webnovel

Bab. 4

 

 

"Lama," kata Alyta sambil mengunyah roti selai cokelatnya dengan lahap.

"Maaf, tadi aku bertemu teman lama, jadi ngobrol dulu sebentar," aku Anthony.

Alyta hanya bergumam, ia sangat menikmati makanannya. Anthony menatap wajah Alyta, kemudian ia menyambar tisu di atas meja. "Diam," katanya, membuat Alyta terdiam beberapa menit sampai Anthony selesai mengelap selai cokelat di pinggiran mulut Alyta.

Wajah Alyta bersemu. Sikap manis Anthony membuatnya seperti kehilangan napas. "Makan itu pelan-pelan, Al," ucap Anthony sembari melempar tisu di keranjang sampah tak jauh darinya.

"Abis, laper aku tuh," rajuk Alyta manja. Entah mengapa, di dekat Anthony ia merasa seperti anak kecil. Merasa sangat disayang. Digigitnya kembali potongan roti terakhir di tangannya. Mengunyah dan menelannya cepat-cepat.

Anthony mengulum senyum. "Cokelatnya luber lagi," kata Anthony.

"Mana?" Alyta menunjukkan wajahnya. Sedikit mengerucutkan bibir.

"Diam," pinta Anthony, ia tidak menyambar tisu di atas meja, tapi kali ini mendekatkan wajahnya ke wajah Alyta. Perlahan bibirnya mengecup bibir Alyta lembut.

Cup!

 

 ***

"Nakal, ih!" teriak Alyta, mendorong tubuh Anthony menjauh. Membuat laki-laki itu terkekeh. Alyta melemparnya dengan bantal sofa.

"Tapi suka, kan?" Anthony meraih tangan Alyta dan menarik tubuh gadis itu dalam dekapannya.

Alyta tak bisa bergerak. Tubuhnya sudah terkunci dalam dekapan Anthony. "Bilang, kalau kamu cinta aku, Al. Pliis," mohon Anthony, menempelkan wajahnya di bahu Alyta.

Tubuh Alyta meremang. Deru napas Anthony mulai tak beraturan. Hangat dan ....

Ponsel Alyta di atas berdering, ia melihat ayahnya memanggil.

Anthony melepaskan pelukannya dan membiarkan Alyta meraih ponsel dan menjawab panggilan. Alyta menatap Anthony sekilas sebelum menggeser tombol hijau di layar ponsel.

"Ya, Yah," jawab Alyta ragu. Ayahnya menelepon di saat yang tidak tepat.

"Kok ndak pulang-pulang toh, Nduk? Ayah sudah janji terus sama calon besan. Kasihan calon suamimu lama nunggu, lho. Kapan?"

Alyta meringis. Bingung harus menjawab apa, sedangkan Anthony terus menatapnya penasaran.

"Alyta," panggil ayahnya lagi, "kamu baik-baik saja, kan? Jangan buat Ayah dan Ibu khawatir. Kamu sudah ditungguin ini, lho."

"Iya, Yah. Alyta nggak akan ngecewain Ayah sama Ibu."

"Jadi kapan?" kejar ayahnya.

"Nggak tau, Yah. Ini masih ngerjain tugas kantor. Alyta akan kabari secepatnya."

"Lho lho, dari kemarin kan kamu itu ngomongnya begitu teros. Janji janji teros," ketus ayahnya kesal. Alyta melirik ke arah Anthony. "Dah dulu ya, Yah. Alyta lagi ada kerajaan."

"Yowess, cepet kabari Ayah sama Ibu kalau sudah mau pulang," kata ayahnya sembari menutup telepon.

Alyta menarik napas lega. Ini sudah telepon ke sekian kalinya dari orangtuanya meminta Alyta pulang ke kota kelahirannya. Alyta jadi tidak bersemangat lagi. Perasaannya hancur seketika.

"Ada apa, Al?" tanya Anthony lembut. Alyta menggeleng, ia tak ingin Anthony tahu soal rencana orangtuanya.

"Gak apa-apa kok, An. Ayah cuma khawatir aku jarang kasih kabar."

"Hemm," gumam Anthony mendengar ucapan Alyta. "Sering-sering kasih kabar, Al. Wajar mereka khawatir, kamu sendirian di sini. Kalau tiba-tiba diculik dosen tampan gimana?"

Bibir Alyta mengembang. Satu bantal mendarat di wajah Anthony. Dan laki-laki tergelak.

"Emang berani nyulik aku?" tantang Alyta.

"Berani."

"Ayo, An. Culik aku sekarang."

Anthony tertawa, "Candaannya nggak lucu, Al."

"Kan kamu yang mulai." Alyta cemberut. Melihat mata Alyta berkaca-kaca, Anthony baru menyadari bahwa Alyta sama sekali tidak sedang bercanda.

"Al," panggil Anthony, "Kamu okey?"

Alyta tidak menjawab, tapi justru menangis.

 

 ***

 

Sejak hari itu Anthony terus memikirkan Alyta. Gadis itu menyembunyikan sesuatu darinya. Entah apa.

Berkali-kali Anthony meminta Alyta untuk bicara jujur tentang masalah yang ia hadapi, tapi Alyta menolak dan bahkan sering menghindar. Mengalihkan topik pembicaraan. Atau bersikap ceria seperti biasa seakan ia tidak memiliki masalah berat apa pun yang menimpa hidupnya.

Meski begitu, Anthony terus memberikan kenyamanan buat Alyta. Menumbuhkan rasa cinta di hati gadis itu untuknya. Hingg perasaan rindu itu terus membuncah. Anthony dan Alyta tidak lagi menutupi perasaan, keduanya saling mengungkapkan cinta dengan cara mereka.

Hampirp hari Anthony bertemu Alyta di apartemennya, membantu tugas-tugas Alyta yang menumpuk. Kadang mereka ke perpustakaan untuk membaca buku. Makan malam, jalan-jalan dan menghabiskan waktu bersama di hari libur kerja.

Sudah jadi kebiasaan Anthony terus mengantar Alyta pulang ke apartemennya sepulang dari kantor atau perpustakaan.

"Selamat malam, Al. Love you." Anthony mengecup kening Alyta lembut.

"Malam, An," balas Alyta.

Mereka sering melakukan ritual seperti itu yang membuat perasaan itu menyubur.

 

 

Tiga bulan waktu yang sudah mereka lewati bersama, menciptakan hari-hari bahagia dan penuh cinta. Alyta harus memutuskan pilihan, waktunya sudah habis untuk terus berjanji pada orangtuanya. Malam itu, Alyta menyewa bus malam untuk mengantarnya pulang ke kampung halaman. Ia sudah menghubungi orangtuanya bahwa ia sedang dalam perjalanan.

"Hati-hati ya, Nduk. Ayah dan Ibu menunggu di rumah." Suara ibu Alyta terdengar sangat bahagia.  Akhirnya putrinya pulang juga setelah berbulan-bulan terus berkilah dan janji-janji yang tidak dapat ditepati.

"Demi Ibu dan Ayah." Alyta menjawab datar.

 

  Di dalam bus, Alyta terus menguatkan diri. Menahan air mata. Dan meredam gejolak dalam dada. Bus itu akan membawanya pulang, membawanya menuju jalan yang tak ia inginkan.

Alyta terus memikirkan bagaimana nasibnya nanti. Menjadi istri seseorang yang tidak ia cintai.

Langit di atas sana tertutup awan tebal. Tidak terlihat bintang-bintang bertaburan. Sebentar lagi, hujan akan turun.

 

  ***

 

Pagi ini tidak secerah biasanya, udara masih terasa lembab dan dingin. Alyta sudah menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, kota Yogyakarta. Di mana tempat ayah dan ibunya tinggal. Di kota ini pula lah ia akan dijodohkan dengan seseorang.

Ayah Aliya tampak senang menyambut kedatangan Alyta. Dipeluknya erat tubuh putrinya itu sambil menepuk-nepuk bahu Alyta lembut. Sedangkan ibunya menyeka sudut mata, terharu. Ya, sebentar lagi ia akan menjadi ibu mertua bagi menantunya.

"Mandi, makan, trus istirahat ya, Nduk. Nanti malam, Haris dan keluarganya akan datang."

Alyta melepaskan pelukan ayahnya. "Buru-buru amat ketemunya, Yah?" kata Alyta terdengar tidak suka.

Ayah Alyta tersenyum. "Lho, sudah lama dia menunggu kamu. Kamunya saja yang baru muncul."

Kedua orangtuanya tertawa, sedangkan Alyta cemberut sambil berjalan malas masuk ke kamarnya.

Ia menghempaskan tubuh di atas ranjang. Rasa lelah terasa berkali-kali lipat.

"Anthony, lagi apa kamu sekarang?" tanya Alyta lirih.

Dadanya terasa sesak. Alyta tak bisa membayangkan bagaimana kecewanya Anthony saat mengetahui Alyta tak dapat lagi ia temui. Alyta pergi tanpa pamit. Tanpa pesan apa pun. Tanpa kata perpisahan.

"Nduk, jangan lupa makan dulu nggih sebelum istirahat." Suara ibu Alyta terdengar dari luar kamar.

Alyta tak menjawab. Cepat-cepat ia mengusap matanya dan bergegas menuju kamar mandi.