rasanya terlalu mewah untuk menjadi anakku," katanya, tiba-tiba mengalihkan topik. "Dia hebat. Mungkin juga akan melebihimu di masa depan."

Nazha pun menyeringai kecil. "Tentu, memang seharusnya seperti itu," katanya. "Tapi, kurasa kau masih tertolong, Mile. So, don't stop, dan gantikan Ayah dalam waktu dekat."

Determinasi dalam mata Nazha membuat Mile sulit berkedip. Wanita itu seperti baru menjeratnya dengan rantai-rantai. Sangat cerdik, tapi jujur memang menarik hati. "Kau kan bisa memegang perusahaan sendiri." Dia bilang. "Aku yakin kau tak kurang untuk meneruskan kursi."

Jeda sebentar yang sangat dingin.

"Ya, memang. Tapi aku menghargai suamiku," kata Nazha. "Kalau masih ada dirimu, kenapa tidak? Aku akan mendukung dari belakang."

"...."

"Toh, Phi Pomchay juga tidak selamanya koma," kata Nazha. "Aku yakin kakakmu sembuh suatu hari. Jadi, ikutlah bersamaku saja saat itu tiba. Ke Beijing. Ke Izmir. Kemana pun kita pergi bertiga. Sounds good?"

Memang kedengaran sangat menjanjikan. "...."

"Jujur saja, Mile. Aku memilihmu karena melihat diri sendiri waktu berhadapan," kata Nazha. "Kau tahu caraku bermain, dan aku tahu caramu bermain. Jadi kita ini setara, paham?"

"...."

"Hanya saja versimu itu in-denial, sih," kata Nazha. ".... karena aku fokus, tapi kau lebih suka fotografi walau berbakat di bidang bisnis."

Mile pun mendengus pelan. "Ya, memang apa salahnya dengan itu," katanya. "Aku akan tetap menjadi aku. Dan duniaku akan tetap menjadi milikku."

"...."

"Karena itu, walaupun nanti aku setuju. Dua hal itu takkan pernah kuberikan pada siapa pun."

Mendengarnya, Nazha pun diam sejenak. Wanita itu tampak berpikir, tapi Alan sudah menginterupsi obrolan mereka.

Jreng! Jreng! Jreng! Jreng! Jreng!

"DADDDDDDYYYYYY!" jerit Alan sambil tertawa bangga.  "How was that? Suka tidaaaak? He he he he ...."