webnovel

Kutu Kan

Selembar kertas diletakkan di atas meja oleh seorang wanita dewasa yang ku panggil guru. Dengan hati-hati ku perhatikan satu persatu lembar tersebut dengan cermat, jadi ini yang dinamakan tes IQ, seperti tes untuk taman kanak-kanak.

"Oke, kalian boleh mengisinya." Ia memilih duduk.

Kami pun mulai menyelesaikan lembaran tersebut dengan hening.

~*~

"Wah... Tes itu membuat gua pusing." Komentar seorang wanita di sampinhku.

Namanya Okta, usianya setahun dibawahku, mungkin, Aku sudah lupa saat menulis ini.

"Eh. Rika, kira-Kira elu mau ambil SMA atau SMK?" tanya Okta yang sepertinya penasaran dengan masa depanmu selanjutnya.

"Sepertinya SMK." ucapku berat dan tidak niat, karena memang sedang bimbang memilih yang mana.

"Wah, semangat."

"Lalu kamu sendiri, ambil apa?" tanyaku yang sama penasaran.

"Mmmhhh... Entahlah, mungkin SMA luar."

"Lah! Kenapa sama SMA sini?" tanyaku sedikit kecewa.

Okta menggeleng. "Tidak apa-apa, cuma bosen aja sama orang-orang sini." Komentar Okta tentang sekolah ini.

Kalau boleh jujur yang dikatakan Okta soal orang-orang sekolah itu memang benar. Mereka berkelompok membentuk geng, tapi Okta tidak seharusnya mengatakan itu, karena ia masih diperlakukan adil oleh mereka, sedangkan aku?

Mereka tidak akan pernah mau akrab denganku.

Bukan tanpa alasan mereka menjauhiku. Bukan karena aku susah untuk didekati, ini soal hewan yang ada di kepalaku, dibalik rambut hitam yang dikepang dua, ini terasa gatal saat aku mengingatnya saja. Dengan susah payah aku berusaha untuk menahan rasa gatal tersebut, agar Okta yang ada di sampingku tidak menjauh seperti teman-teman yang lain.

~*~

Aku berusaha menjadi teman yang baik untuknya. Seperti seorang pria yang selalu siap melindungi, walaupun nyatanya aku ini seorang wanita, tapi aku ini tomboy jadi itu tidak jadi masalah untukku.

Kelas 7 - 8 SMP teman masa kecil dari SD masih satu sekolah, walaupun beda kelas, setiap istirahat ia selalu hadir, Diana Yardani namanya, dia jauh berbeda denganku. Masih ada beberapa murid yang mau berteman dengannya yang lebih penting dia memiliki prestasi dibidang atletik, jauh sekali denganku. Namun kedekatan kami tidak berlangsung lama, ia tidak lagi meneruskan sekolah di kelas 9, entah ada apa dengannya, menghilang kabar begitu saja.

Tapi setidaknya kami masih bertemu di luar sekolah, aku bukanlah tipe wanita yang kepo dan ingin tahu urusan orang lain jadi ku urungkan niat untuk tidak bertanya apa pun soal kenapa dia tidak lanjut sekolah. Diana memang cantik jika tersenyum, kalau aku pria mungkin sudah jatuh hati, memiliki rambut sebahu hitam sedikit coklat karena sering terkena matahari.

Aku juga masih punya teman di luar sekolah, teman masa kecil. Kami kenal saat mengaji bersama di usia 6 tahun dan betapa terkejutnya saat tahu nama kami sama, hanya saja ia memiliki nama panjangan, sedangkan aku tidak. Rika Mega namanya, sekarang ia memakai hijab karena mantan murid pesantren, kalian sudah tahu sifatku, tidak peduli apa pun yang terjadi.

Karena namaku dan namanya sama, panggil saja dia Mega. Mega memiliki perawakan gemuk pendek dengan kulit sawo matang, warna kulit kebanyakan wanita Indonesia begitu juga aku dan Diana. Tapi lagi-lagi Diana menghilang tanpa kabar lagi, terakhir aku dengar kabarnya ia sudah menikah.

~*~

"Hari ini kau on?" tanya Okta.

"Ya, kau?" tanyaku.

"Ya. Tapi biasanya kau bermain di mana?" tanya Okta.

"Warnet dekat kolam renang, kau sendiri?"

"Tiger Net." Membenarkan poninya yang berantakan.

"Bukannya itu warnet isinya cowok semua ya?" tanyaku.

Okta mengangguk, membenarkan ucapanku. "Tapi koneksi di sana lancar tanpa hambatan." Jelasnya.

"Benarkah?" Aku sebenarnya tidak kaget tentang itu, kebanyakan warnet yang diprioritaskan untuk laki-laki memang luar biasa dalam koneksi. "Tapi pasti harganya mahal."

"Sejam tiga ribu, ko."

"Hah! Serius?!"

"Ya, kalau member." Okta cekikikan, karena berhasil membohongiku. Raut wajahku berubah menjadi cemberut tidak terima dengan leluconnya.

"Jangan marah." Okta memohon masih diiringi tawaran kecilnya. Matanya yang sipit membentuk bulan sabit hingga tidak terlihat bola matanya, dia chinese tapi ada sedikit wajah bulannya, entah buletin yang mana itu sangat cocok untuknya yang kulit putih bersih.

"Okta." Panggil seseorang.

Okta pun menoleh. Dia adalah Julia pemimpin geng di kelas kami, perasaan ku tidak nyaman, aku sudah menduga Julia akan membawa Okta dari ku, mencoba memisahkan kami.

"Ya?" jawab Okta.

"Aku dengar kau suka keripik pedas."

"Oh iya."

"Aku membawanya, kau mau?" Tawar Sarah di tempat duduknya posisi belakang.

"Bolehkah?" tanya Okta senang.

"Tentu saja." balas Julia.

Okta tampak senang, Ia berlari menuju meja Sarah bergabung dengan mereka dan Julia tersenyum pada bagian sudut saat melewati. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku sendiri, terdiam seperti pecundang. Ku lihat jam dinding.

"Setidaknya sebentar lagi pulang." Batinku berharap.

Aku masih harus melewati 4 jam pelajaran lagi dengan 2 mata pelajaran. Murid laki-laki yang duduk di belakang terus saja menendang tas selama pembelajaran, itu membuatku tidak nyaman. Sampai akhirnya aku memilih untuk meletakkan tas pada kaki meja saja. Tapi dia tidak berhenti begitu saja, Ia masih menendang dan sekarang mengenai tulang ekor tepat pada bagian tengah bokongku. Aku bisa mendengar mereka tertawa senang. Terserah, terserah mereka mau apa.

~*~

Dengan susah payah mencoba memasukkan pintu dengan kunci.

"Asalamualaikum." Sapaku saat memasuki rumah.

Tidak ada yang menyambut. Itu artinya semua belum ada yang pulang dari pekerjaan. Sudah pukul 3 sore, mungkin mamang sebentar lagi akan pulang dari kerjaannya. Selesai menganti seragam sekolah dengan baju rumah, ku tengok lemari yang biasa tempat untuk masakan nenek jika sudah selesai masak. Sayur tumis sawit putih sisa pagi, bagiku ini tidaklah masalah yang terpenting perut terisi.

Aku tinggal bersama Ayah, nenek dan adik laki-laki ayah, Nusa namanya. Aku memanggilnya mamang yang artinya paman dalam bahasa sunda. Di rumah susun daerah Jakarta Barat, karena jendela rumah menghadap lapangan, aku bisa melihat dengan jelas anak-anak bermain dengan senangnya.

"Asalamualaikum." Salam Mamang Nusa yang masuk dengan meletakkan helm di kursi, dengan susah payah mencoba melepas sepatunya.

"Walaikumsalam." Balasku.

"Nenek belum pulang?" tanya mamang.

Aku hanya menggeleng, ia pun mengerti.

~*~

Lagi-lagi ujian, kepalaku yang gatal semakin bertambah gatal, Aku berusaha menahan. Satu jam setengah berusaha sampai pengumpulan ulangan diberikan pada guru.

"Ihh... Apa itu yang jalan di kepalamu Rika!?" Ia menunjuk ke arah kepalaku, membuat aku malu dibuatnya. Seluruh murid mencoba melihat apa yang terjadi, mereka pun begidik ngeri setelah melihatnya, begitu juga dengan Okta.

Guru mencoba menenangkan mereka yang ribut untuk kembali ke kursi masing-masing. Julia bebisik pada Okta dan aku tahu apa yang akan terjadi nantinya.