webnovel

Bab 23

"Tidak ada lagi yang akan kamu katakan Sa?"

Rosa menggeleg. "Tidak."

"Kalau begitu aku harus pergi. Ada urusan soalnya."

"Tunggu."

Agnia berdiri dan hendak berjalan pun terhenti. "Iya? Ada lagi?"

"Apa tawaranmu waktu itu masih berlaku?"

"Tawaran yang mana ya?"

"Saat kamu pertama kali berkujung ke rumahku. Saat pulang dari rumah sakit." Rosa menelan ludahnya susah payah. "Apa aku bisa bergabung untuk membalaskan rasa sakit hatiku pada Ivan?"

*****

Agnia yang akan masuk ke dalam mobil terhenti tatkala ponsel di tasnya bergetar. Ia menerima panggilan telepon tersebut. "Iya Dirga, ada apa?"

"Bisa aku minta bantuanmu?"

"Selagi aku bisa membantu kenapa tidak? Katakan, mau minta bantuan apa?"

"Tiba-tiba saja ada pertemuan di luar kota selama dua hari. Bisa tidak selama dua hari aku menitipkan Maira padamu? Aku merasa tidak tenang meninggalkan anak itu di rumah. Di rumah banyak pelayan juga, tapi aku merasa Maira lebih aman saat bersamamu. Kalau kamu sibuk, aku bisa mengerti."

"Tidak. Aku tidak sesibuk dirimu. Aku akan menjaga Maira selagi kamu pergi."

Di seberang telepon sana Dirga tersenyum dan merasa lega. "Terima kasih. Oiya satu lagi, bisa tolong jemput Maira?"

"Ya, sekalian aku bilang kalau dia akan ada di rumahku selama dua hari." Sambungan telepon terputus. Memasukkan benda pipih nan canggih pada tas.

Netranya melihat ke depan, menangkap pemandangan di mana Ivan sedang bergandengan tangan dengan mesra bersama Tiara.

"Kamu mungkin bisa tersenyum lebar untuk saat ini, tapi tidak lama lagi senyum itu akan lenyap, berganti dengan penderitaan. Lihat saja nanti Ivan."

Agnia bergegas masuk sebelum Ivan melihatnya. Jalanan hari ini tidak begitu macet, cenderung lenggang hingga sampai di sekolah Maira lebih awal.

Selang lima menit para murid keluar dari lingkungan sekolah. Agnia turun dari mobil dan melambai ke arah Maira yang terlihat celingukan, mencari soosk sang paman.

Maira berlari dengan senyum menghiasi wajah cantiknya. "Bibi yang menjemput Maira ya?"

"Iya, kenapa?"

"Tidak apa-apa kok Bi. Maira senang."

Agnia tersenyum dan mengelus puncak kepala anak kecil tersebut. "Maira lapar?"

Mengangguk cepat. "Iya. Ayo kita makan." Memegangi daerah perut.

"Bagaimana kalau makannya di rumah Bibi saja. Maira mau kan?"

Bola mata anak itu membesar penuh rasa ceria. "Mau, mau, mau." Dengan semangat Maira menjawab.

*****

Keduanya sampai ke dalam apartemen Agnia. Maira melihat ke sekitar, mengamati bagaimana rumah bibi kesukaannya. "Ini rumah Bibi?"

"Iya. Tidak sebesar milik pamanmu. Semoga betah ya."

"Rumah Bibi bagus kok. Rapi lagi. Maira suka."

"Kalau begitu, Maira duduk dulu. Bibi akan buatkan makanan. Maura pengen makan apa?"

"Hmmm, apa ya." Berpikir. "Nasi goreng aja Bi."

"Bener hanya nasi goreng?"

Maira mengangguk. "Iya. Sudah agak lama Maira tidak makan nasi goreng."

"Bibi akan buatkan. Kalau Maira bosen, bisa sambil nonto tv." Setelah mengatakannya, Agnia pergi ke dapur.

Sementara Maira duduk di sofa tepat di depan tv. Ia menyalakan benda elektronik tersebut dan mulai mencari siaran kartun kesukaannya.

Terdengar gelak tawa Maira saat melihat adega yang dianggapnya lucu. Ia bahkan tertawa terpingkal-pingkal hingga tak sengaja menyeggol kardus hingga pakaian yang ada di dalamnya jatuh.

"Aduh, jatuh." Maira mengambil dan menata kembali pakaian-pakaian tadi. Pandangannya terfokus pada pakaian berukuran kecil disertai tulisan 'Adelia' di bagian depan pakaian. "Lucu sekali bajunya."

Dari arah samping tampak Agnia menghampiri Maira. Meletakkan nampan berisi makanan dan minuman ke atas meja.

"Nasi gorengnya sudah jadi. Ayo makan." Agnia belum mneyadari tentang pakaian tadi.

"Bibi."

"ya?"

"Ini baju siapa? Kok kecil? Lucu." Maira tak bosan memandang benda tadi.

Sontak Agnia mneoleh. Perasaan sedih menghantam ke dalam hatinya. Untuk sesaat Agnia terdiam membisu. Mencoba mengendalikan diri agar air mata tak luruh.

"Itu, pakaian anak Bibi."

"Ohh. Namanya Adelia ya?"

"Iya." Tersenyum getir.

"Tapi kenapa cuma satu Bi? Dan di mana anak Bibi? Dia di sini tidak?"

Agnia menggeleng lemah. "Anak Bibi sudah tidak ada. Dia berada di surga."

"Seperti ibunya Maira?"

Agnia tersenyum sambil mengelus rambut Maira. "Iya."

"Berarti anak Bibi dan Ibunya Maira bisa bertemu dong?"

"Mungkin."

Maira melihat sekali lagi ke arah pakaian tadi yang kini sudah dipegang oleh Agnia. "Tapi kenapa ukuran bajunya kecil Bi?"

"Itu karena anak Bibi meninggal saat masih kecil. Jadi bajunya juga kecil." Mengelus tulisan 'Adelia'. "Baju ini Bibi buat khusus untuk Adelia. tapi sayangnya tidak pernah bisa dipakai."

"Andai saja bajunya muat di Maira, Maira mau memakainya."

Agnia tersenyum. "Sebaiknya segera dimakan nasi gorengnya, Nanti keburu dingin."

"Oiya, sampai lupa soal nasi goreng." Maira melihat raut wajah sedih Agnia. "Maaf ya membuat Bibi sedih gara-gara pertanyaan Maira."

Agnia menggeleng. "Tidak kok. Bukan salah Maira. Justru Bibi yang harus berterima kasih sama Maira."

Anak perempuan itu mengernyitkan kening, merasa bingung. "Kenapa begitu Bi?"

"Soanya bibi lupa menaruh di mana tadi. Eh tidak taunya ada di tumpukan kardus berisi pakaian bekas. Untung kamu temuin, kalau tidak, mungkin baju anak bibi ikut kesumbang juga."

Maira menatap kardus yaang ternyata berisi pakaian-pakaian bekas. "Memangnya bisa ya pakaian bekas disumbangkan?"

"Bisa, asal pakaiannya masih layak dikenakan. Memangnya Maira tidak pernah menyumbangkan pakaian Maira?"

Maira menggeleng cepat. "Tidak pernah Bi. Paman biasanya menyumbangkan bahan makanan ke panti-panti. Maira kadang ikut."

"Memangnya pakaian Maira dikemanakan kalau sudah tidak dipakai lagi?"

"Mungkin dibuang."

"Sayang kalau pakaian yang masih layak dipakai dibuang."

"Iya, ya."

"Maira punya pakaian yang tak terpakai dan masih bagus?"

"Punya Bi."

"Bagaimana kalau Maira sumbangkan saja pakaan-pakaian itu? HItung-hitung membantu mereka yang kekurangan pakaian layak."

*****

Rosa baru saja pulang dari toko kue yang akan Agnia buka beberapa hari lagi. Untungnya di sana tidak ada hal yang membuat jengkel dan karyawannya juga cukup ramah.

Rosa mendadak berhenti saat berada tepat di depan kontrakan. Ia terkejut mendapati kontrakannya sanga berantakan. Pakaian yang masih dalam jemuran kini berceceran terkena tanah, botol-botol plastik yang ia kumpulkan juga tercecer dan memenuhi halaman rumah.

Pagar kayu juga sebagian koyak. Rosa melangkah masju. PIntu kontrakan juga rusak, seperti habis dibuka paksa.

Wanita itu masuk ke dalam rumah, untung saja masih rapi. Saat hendak mengecek kamar, Rosa melihat ada secarik kertas yang ditempel solasi. Di kertas itu tertulis

'Akibat jika melawanku - I'

Rosa mengambil kertas tadi dan meremasnya dengana kuat. "Pria itu benar-benaar kejam!"

"Rosa! Apa-apaan ini" Terdengar seorang wanita marah yang menghampiri Rosa. "Pagar rusak, pintu juga rusak. Bagaimana bisa?"

"Saya juga tidak tau Bu. Pulang-pulang sudah begini keadaannya."

Si ibu pemilik kontrakan masih terlihat marah, ia tidak puas dengan jawaban Rosa. "Pokoknya kamu harus ganti!"

"Tapi ...."

"Tidak ada tapi-tapian! Ganti atau saya laporkan kamu ke polisi!"