ANEH. Sejak para bodyguard memenuhi rumah Jeff, tidak ada kabar lagi dari si hitam. Malahan rasanya sepi sekali. Di ponsel Nayu juga tidak pernah ada panampakan. Jeff sendiri sudah memastikannya. Dia men-scroll galeri sang pacar baru sampai habis, bahkan yang hari ini diulang beberapa kali. Namun, satu pun tidak menunjukkan pergerakan lebih jauh.
"Sepertinya dia sadar kalau ini jebakan," kata Jeff dalam telepon. Sekitar semingguan lelaki meneliti baik-baik. Memang tidak ada kejanggalan samasekali.
Apo yang mempersiapkan resepsi semakin dekat pun mengangguk saja. "Ya sudah, biarkan. Tapi tetap waspada setiap saat. Karena hilang bukan berarti dia menyerah," katanya. "Besok aku pun sudah ke Copenhagen."
"Baik, Tuan Natta," sahut Jeff.
"Kau hadir kan dalam acara itu? Jangan lupa pesawatnya pagi," tegas Apo. Mungkin, Jeff memang menganggapnya bos besar. Namun, sejak Apo merekrut si mahasiswa rantau, dia sudah menganggap lelaki itu keluarga sendiri.
"Ha ha ha, hadir, pasti," tawa Jeff seperti menghina. "Kan hitung-hitung liburan gratis. Mana mungkin kalau kusia-siakan." Sumpah memang menyebalkan kalau didengarkan baik-baik. Tapi Apo selalu memaafkan tingkah randomnya. "Hm, sayang jangan harap kado besar, ya. Karena aku ini hanya remahan keju. Tapi bahagialah, meski itu cuma satu kardus popok bayi."
Toh, kejujuran Jeff kadang bisa membuat Apo tertawa juga. "Ha ha, yeah. Terserah apa yang akan kau bawa," katanya. "Tidak usah juga tidak apa. Yang penting kau datang saja."
"Baik."
Setelah sambungan telepon terputus, Apo pun mengepas suit-nya sekali lagi. Dia memastikan tak ada yang kurang di cermin, walau dalam hati menyimpan dongkol kepada diri sendiri. "Aku harus olaharga setelah ini," pikirnya sambil mengawasi daerah perut. Dia bahkan butuh perekat khusus untuk mengempiskannya, karena sakit membuat Apo makan tak terkontrol hingga kini. "Shit. Ini sih nyaris mirip hamil muda lagi. Padahal sempat rata karena habis lahiran kukorset."
Untung Mile tidak banyak komentar. Dia hanya tertawa-tawa saat tahu Apo menutupi buncit di perutnya, walau sesekali usil menggelitiki di saat senggang.
"Ha ha ha ha ha! Istriku kenapa jadi sangat gembul? Demi apa gemas sekali. Ha ha ha ha ha ...."
Plakh! Plakh! Plakh!
Apo pun memukuli bahu suaminya kesal. "Shiaa! Mile, awas kau ya! Uhuk-uhuk! Setelah ini aku pasti balik lagi! Dilarang ada body shaming di sini--NO! HA HA HA HA--GELI BODOH!"
Apo dengar, empat hari lalu Mile sempat menghukum COO miliknya. Namun, dia tidak mau mengadili. Sebaik apa hubungan kerjanya dengan Bas di masa lalu, tetap Mile yang saat ini berwenang. Dia membiarkan perusahaan berjalan bagaimana baiknya, walau kemerosotan terjadi beberapa persen.
Mungkin, daripada menjahili. Apo lebih yakin jika kegiatan ini dilakukan suaminya karena ingin menghilangkan stress. Seperti takut tidak diandalkan lagi. Takut tidak dipercaya lagi. Takut tidak membuatnya bangga lagi--Apo sungguh bisa membaca semua itu dari wajah Mile Phakphum.
"Tapi semua hal memang ada harganya," batin Apo saat terengah di bawah sang Alpha. Di sana mereka saling melempar senyum, tapi Apo sadar keduanya menyimpan pemikiran masing-masing. "Kebersamaan, keluarga, anak-anak, keamanan, kenyamanan, cinta--dan masih banyak yang lain. Sementara ini aku benar-benar cukup dengan itu. Tidak apa-apa. Tidak masalah samasekali. Kau tetap yang terbaik di depan mataku, Mile ...."
Akhirnya, Apo pun menganggap kendala yang datang seperti halnya angin lalu. Dia sudah senang Mile mau bercerita soal kantor. Karena itu bermakna dia masih amat dihargai.
"Oke, lebih baik kita tidur awal," kata Mile tiba-tiba. Dia merengkuh Apo dalam selimut, lalu melilit seluruh badannya seperti guling. "Besok waktunya pergi resepsi. Jadi, harus bangun pagi untuk menyambut tamu di bandara, hm?"
"Oke," kata Apo sembari balas memeluk. Padahal, saat Mile memberikan pesawat itu, dia berpikir takkan pernah menggunakannya samasekali. Bagaimana tidak? Apo sendiri sudah memiliki jet pribadi, walau kadang bepergian dengan orang-orang biasa. Bukannya hobi, sih. Tapi lebih seperti penasaran dengan dunia mereka? Apo jujur sulit memahami pola hidup orang kecil karena dia terlahir sebagai pewaris. "Good night, Mile."
"Hm, selamat malam juga untukmu."
Mereka berdua pun perlahan terlelap. Padahal jam belum menunjukkan pukul 9. Tidak ada mimpi apapun. Semuanya baik hingga keesokan pagi Bandara Suvarnabhumi semakin riuh. Semua karena landasan paling utara dijadikan tempat parkir dua kendaraan udara Apo. Di sana semua awak pesawat sudah bertugas lengkap, dan Mereka mengenakan seragam kombinasi hijau ser kuning. Mulai dari pilot, pramugara, pramugari, dan teknisi mesin yang bertugas di bawah ... semuanya tidak terkecuali.
Apo senang karena banyak sekali yang bisa hadir. Mereka berbondong-bondong masuk ke dalam, menyapa dengan raut sumeringah, lalu duduk tertib di kursi urutan.
"Halo, Phi Pooo!" sapa Nayu setelah orangtuanya masuk. Dia menggandeng Jeff di sebelah, lalu memperkenalkan mereka secara langsung. Ah, gadis itu memang teramat polos. Dia pasti tidak tahu apa-apa, sehingga Jeff dan Apo kompak berpura-pura kenalan ulang. "Ini Alpha yang kemarin kuceritakan. Tampan kan? Dia itu pacarku!"
"Oh, iya," kata Apo sambil menepuk bahu Jeff. Dia tetap profesional, meski menahan geli di dalam perut. "Masuklah, masuklah. Kau Jeff kan? Nayu sudah cerita banyak padaku."
"Baik, Phi Apo. Salam kenal juga dariku," kata Jeff sambil menangkupkan tangan. Dia hampir saja kelepasan tertawa, tapi untung tidak sampai jadi. ARRGH! Sial! Aneh sekali rasanya. Karena walau sadar kurang ajar, Jeff tetap memanggil Apo "Tuan Natta" selama ini. Oke, Jeff. Tenang. Ini hanya sampai misinya selesai. Jangan membuat drama konyol apapun, Batinnya sebelum duduk.
Penasaran dengan siapa saja yang sudah hadir, Apo pun menilik sebentar buku tamu di sebelahnya. "Hm, lumayan. Tinggal berapa lagi yang belum datang?" tanyanya kepada pramugari yang bertugas mencatat.
"Oh, masih 17 orang, Tuan Natta. Mereka sepertinya dalam proses konfirmasi," kata si pramugari sambil tersenyum.
"Hm, coba kulihat dulu," kata Apo. Dia pun mengambil alih buku itu, sementara si pramugari mengangkat telepon untuk layanan RSVP. (*)
(*) RSVP merupakan sebuah singkatan dari Bahasa Perancis (répondez s'il vous plaît) yang artinya "tolong tanggapi". Biasanya dicantumkan dalam undangan, jadi tamu-tamu yang hadir akan pasti berapa.
"Halo? Iya, kami dari Boeing Flight 737-300 Wattanagitiphat, apa ada yang bisa kami bantu? RSVP!" seru si pramugari dengan nada khasnya.
Apo pun membolak-balik halaman dengan mata analitis. Dia menoleh sebentar ke suasana di dalam pesawat, lalu mengetuk beberapa nama yang belum tercentang. "Hmm, jika Bas tidak datang berarti dia masih antipati," gumamnya. "Tak masalah. Kapan-kapan aku harus bicara padanya sendiri." Menelusur sekali lagi, Apo kini menemukan nama Paing yang kolomnya juga masih kosong. Dia pun mengernyitkan kening, apalagi setelah itu ada barisan tamu yang baru masuk.
"Halo, Tuan Natta."
"Halo ...."
"Permisi, Tuan Natta ...."
Mereka semua datang dengan senyum khas masing-masing, tapi sampai akhir tidak ada seniornya yang satu itu.
"Apa Phi benar-benar tidak hadir?" pikir Apo.
Sesaat kemudian, si pramugari pun menyelesaikan panggilannya. "Baik, baik. Nanti pasti saya sampaikan ...." katanya, lalu menoleh kepada Apo. "Tuan ...."
Apo pun balas menatap wanita itu. "Hm?"
"Manajernya bilang Tuan Takhon sedang dinas di luar negeri," kata si pramugari manis. "Beliau kemungkinan tidak bisa hadir. Jadi, boleh saya catat keterangannya sekarang?"