webnovel

Angel Who Don't Have Wings

Kesalahan terbesarku yaitu jatuh cinta terhadap roh yang sedang aku giring menuju gerbang pengadilan. sehingga aku di hukum dengan diasingkan kebumi dan juga sayapku di penggal serta dipajang di sebuah patung dilingkungan tempat tinggal para malaikat. Kejadian demi kejadian aku lalui dibumi tanpa keberdayaanku menghadapinya, tetapi aku yakin pertolongan akan selalu ada bagi yang memerlukannya, saat aku merasakan hanya penderitaan muncul seseorang yang membuatku menjadi lebih semangat dan fokusku ke depan untuk menjaganya, begitu juga dengan teman dan keluargaku dibumi.

Omnihara · แฟนตาซี
Not enough ratings
382 Chs

Bagian 9: Kejaiban

Setelah mereka cukup lama menunggu di depan ruang IGD dan didalam Justin telah melewati serangkaian pemeriksaan, dokter keluar dan menanyakan keluarga dari Justin.

"Dok, bagaimana ? Apa yang terjadi ?" Dengan nada tergesa dan khawatir, ibunda Justin menanti jawaban dari dokter.

Dengan penuh senyum dokter menyalami ibunda Justin, "Selamat bu, ini suatu keajaiban, ini mujizat untuk ibu sekeluarga, pasien telah kembali, semua rangkaian pemeriksaan hasilnya sangat luar biasa baik. Sekali lagi saya ucapkan selamat. Saya mohon ijin untuk masuk kembali." Dokter pun pamit untuk kembali bekerja.

"Ya Tuhan, terima kasih atas keajaiban ini." Kaki Ibunda Justin menjadi lemas dan terduduk sembari memeluk Asley, semua orang yang berada di depan IGD menangis bahagia karena baru kali ini mereka menyaksikan keajiban didepan mata mereka secara langsung. Tidak berselang beberapa lama, beberapa teman dan adik kelas Justin berpamitan kepada keluarga Justin karena mereka masih ada kelas tambahan. Tersisalah yang menunggu, orangtua Mike, Vera, Mama dan adik Justin, beserta dua orang dosen.

Setelah Justin di pindahkan ke ruang rawat, mereka semua menungu di dalam kamar rawatnya. Saat mereka sedang berbincang-bincang, Asley adiknya Justin tetap berada di sisi sang kakak, ia melihat jari kakaknya bergerak-gerak.

"Ma, mama. Jari kak Justin bergerak." Asley berteriak.

Dengan cepat Mike mengambil alih dia segera memanggil dokter untuk memeriksa Justin.

"Justin, ini mama nak, Justin." Sang Ibunda mengelus kepala anaknya, ia kembali menangis melihat putranya mulai membuka mata.

"Justin, kami disini dek." Bu Retno salah seorang dosen yang tinggal tersenyum melihat Justin mulai membuka matanya perlahan. Justin mengedarkan pandangannya menatap satu persatu orang-orang yang mengelilinginya lalu tersenyum.

"Mohon maaf, ibu, bapak, boleh keluar sebentar. Saudara Justin akan di periksa, mohon untuk memberikan ruang." Suster meminta mereka keluar sebentar, lalu menutup pintu. Tidak membutuhkan waktu lama pintu kembali di buka dan para keluarga dan kerabatpun kembali masuk.

"Bagaimana dok ? Kakak sudah bisa pulang ?" Asley berceletuk dengan polosnya.

"Belum adik, kakaknya masih harus istirahat ya, adik temenin kakak dulu ya duduk disamping kakak juga boleh." Dokter mempersilahkan dan disambut senyum bahagia dari Asley, kini ia telah duduk dan memeluk sang kakak.

"Ibu, bapak, kami sangat terkejut ini kejadian yang sangat luar biasa, dari hasil pemerisaan yang tadi di lakukan secara keseluruhan. Luka-luka bagian dalam nak Justin sudah sembuh total bahkan tidak menimbulkan kecacatan, ini sungguh luar biasa, tinggal luka-luka kecil saja di beberapa tempat yang masih ada, istirahat sekitar seminggu saya perkirakan nak Justin sudah akan pulih total." Si dokter menjelaskan kondisi terbaru dari Justin berdasarkan pemeriksaan terakhir saat ia berada di IGD.

"Terimakasih dokter, terimakasih." Ibunda Justin menyalami sang dokter, di ikuti oleh dosennya Justin, Mike, Vera dan orang tua dari Mike.

"Saya, permisi ya Ibu, Bapak." Dokter dan perawat pamit dan keluar dari ruang rawat.

Mereka semua menghampiri Justin yang telah di temani Asley di sisinya, kini keadaannya sedikit membaik, ia sudah dapat membuka matanya dan berbicara sedikit demi sedikit.

"Mama, Mike, Vera, Tante, Om, Bu dosen, Pak." Justin memanggil satu persatu orang-orang yang mengitarinya.

"Iya sayang, mama disini." Ibunda Justin mengelus rambut anaknya dengan penuh kasih sayang.

"Nak Justin, jangan banyak bicara dulu ya nak. Tadi teman-teman kamu datang juga, besok mereka datang lagi, mereka titip salam untuk kamu." Ibu dosen juga ikut berbicara sembari tersenyum yang di jawab dengan anggukan dan senyuman oleh Justin.

Setelah yakin Justin sudah baik-baik saja, tidak berapa lama, Vera, Mike beserta orang tuanya, dan dosen Justin berpamitan pulang, tinggallah diruangan itu Justin, Mamanya dan Asley adiknya Justin. Karena kejadian yang tidak terduga yang baru kali ini terjadi, pihak pengadilan Surga mengirimkan dua malaikat penjaga untuk memantau Justin. Disisi lain, Edgar yang telah berhasil diselamatkan oleh tim malaikat penyembuh, kini sedang berbincang dengan Mikael di ruang ia di rawat.

Pertanyaan demi pertanyaan di jawab Edgar sambil mengingat kejadian-kejadian yang di alaminya bersama Reila.

"Lalu, siapa sosok yang kamu temui ? Dia bagaimana ciri-cirinya ?"

Edgar berusaha dengan perlahan untuk duduk bersandar, "dia tingginya kira-kira lebih tinggi dari saya sedikit, rambutnya berwarna silver, dia berpakaian seperti anda Malaikat Agung, tetapi hanya auranya penuh kegelapan dan senyumannya hambar tidak mencerminkan kebahagiaan."

"Ah, Baiklah. Sebaiknya kamu istirahat supaya segera pulih. Saya permisi dulu." Mikael berdiri dan segera keluar dari ruangan Edgar dan berpapasan dengan Reila, "Salam, Malaikat Agung bagaimana Edgar ?"

"Dia baik-baik saja, lukanya sudah di obati. Kamu sudah mengobati luka-luka di tubuh kamu ?" Tanya Miakel dengan nada cemas.

"Sudah Malaikat Agung, terimakasih anda sudah perhatian kepada saya." Reila menundukkan badannya.

"Jangan begitu, sudah semestinya kita saling perhatian satu sama lain jika ada yang tertimpa musibah, kamu mau jumpai Edgarkan ? Silahkan." Mikael menggeser tubuhnya memberikan jalan kepada Reila.

"Terimakasih Malaikat Agung, saya permisi." Reila menunduk memberi hormat dan segera masuk ke ruangan Edgar.

"Edgar, gimana keadaan kamu ?" Terdengar suara Reila yang nyaring sambil memeriksa tubuh Edgar.

"Aw, aw, aw, perut saya masih sakit." Edgar menggetok kepada Reila.

"Hehehe, maaf." Reila cengegesan sambil meminta maaf setelah mendapat getokan dari Edgar.

"Kamu bagaimana ? Sudah diobati luka kamu ?"

"Sudah, kamu gimana ? Ngomong-ngomong gimana waktu didalam sana ?" Reila meajukan duduknya.

"Serem banget, api dimana-mana, terus ya kan teriakan arwah-arwah yang di siksa dimana-mana, sangat piluh sekali." Edgar dengan semangat menceritakan kondisi neraka yang ia masukin.

"Beneran ? Terus kamu tau siapa yang membidik kamu dengan tombak itu ?" Reila mengkerutkan keningnya penasaran.

"Sini mendekat." Edgar mengisyaratkan agar Reila mendekatkan telinganya dan di ikuti dengan Reila mendekatkan telinganya.

"Dia perawakannya seperti Malaikat Agung pakaiannya sama, tapi senyumannya hambar gak ada kebahagiaan." Edgar dengan perlahan berbisik dengan pelan agar tidak didengar oleh yang lain.

"Hah? Bener ?" Suara Reila meninggi sambil menjauhkan dirinya.

"Ish udah dibilang jangan bising." Edgar menutup mulut Reila.

"Ehem, tolong jangan ribut." Salah satu malaikat penyembuh menegur Reila dan Edgar saat ia melewati ruangan tersebut.

"I-Iya maafin saya." Reila menunduk meminta maaf, dan malaikat tersebut berjalan kembali.

"Tuhkan, kamu sih pakai teriak segala." Edgar mengehela nafasnya.

"Lagiankan saya kaget, jadi siapa dia ? Apa dia juga malaikat ? Kamu sudah bilang ke Malaikat Agung ?" Wajah Reila kembali penasaran.

"Saya juga tidak tahu dia malaikat atau tidak. Kamu emang gak tau ? Kan kamu sering mengantar arwah ke neraka." Kini Edgar kembali menatap penasaran ke arah Reila.

"Ya mana saya tahu, saya mengantarkan Cuma sampai di depan gerbang tadi saja." Reila menyandarkan badannya.

"Oh, begitu, saya kira sampai masuk." Edgar menganggukkan kepalanya.

"Mereka tidak mengijinkan malaikat masuk kesana. Ya sudah, kamu istirahat saja, saya harus latihan lagi." Reila berdiri dan pamit lalu keluar dari ruangan Edgar.

Untuk menjaga sesuatu yang besar akan terjadi, Mikael memanggil semua para Malaikat Agung untuk mengadakan rapat dadakan yang sudah lama tidak dilakukan dalam kurung waktu 1000 tahun.