webnovel

Bab 8. Are You Leaving

"Kau akan pergi?"

Nell menatap Ana dengan pandangan tidak percaya. Ana mengangguk dengan santai dan duduk di kursi di hadapannya.

Tangan Nell segera memegang kedua lengan Ana dan matanya memandangnya lekat-lekat.

"Kalau begitu, aku ikut denganmu."

Mata Ana terbuka lebar. Wajahnya terangkat menatap wajah Nell yang terlihat serius. Keheningan menyelimuti mereka berdua. Mata mereka bertatapan sejenak. Perlahan-lahan wajah Ana menduduk dan menggelengkan kepala.

"Tidak. Kau satu-satunya anak laki-laki Tuan Swagyer. Dia tidak akan mengijinkan, Dia membutuhkanmu pada saat seperti ini."

"Aku tidak peduli tentang itu," sanggahnya dengan kesal.

"Nell, penduduk kota ini semakin sedikit. Kota ini membutuhkan sebanyak mungkin tenaga manusia untuk memulihkannya."

"Lalu kenapa kamu pergi?"

Ia menuntut penjelasan seperti anak kecil yang ingin bermain dengan teman kecilnya tetapi tidak diperbolehkan.

"Aku harus melakukannya. Ada yang harus aku lakukan di ibu kota."

"Apa itu? tidak bisakah kau melakukannya di sini?"

Ana menggelengkan kepalanya.

"Kalau begitu aku ikut. Ibu kota sangat jauh dari sini. Kau bisa sampai di sana berminggu-minggu atau sebulan paling lama. Kau bahkan tidak pernah keluar dari kota ini, siapa yang akan menjagamu dalam perjalanan? bahaya ada di mana-mana!"

"Aku bisa menjaga diriku sendiri," ujar Ana santai.

"Aku akan mengantarmu ke sana. Tunggu aku. Aku akan meminta izin pada ayahku, jangan ke sana sendirian," pinta Nell dengan pandangan khawatir.

Tangannya menarik tubuh Ana dalam pelukannya. Ana terdiam sejenak dan tidak mengiyakan perkataannya. Nell segera melepaskan pelukannya kemudian mengacak-acak rambut Ana. Tangan Ana menepis tangan Nell sambil cemberut. Namun, Nell tersenyum usil kemudian berlari pulang meninggalkan Ana di dalam rumah.

*****

Matahari pagi mulai menyapa Wayshire City. Cahaya sinarnya melewati celah dahan dan pepohonan. Garis-garis cahaya menerobos di antara rindangnya pepohonan di sekitar rumah Ana. Tangan Ana mengambil sebuah ember berisi air yang berasal dari sumur di samping rumahnya. Ia mengangkatnya ke belakang rumah dan memenuhi ember yang terbuat dari kayu itu. Kakinya masuk ke dalamnya. Rasa dingin dan segar segera dirasakannya. Dengan segera, seluruh tubuhnya masuk ke dalamnya. Meringkuk di dalam ember besar dengan kepala yang diselamkannya ke bawah. Sesaat kemudian. kepalanya muncul kembali ke permukaan. Tanganya mengusap rambutnya yang berwarna gelap.

Tak beberapa lama kemudian, Ana sudah berada di dalam kamarnya dengan berpakaian baju lengan panjang putih dengan rompi coklat. Kakinya melangkah ke almari kayu tempat ibunya menyimpan harga benda berharganya. Dibukanya almari itu dan dilihatnya sebuah kotak kayu berukir berwarna emas. Tangannya mengambil kotak kayu itu dan diletakannya di atas meja. Ana mengulurkan tangan menyentuh perlahan bagian atas kotak kayu itu dan membuka. terlihat buntalan kain berwarna hijau membungkus sebuah belati. Setelah kain itu terbuka, sebuah belati dengan sarung yang terbuat dari kulit terlihat. Ia mengambil belati itu. Ana membuka matanya perlahan-lahan melihat belati dalam genggaman tanganya. Terdapat ukiran berwarna emas di bagian ujung belati yang membentuk sebuah kata-kata dalam bahasa kuno. Ana memperhatikannya sejenak dan mencoba membacanya.

"Sirk keryehsat…" gumamnya perlahan membaca tulisan itu dan tiba-tiba sebuah sinar keperakan muncul dan menyilaukan matanya. Tanganya terangkat untuk menutupi matanya.

Sinar keperakan yang muncul dari belati itu membawa sebuah ingatan hadir di kepalanya. Serpihan-serpihan ingatan masa kecilnya berputar-putar dan berhenti dalam ingatan saat Ana masih berusia 7 tahun.

Sang ibu sedang menatap sedih sebuah belati yang berada di dalam kotak kayu. Ana kecil yang berambut pendek berlari masuk ke dalam rumah dan berseru sambil memeluk ibunya. Sang ibu yang terkejut hampir saja jatuh dari kursinya. Jenice yang sedang mencoba gaun barunya mengomentari sikap Ana.

Sang ibu tersenyum dan mengusap lembut rambut Ana sedangkan Ana tersenyum konyol ke arahya. Kilatan sinar dari belati itu mencuri perhatiannya. Kepalanya melongok ke arah kotak kayu di depan ibunya. Seketika mata Ana terbelalak melihat belati yang sangat indah di dalam kotak itu.

"Wow, Indah sekali," serunya penuh kekaguman.

Jenice yang berdiri di samping ibunya ikut melongok melihat belati itu. Tanganya menggaruk-garuk kepalanya dengan malas.

"Itu pisau, aku tidak suka."

Tanpa memperdulikan pendapat Jenice, Ana yang sudah terpikat dengan belati itu menatap ibunya dengan mata yang berbinar-binar penuh harap.

"Apa belati itu boleh buat aku?"

Sang ibu tertawa ringan melihat antusias dari Ana. Tangannya menutup kembali kotak kayu berisi belati itu.

"Belati ini dulu milik ayahmu."

"Apa ayah seorang ksatria?" Ana bertanya dengan wajah polosnya.

Sang ibu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Tangan sang ibu mengusap kepala Ana yang berada di sampingnya kemudian meminta Jenice ikut duduk di sampingnya. Jenice pun ikut duduk,

"Dia lebih dari itu. Ayah kalian dulu seorang pasukan pengawal kerajaan. Dia kepala pasukan pengawal pangeran kedua. Dia sangat tampan dan gagah dengan baju seragamnya, pedangnya, dan rambut gelapnya."

Mata Jenice yang menyukai kisah-kisah cinta langsung terbelalak. Ia meminta ibunya meneruskanya.

"Lalu? bagaimana ibu bertemu dengan ayah?"

Sang ibu tertawa kemudian melanjutkan, "Suatu hari, ibu sedang bekerja di klinik dan datanglah dia dengan luka dan ibu mengobatinya. Dari sanalah, ibu dan ayah kalian jatuh cinta."

Mata sang ibu menerawang jauh mengingat kejadian itu. Kerinduan pada suaminya yang sudah meninggal sangat terlihat jelas di wajahnya.

"Apa ibu merindukan ayah?"

"Tentu saja"

Ana menatap wajah ibunya dan kembali memeluk pinggangnnya.

"Jadi, apa boleh belati itu untukku?"

Sang ibu menaikan alisnya heran mendengar rengekan Ana. Ia menghela napas lalu memandang wajah polos Ana lekat-lekat.

"Tidak. Kau masih kecil. Tapi suatu hari nanti bila kamu sudah dewasa, ibu akan memberikan belati itu padamu."

"Yaaaay…!" seru Ana kegirangan sedangnya Jenice hanya melihatnya dengan santai.

Bersamaan dengan memudarnya sinar dari belati itu perlahan-lahan serpihan ingatan masa kecilnya menghilang. Ana menurunkan tanganya dan mengerjap-kerjapkan matanya. Tanganya menyentuh belati itu dan mencoba menggunakannya. Ia mencoba mengayunkanya perlahan dan kemudian semakin cepat. Belati itu sangat pas di tanganya. Ringan dan tidak berat. Ana tersenyum bahagia kemudian memasukannya kembali ke sarungnya dan menaruhnya ke dalam tasnya. Ana memasukan seluruh uang tabungannya, beberapa potong baju, persediaan makanan untuk beberapa hari, sebotol air minum, peta dan kamus bahasa kuno. Barang-barang itu ditatanya di dalam tasnya. Ia menghela nafas kemudian berbalik dan mengambil sisir rambut yang sering digunakan Jenice dan obat-obatan yang biasa digunakan ibunya masuk ke dalam tasnya. Ana mengambil septong kue dan memakannya sampai kenyang. Setelah menyelesaikannya, tanganya mengambil tas dan keluar dari rumah itu. Tubuhnya terdiam di depan rumahnya sejenak. Dipandangnya seluruh rumahnya dengan perasaan sedih. Angin bertiup kencang mengibarkan rambutnya. Sebuah bisikan keluar dari bibirnya yang merah.

"Aku pasti akan kembali."

Air matanya mengalir di pipinya. Perlahan-lahan tangannya mengusap air mata itu dan badannya berbalik keluar dari halaman rumahnya menuju jalan setapak tanpa menoleh ke belakang.