Ana memandang gadis itu sejenak kemudian tersenyum.
"Baiklah. Siapa namamu?" tanya Ana sambil berjalan berdampingan dengannya.
"Lucy," sahutnya riang.
Pribadinya yang ceria dan senang berbicara membuat Ana tersenyum. Mereka berjalan menyusuri koridor di lantai dua. Sepanjang koridor dihiasi lukisan-lukisan besar dan lentera yang menempel di dinding. Disepanjang koridor, Ana hanya tersenyum mendengar ocehan yang tiada henti dari Lucy. Sampailah mereka di bagian ujung sayap kanan bangunan kastil. Mereka menghentikan langkah di depan sebuah pintu yang besar. Disamping kanan dan kiri pintu itu terdapat meja tinggi yang berisi pohon lilin bercabang yang terbuat emas. Ana menghentikan langkahnya dan menyentuh pohon lilin itu.
[Apa Ini emas?] pikirnya.
"Nona, sedang apa? Ayo masuk," ajak Lucy sambil membuka pintunya.
Segera mata Ana dihadapkan oleh ruangan mewah dengan sofa tempat duduk yang besar, meja persegi dari kayu terbaik, dan perabotan yang mewah. Ruangan itu merupakan tempat beristirahat yang memiliki balkon dengan pemandangan indah. Kaki Ana melangkah memasuki ruangan dan berjalan menuju ke arah balkon. Hamparan biru air danau yang memantulkan cahaya berkilauan laksana permata benitoite yang indah. Diujung danau, hijaunya bukit dengan pepohonan rindang serta bunga-bunga liar yang berwarna warni mengelilingi danau itu.
"Wah, pemandangan yang indah, apa aku boleh di sini?" tanya Ana ragu.
"Tentu saja. Nyonya Rosseta sudah menerima pesan dari Tuan jika nona bisa mengunjungi tempat manapun di kastil ini kecuali lantai tempat Tuan beristirahat."
Ana mengangguk. Ia memahami haruslah ada izin dahulu jika akan menemui Marques di lantai tempatnya beristirahat. Ana duduk di kursi yang berada di sudut Balkon. Ia menoleh ke arah kiri dan melihat bangunan tempat berlatih pedang. Di depan bangunan itu terlihat para prajurit sedang berlatih memanah dan Ernan keluar dari dalam bangunan.
Lucy meletakkan peralatan surat menyurat di depan meja. Segera kepalanya menoleh ke arah Ernan.
Ana mengambil kertas sambil memperhatikan wajah Lucy.
"Kau menyukainya?"
Mata Lucy terbelalak dan menoleh ke arah Ana dengan syok.
"Oh, apa sangat terlihat?"
"He'em," ujar Ana santai.
"Apa boleh buat, bagiku pengawal Ernan sangat tampan dan gagah, meskipun dia masih muda tapi kepribadiannya dewasa," belanya.
Tangan Ana yang menulis beberapa kalimat di kertas itu berhenti. Wajahnya mendongak melihat Lucy yang berdiri di depan balkon sambil mengerutkan alis dengan heran.
"Berapa umurnya?" tanyanya heran.
"15."
"15?" seru Ana tidak percaya. Ia selalu mengira jika Ernan lebih tua, setidaknya terpaut dua sampai tiga tahun diatasnya, mengigat wajahnya yang terkesan dewasa, tubuhnya yang tinggi besar dan tegap, serta sikap dewasanya. Namun ternyata, ia bahkan lebih muda darinya. Lucy menganggukan kepalanya dan menghela napas.
"Tetapi aku hanya terpaut dua tahun diatasnya saja," ujar Lucy tertawa kecil.
Ana tersenyum dan bertanya pada Lucy, "Sudah berapa lama kau di sini, Lucy?"
"Empat tahun, aku bekerja sejak usiaku 12 tahun di kastil ini,"
Ana menganggukan kepala dan kembali menulis beberapa kalimat di kertas itu.
"Jadi kau tahu tentang putri Imelda?"
"Tentu saja, saat Tuan membawa nona pulang, kami semua terkejut nona mirip dengan putri."
"Apa dia meninggal karena sakit?"
"Tentu saja tidak," sanggahnya. Lucy mendekatkan diri ke telinga Ana dan melanjutkan dengan suara perlahan.
"Aku dengar kalau sang putri meninggal karena bunuh diri."
Ana menghentikan tulisannya dan menyerap perkataan Lucy.
"Sejak kematian istrinya tuan menenggelamkan dirinya ke pekerjaan dan urusan militer. Dia melupakan sang putri. Sang putri yang tumbuh remaja bertemu seorang pria biasa. Kisah cinta pun terjalin," seru Lucy bersemangat. Ia membayangkan kisah romantis antara bangsawan dan orang biasa yang seperti di dalam novel.
"Sayangnya, perbedaan derajat mereka terlalu jauh dan sang putri sudah dijodohkan untuk pernikahan politik dengan putra seorang Count. Putri pun menolak dan tuan yang mengetahui hal itu sangat marah. Suatu hari putri menemukan kekasihnya tewas dan sangat bersedih. Namun, ia lebih kecewa lagi mengetahui bahwa tuanlah yang menyuruh pengawal membunuh kekasihnya."
Ana menyimak cerita yang disampaikan Lucy sambil mengerutkan alisnya.
"Lalu?"
"Putri yang dibutakan oleh cinta bunuh diri." Lucy membuang napas prihatin akan kisah tragis sang putri dan kekasihnya.
Ana terdiam kemudian menatap mata Lucy lekat-lekat.
"Apakah sang putri punya seorang putra?"
Lucy terkejut sambil menggelengkan kepala, "Tentu saja tidak!"
"Sedang apa kalian? malah bergosip!"
Suara teguran Rosseta menggelegar di ruangan itu. Ana dan Lucy berjingkat terkejut. Mereka berdua melihat wajah Rosseta yang merah padam.
"Lucy!"
"Ah, nyonya, maaf!" serunya menundukkan kepalanya kemudian kabur meninggalkan Ana terbengong. Ana nyengir memandang Rosseta yang menatapnya dengan tajam.
Rosseta menghela napas perlahan meredakan amarahnya. "Ahh... dasar, anak itu suka sekali bergosip. Aku akan memberi hukuman untuknya nanti," ujarnya terlihat lelah, "Jangan didengarkan apa yang Lucy ceritakan, itu hanya rumor, sang putri meninggal karena sakit keras," lanjutnya memandang Ana dengan santai.
Ana mengangguk dan menyelesaikan kalimat terakhir di dalam surat itu. Tangannya memasukan kertas itu ke dalam amplop. Rosseta memperhatikan apa yang dilakukannya dan membantunya memberikan stempel lilin di amplop tersebut.
"Bisakah kau memberikan surat ini pada temanku di penginapan, Ernan memperbolehkanku memberi pesan."
"Tentu."
Sebenarnya Rosseta tak sengaja melewati tempat itu setelah menyelesaikan pekerjaannya di ruangan Marquess. Namun, ia melihat mereka sedang mengobrol dan menghampirinya. Setelah mengetahui apa yang dibicarakan, emosi muncul di hatinya saat mendengar Lucy membicarakan sang putri. Segera ia berseru untuk menghentikan Lucy berbicara lebih jauh. Apalagi jika Tuan Marquess sampai mendengar pembicaraan mereka, pasti anak itu akan mendapatkan hukuman yang berat. Ia menggelengkan kepalanya takjub akan kecerobohan Lucy.
Rosseta menerima surat itu dan mengatakan akan menyampaikan suratnya.
"Aku akan mengantarmu kembali ke kamar."
"Tidak, Rosseta, aku masih ingin di sini sebentar lagi," pinta Ana.
Rosseta mengangguk dan meninggalkannya karena ia masih memiliki pekerjaan yang lain. Ana melihat sosok Rosseta yang berjalan menjauh kemudian termenung memandang kilauan cahaya di permukaan danau yang tenang mulai meredup. Perlahan-lahan cahaya terang matahari memilih untuk bersembunyi dari pada menampakkan sinarnya. Ana menerawang jauh ke arah cakrawala di kejauhan. Ia teringat seorang pemuda berambut emas yang sepertinya mengetahui informasi tentang sihir. Melintas di benak Ana pertemuan terakhirnya dengan pemuda itu yang mengatakan akan menemuinya di penginapan.
[Apa dia benar-benar menemuiku di penginapan?]
Ana membuang napas dan menggelengkan kepalanya. [Tidak mungkin. Aku bahkan tidak tahu namanya].
Ana bangkit dari kursinya dan memasukkan sisa peralatan ke dalam tas kecilnya. Ia membalikan tubuhnya dan mulai meninggalkan ruangan itu.
[Tapi, aku ingin bertemu dengannya kembali, bisakah?] tanyanya dalam hati.
Ana melangkah menelusuri koridor yang dilewatinya bersama dengan Lucy. Kakinya menapak di lantai dan membuat suara yang nyaring. Matanya menunduk sambil memikirkan banyak hal. Suara langkah-langkah kaki orang yang berlawanan arah dengannya tidak diperhatikannya. Seseorang menghentikan langkah di depannya.
"Mau pergi kemana kau?"
Tubuh Ana membeku mendengar suara lelaki tua yang berat. Langkah kakinya terhenti. Ana mengangkat wajahnya dan melihat Marquess Liere berdiri di hadapannya. Ia mengenakan jas hitam dengan bros permata tersemat di samping dada kirinya dengan rantai kecil yang menghubungkan sisi kanan. Wajah tuanya yang penuh dengan keriput terlihat sehat. Pandangan matanya terlihat normal dan rambutnya yang hitam sebahu disisir rapi kebelakang. Ana tertegun sejenak melihat Marquess saat ini, seakan-akan Marquess yang tidak waras hanyalah khayalannya belaka. Ana memberi hormat padanya. Marquess Liere mengangkat tangannya, menanggapi dan menerima hormat Ana.
"Aku sedang menuju ke kamar, Tuan," jawab Ana.
"Biarkan aku mengantarmu," ucapan santai Marquess membuat Ana syok. Ana membelalakkan matanya.
"Apa? Tidak perlu, Tuan, aku bisa sendiri."
Namun, Marquess seperti tidak menggubris keberatan Ana. Wajahnya berpaling pada seorang lelaki berbaju coklat yang membawa berkas-bekas di sampingnya dan berkata, "Kita sudahi sampai disini dahulu, kau boleh kembali,"
Lelaki berbaju coklat menghormat pada Marquess dan meninggalkan mereka.
"Ayo," ajaknya.
Ana meremas bajunya dengan sedikit khawatir. Bohong kalau ia tidak cemas jikalau tiba-tiba Marquess berubah seperti kemarin malam. Ia mencoba menenangkan gemuruh hatinya kemudian tersenyum padanya. Tak disangka, sikap Marquess sangat ramah. Sang Marquess terlihat tidak mengingat apa pun yang dilakukan sebelumnya. Ia menceritakan kehebatan penjagaan kota untuk mencegah serangan dari luar sampai dengan ciri khas yang dimiliki kota itu, bangunan, tempat wisata, makanan yang terkenal. Ana mendengarnya dengan semangat. Ketakutannya menghilang. Ia juga menyadari meskipun Marquess sudah tua tetapi kejayaannya saat masih muda tersiar luas. Tidak ada seorang pun yang berani meremehkannya. Meskipun peperangan sudah berakhir tetapi kecurigaan dan kewaspadaan antar kerajaan masih kental. Kerajaan di seberang gunung sering mengirimkan mata-mata dan menyerang perbatasan. Marquess Liere lah yang menjadi tulang punggung pertahanan di bagian timur. Apabila Marquess jatuh maka serangan musuh akan sangat mudah masuk ke wilayah itu.
"Aku harap kau senang tinggal di sini," ujar Marquess dengan tenang.
Ana tersenyum sambil mengangguk. Untunglah, pertemuannya dengan Marquess tak semenakutkan sebelumnya. Bahkan, Ana melihat senyuman tersungging di bibir Marquess. Setelah beberapa lama mereka berjalan, sampailah di depan pintu kamarnya. Ana membungkukkan badan mengucapkan terima kasih dan Marquess meninggalkannya. Ana membuang napas dan masuk ke dalam kamarnya. Tangannya meraih peralatan surat menyurat yang berada di dalam tasnya dan meletakkannya di meja. Terhuyung-huyung Ana menjatuhkan tubuhnya di kasur yang empuk dan merentangkan kedua anggannya.
[Mungkin aku akan makan malam di kamar saja,] pikirnya. Tangannya akan membunyikan bel di kamar untuk memanggil pelayan tetapi rasa kantuk menyerangnya. Perlahan-lahan matanya terasa berat dan tertidur. Ditengah kegelapan malam sebelum fajar menyingsing, tiba-tiba Ana merasakan kehadiran seseorang di kamarnya. Kewaspadaan membuatnya terbangun. Tangannya segera mengambil belati dari tas kecilnya dan mengacungkan pada sosok yang berada di depannya. Ia mendekatkan tangan kirinya ke arah dada dan tangan kanan mengambil sikap menyerang. Sosok di depannya segara menangkap Ana dan membekap mulutnya. Ana menandang wajah orang itu. Sinar lilin yang temaram memperlihatkan wajah Ernan yang menatapnya lekat-lakat.
"Sttt!" ujar Ernan menenangkannya.