webnovel

Air Mata Di Padang Bulan-Medan

Saya akan menyusul kekasih saya Ahmad, untuk bersama dengannya, sekalipun kami tidak bisa bersatu di dunia, kami akan bersatu di akhirat kelak. Karena cinta kami suci, dan tidak berlandaskan nafsu belaka. " Ma..., Pa..., "Satu permintaan saya sebelum detak jantung saya tidak berdenyut lagi, kuburkan saya nanti dekat dengan kuburan kekasih saya.... Mati adalah kepastian, namun bagaimana apabila seorang kekasih yang terpisah oleh waktu yang sangat lama, tiba-tiba harus bertemu dengan kekasihnya yang sudah kaku, tidak bernyawa lagi?"karena kecelakaan pesawat yang ditumpanginya? "

Man_84 · ย้อนยุค
เรตติ้งไม่พอ
20 Chs

Cobaan Dalam Cinta

Cuaca hari ini sangat sejuk, hujan rintik-rintik jatuh membasahi bumi, di tangga rumah bambu yang beratapkan rumbia, duduklah Ahmad dengan bermacam pikiran berada di kepalanya.

Tampak dari sikapnya yang mengarahkan pandangan kosong ke sebuah bunga melati dikelilingi oleh bebatuan yang sangat tajam.

"Lagi ngapain Ahmad," pagi-pagi sekali sudah berada di depan pintu?"tanya Buk Fatimah sembari duduk di samping putranya.

"Tak ada Mak, hanya pingin menghirup udara segar aja," jawab Ahmad sambil mengganti posisi duduknya.

Oh...Ya Mak,"Emak kenal dengan keluarganya gadis cantik tempo lalu yang datang menghampiri kita?"kata Ahmad penasaran.

"Latifah..!Maksud kamu?,"jawab wanita paruh baya itu meluruskan," Ia Mak,"sambut anak muda itu cepat.

"Ooo...,"semua orang kenal dengan mereka, Papanya itu adalah Ketua DPRD yang baru setahun ini pindah ke Huta Koje (nama sebuah kampung di daerah Sidempuan) dekat kampung kita.

Mereka sangat dihormati dan disegani masyarakat setempat, bahkan sampai dengan orang yang berada di kampung kita ini, apalagi Mamanya terkenal sangat dermawan.

Sering dia memberikan pertolongan kepada orang yang datang ke rumahnya meminta bantuan,termasuk Emak juga sebagai pembantu di rumahnya.

"Kenapa nak,"tanya wanita itu, penasaran.

" Gak ada Mak, hanya ingin tau aja,"jawab pemuda itu sambil menggoreskan kayu yang berada di tangannya ke tanah, sehingga mengukir wajah seorang wanita yang mengenakan jilbab, rupanya dia memendam perasaan rindu kepada bidadari pujaannya, karena sudah lebih sebulan ia tidak melihat kekasih yang amat dicintainya.

"Huk..., huk..., huk..., terdengar bunyi batuk Ayahnya dari dalam rumah, kemudian Buk Fatimah beranjak dari tempat duduknya meninggalkan Ahmad sendirian, langsung bergegas menemui suaminya yang sudah lama berbaring di tempat tidur.

" Mau makan Pa,"tanya wanita itu,"tidak Buk, Bapak tidak lapar."

Jawab laki-laki berbadan kurus itu.

"Ibu berangkat kerja dulu ya Pa,"kata wanita itu sambil mengantarkan segelas air putih untuk suaminya.

" Nak, jaga Ayahmu,"Emak berangkat kerja dulu ke rumah Pak Marwan,"kata Ibunya.

"Ia Mak, hati-hati di jalan,"jawab Ahmad santun.

Seperti biasanya, Buk Fatimah mencuci di rumah pejabat yang sudah banyak membantu kehidupannya.

" Gimana kabarnya Buk,"tanya seorang gadis cantik sambil menghampirinya.

"Alhamdulillah, sehat nak," jawab si Ibu.

"Bagaimana dengan Ahmad Buk?, "sudah lama tidak berjumpa dengannya,"kata Latifah sambil duduk di dekat Buk Fatimah.

" Dia juga sehat nak,".

Jawab si Ibu.

"Kenapa dia tidak pernah datang ke rumah Buk, agak sekali saja pun semenjak keluar dari pesantren.

Wanita tua itu terdiam, dia faham bahwa gadis itu tengah merasakan gejolak suatu perasaan, yang tidak di dapati obatnya di toko obat, maupun pada dokter yaitu penyakit rindu namanya.

" Suatu hari pasti Ahmad akan datang ke sini nak,"jawab Buk Fatimah dalam obrolan yang panjang dengan Latifah.

Tak terasa wanita paruh baya itu sudah menyelesaikan pekerjaannya dan beranjak untuk pulang.

"Dah selesai Buk," tanya Buk Marni yang baru saja keluar dari kamarnya menuju dapur.

"Udah Buk...Ditemani Ifah tadi,"jawab Buk Fatimah dengan mengarahkan pandangannya ke gadis cantik itu.

Kemudian Buk Marni memberikan sesuatu yang di bungkus plastik merah kepada Buk Fatimah.

" Ini Buk, sedikit sambal, agar dibawa pulang."Sambil memberikannya kepada wanita yang mencuci di rumahnya itu.

"Terimakasih banyak Buk, saya permisi dulu," jawab Buk Fatimah sambil melangkah meninggalkan Buk Marni dan anak gadisnya.

Hari sudah semakin gelap, senja merah sudah mulai muncul di ufuk barat, menunjukkan bahwa siang akan berganti dengan malam.

Tak berapa lama setelah Buk Fatimah sampai di rumah, suara bedug pun berbunyi menandakan waktu Sholat Maghrib sudah tiba.

Anak jebolan pesantren itu pergi untuk menunaikan Sholat Maghrib berjamaah, Ahmad tidak langsung pulang, dia mendengarkan kajian mingguan yang diadakan setiap malam jumat.

Setelah melaksanakan Sholat Isya berjamaah, anak laki-laki itu baru pulang ke rumahnya.

"Ahmad, sini dulu nak," panggil Buk Fatimah.

"Ia amak," jawab Ahmad sambil mendekati Ibunya yang masih duduk di atas sajadahnya.

"Boleh Emak bertanya kepadamu nak,?"Kata Buk Fatimah lembut.

" Ia Mak, kenapa?"Sahut Ahmad cepat.

"Apa kamu menjalin hubungan dengan Ifah, putrinya Pak Marwan?" Tegas Buk Fatimah.

Ahmad terdiam,"jawab nak,"kata Ibu nya melanjutkan.

"Ia Mak," jawab Ahmad.

Jawaban anaknya seperti suara petir di siang hari.

"Kenapa itu kamu lakukan nak, dia itu anak orang kaya, anak seorang pejabat," sementara kamu hanyalah anak seorang pembantu di rumahnya.

Tidak mungkin minyak dengan air akan bersatu, tidak akan mungkin emas dengan loyang disandingkan.

Lebih baik urungkan keinginanmu nak untuk mencintainya, Emak khawatir kalau-kalau cintamu itu akan lebih menyengsarakan keluarga kita....

Sebut wanita yang masih memakai mukenah itu.

"Emak...Sudah saya coba untuk menghilangkan wajahnya dari pikiranku, menghapus namanya dari hatiku, tapi....

Tapi saya tak sanggup Mak, semua pikiranku sudah diselimuti rasa cinta kepadanya.

Semua perasaanku sudah terarah kepadanya, setiap denyut jantungku sudah menyatu dengan jantungnya.

Maafkan Ahmad Mak," dengan mata yang berkaca-kaca anak muda itu meluapkan segala isi hatinya, Buk Fatimah langsung merangkul anaknya itu sehingga ke duanya berurai air mata.

Keesokan harinya, Buk Fatimah pergi ke rumah Pak Marwan untuk mencuci seperti biasanya, namun kali ini dia tidak sendirian, dia pergi dengan anaknya Ahmad, cukup waktu 15 menit untuk mereka bisa sampai ke rumah mewah itu.

Keduanya telah berdiri di depan pagar, Pak Anto datang bergegas untuk membukakan pagar besi itu.

Alangkah tercengangnya Ahmad melihat rumah yang begitu besar dan mewah dengan pekarangannya yang sangat luas.

"Alangkah kayanya dirimu wahai Latifah, kamu bagaikan seorang putri raja di dalam istana yang begitu megah," gumam pemuda itu dalam hatinya.

Melihat suasana seperti itu, dia semakin ragu bahwa sang raja akan memberikan putrinya dipersunting oleh anak seorang kurir kuda.

Sambil menghela nafas panjang, dia mengikuti Emaknya yang terus berjalan melewati lorong demi lorong agar sampai ke pintu rumah.

Buk Fatimah memencet sebuah benda bulat berwarna putih, ujungnya berwarna merah,

"Tet..., tet..., tet..., tak lama kemudian keluarlah seorang gadis yang tidak asing lagi baginya membukakan pintu.

Ke dua muda-mudi itu terkejut seolah-olah tidak percaya dengan sesosok tubuh yang lagi berdiri di hadapannya, membuat wajahnya semakin indah di pandang ketika tertunduk bersembunyi di balik jilbabnya yang berwarna merah.

" Silahkan masuk Buk,"mulai Latifah membuka pembicaraan.

"Ia nak," jawab wanita itu dan terus melangkah ke tempat dia bisa berteman dengan air, sambil mengucek-ngucek pakaian.

Sementara ke dua insan yang sedang dilanda rindu itu masih tertegun kaku, seakan-akan darahnya deras mengalir.

Jantung berdebar kencang, ingin menyampaikan perasaan rindunya, akan tetapi anak muda itu kaya dengan kata-kata manakala dia sendirian dan lidah terasa kaku manakala berhadapan.

"Kemana saja dirimu wahai kekasihku, sudah lama saya menahan perasaan rindu kepadamu."

Apakah angin tidak meniupkan perasaan cinta yang selama ini membelengguku kepadamu wahai pujaanku."Kata Latifah kepada Ahmad.

"Janganlah dikau berburuk sangka kepadaku wahai belahan jantungku, perasaan hati ingin selalu bertemu, namun semua itu aku urungkan demi menjaga harga dirimu dan keluargamu.

" Kerapkali kutapaki setiap kerikil tajam, lewat di depan rumahmu hanya sekedar dapat menatap kecantikanmu, walaupun aku harus menahan teriknya matahari berdiri di depan pagar rumahmu, akan tetapi aku tidak dapat melihat wajahmu maupun mendengar suaramu, meskipun barang satu atau dua kata untuk mengobati gejolak rindu di dadaku.

Semua itu sirna, manakala suara klakson mobil Papamu mengejutkan ku serta menyuruhku agar melepaskan genggaman tanganku di pintu pagar besi yang menghalangi pandanganku untuk dapat menatap kecantikanmu duhai kekasihku.

Papamu langsung menatap ke arahku dan mengarahkan jari telunjuknya kepadaku untuk menyuruh aku pergi dari penantian ku,"jawab anak muda itu sembari memandang ke sebuah photo keluarga yang berada di ruang tamu.

Sejenak Latifah terdiam memandangi wajah murung kekasihnya.

"Rupanya sangat besar cintamu kepadaku kekasihku," gumam gadis berkulit putih itu sambil menatap ke seekor ikan yang lagi kejar-kejaran berada di dalam kolam miliknya.

" Ifah..., perlu kamu ketahui bahwa hatiku sangat terpaut dengan hatimu, ibarat seekor ikan yang tidak dapat dipisahkan dengan air, sudah lama saya merasakan keputusasaan dalam mengarungi bahtera hidup ini, akan tetapi keinginanku untuk hidup semakin besar ketika aku mengenal dirimu, engkau ibarat lembah kehidupan dan pengharapan bagi diriku duhai kekasihku,"sebut Ahmad sambil menatap wanita yang tengah berdiri di hadapannya dengan penuh cinta.

"Ooo...," rupanya kecurigaanku selama ini benar,"kata Pak Marwan yang sedari tadi menguping pembicaraan antara dua muda-mudi itu.

"Dasar kamu anak tak tau diuntung, " Berani mencintai anak saya.

Kamu siapa rupanya, anak seorang pejabat?, atau anak seorang konglomerat,"sambil mendorong tubuh Ahmad dan terus membentaknya.

"Jangan Papa, dia benar-benar mencintaiku dengan setulus hati.

Kata Lathifah sambil menahan Papanya.

"Tau apa kamu tentang cinta Latifah? Sungguh kamu sudah dibutakan dengan cinta, anak muda seperti dia ini tidak akan sanggup membahagiakan hidupmu.

Kamu akan hidup menderita dengan anak muda pemenung ini, sekarang ini adalah masa semuanya dinilai dengan harta, buka lebar-lebar matamu Ifah, keluarga kita bisa se kaya ini karena usaha dan kerja keras....

Bukan cerita-cerita cinta khayalan orang-orang pemalas seperti dia.

Sambil mengarahkan telunjuknya ke wajah anak muda itu.

Mendengar suara ribut-ribut, Buk Fatimah segera meninggalkan cuciannya dan mendekati sumber suara itu, dia melihat Ahmad lagi menangis tersedu-sedu bercampur takut diperlakukan sedemikian rupa oleh majikannya.

"Hentikan Pak... Jangan sakiti dia, aku mohon," kata wanita paruh baya itu sambil menangis menarik tangan Pak Marwan yang sedari tadi menggenggam kerah baju pemuda yang berada di hadapannya.

"Kamu sama saja dengan anakmu, tidak tau diuntung, kamu hidup karena belas kasihan dari kami, anakmu sanggup menyelesaikan sekolahnya karena bantuan kami, suamimu masih hidup sampai sekarang ini karena pertolongan kami. "

"Pa, jangan berkata seperti itu, nggak baik pak, membuat Buk Fatimah semakin sedih, kasihan Pa....

Kata Buk Marni yang baru keluar dari kamarnya.

" Biar saja, agar dia sadar siapa dia sebenarnya, jangan berani-beraninya anak itu mencintai anak kita,"kata Pak Marwan yang masih disulut emosi.

"Pa...Ahmad tulus mencintai saya, tolong beri dia kesempatan padanya Pa, " sebut Latifah meyakinkan Papanya.

"Alah..., dia hanya memanfaatkanmu Latifah, dia pasti akan menghabiskan harta kita untuk menopang keluarganya agar bisa bertahan hidup, " sahut Pak Marwan cepat dengan tatapan tajam mengarah ke Ahmad.

"Pak, walaupun saya anak seorang pembantu rumah tangga, walaupun saya anak seorang wanita tukang cuci, tapi saya tidak seperti yang Bapak tuduhkan, saya mencintai anak Bapak dari lubuk hati yang paling dalam, bukan memandang bahwa dia adalah anak seorang yang kaya, bukan karena dia bertahta dan hidup di sebuah istana yang megah, yakinlah Pak, bahwa cinta kami suci, " jawab pemuda itu sambil merunduk, memohon agar direstui.

" Buah itu tidak akan jatuh jauh dari pohonnya, pergi kalian dari rumah ini, jangan pernah menginjakkan kaki lagi di rumahku,"Anto...

Usir wanita tua dan anaknya dari sini....

Sambil menangis, securiti itu memapah Buk Fatimah yang sudah lemas keluar dari pekarangan rumah.

"Ahmad... Jangan pergi, saya tidak sanggup hidup tanpamu, saya sangat mencintaimu...," teriak Latifah sambil berlari menghampiri kekasihnya.

Namun, secepat-cepatnya lari seorang wanita, lebih cepat lagi lari seorang pria, Pak Marwan langsung menyambut pergelangan tangan anak gadisnya dan memaksanya masuk ke dalam rumah.

Ke dua muda-mudi itu hanya bisa bertatapan dari celah-celah pagar hitam yang memisahkannya dengan berurai air mata.

Lama kelamaan tatapan mata gadis cantik itupun hilang dari pandangannya, dengan keperihan hati, anak dan Ibu itu kembali ke rumahnya.

🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫