webnovel

7. Salah Dugaan

"Jadi? Lo habis di jahil in sama anak kantor yang ada di sini? Cuman karena dia bela in teman-nya yang kena pecat sama atasan kita? Padahal jelas-jelas dia bilang sendiri kalo penyebab utama-nya itu bukan elo tapi dia tetap nyalahin elo, Rei? Sumpah! Siapa sih yang udah berbuat kayak gitu? Padahal udah cukup detail, peraturan kantor ini di jabarkan dan di jelaskan kepada para karyawan. Kalo di kantor ini, gak boleh ada yang bersikap senioritas. Tapi ternyata, masih aja ada orang yang melanggar aturan kayak gitu!" Ical pun lantas berucap dengan ekspresi yang telah di pasang se-emosi mungkin.

Bahkan kini, Ical pun juga turut mengepalkan tangan-nya, seperti sudah sangat siap untuk segera ia layangkan kepada karyawan pelaku senioritas di kantor mereka ini.

Sedangkan Reina, ia yang melihat betapa perduli-nya Ical kepada dirinya pun lantas mulai melebarkan senyuman-nya.

Bagaimana pun juga, Reina tetap harus bersyukur karena masih ada yang mencemaskan diri-nya, di kantor ini.

"Mungkin karena dia begitu perduli-nya sama si Jesika aja, maka dari itu dia jadi marah sama gue. Lo kan juga tau sendiri, kalo di sini gue itu masih jadi karyawan baru. Gue baru masuk kerja hari ini. Dan, di waktu SMA. Jesika gak begitu suka sama gue karena gue yang selalu jadi juara di kelas. Padahal selama ini gue sama sekali gak ada hasrat atau rasa buat nyaing in dia. Gue cuman belajar dan menjawab semua soal ujian dengan kemampuan gue. Tapi, gak tau kenapa dia tetap jadi juara 2. Jujur, gue gak enak sama dia. Tapi, lo tau sendiri kan? Gak mungkin buat gue suruh guru waktu itu buat tuker nilai gue sama si Jesika. Dan, harus-nya Jesika lebih bersyukur sama hidup-nya. Walau pun benar gue itu juara 1 di kelas tapi nyatanya, gue sama sekali gak bisa lanjut kuliah kayak kalian semua. Padahal gue pengen banget kuliah kayak kalian waktu itu," balas Reina seraya tersenyum dengan wajah yang menggambarkan kemirisan.

Tampak-nya, saat ini gadis itu mulai meratapi tentang nasib yang ia alami.

Ical yang menyaksikan wajah sedih yang mulai mendiami wajah gadis itu pun dengan segera langsung menyadarkan diri-nya. Mulai merefresh otak-nya, agar bisa berpikir kembali dengan baik dan membuat gadis itu menjadi kembali baik-baik saja.

"Lo apa-apa an sih, Rei! Lo gak boleh bilang kayak gitu. Semua orang punya takdir dan hoki-nya sendiri. Mungkin emang benar lo itu gak kuliah seperti gue dan yang lainnya. Tapi, lo bisa lihat sendiri kan? Kalo sekarang lo itu justru punya jabatan yang gak main-main! Menjadi editor pusat di kantor ini, benar-benar impian dari semua orang kali, Rei. Lo bahkan pasti udah tau, kalo perusahaan ini itu udah terkenal banget. Jadi, lo itu lebih beruntung dari kita-kita, Rei! Mungkin pekerjaan ini emang udah jadi rezeki lo. Mau orang lain lakuin apapun ke elo, yah kalo ini rezeki-nya elo. Orang-orang gak akan bisa berbuat apa-apa. Ya udah, sekarang lo gak usah sedih lagi. Gimana kalo gue bantu in lo buat buka pintu ruangan lo? Tenang aja, gue punya senjata yang tepat buat kondisi yang seperti ini!"

Ical pun lalu tampak tersenyum singkat setelah mengatakan semua kata-kata penyemangat-nya untuk gadis itu.

Perlahan, Ical pun mulai melangkah ke arah lain. Pria itu kini tampak mulai menyusuri setiap rak yang ada di sudut ruangan kantor mereka itu atau rak yang tersandar di dinding-dinding kantor mereka.

Reina yang sejujurnya tidak mengerti dengan tingkah dari pria itu pun hanya memilih untuk membodo-amatkan saja pikiran-nya yang terus menebak maksud dari perilaku pria itu.

Hingga setelah beberapa saat mereka berkeliling namun tak kunjung menemukan barang yang di cari oleh Ical itu, Reina pun lantas mulai angkat suara. "Cal! Lo lagi cari apaan sih sebenarnya?! Kaki gue pegel tau gara-gara ikut in lo yang gak jelas tujuan dan maksud-nya gini!" kesal Reina yang sedari tadi tampak bergerak tak tentu arah, di bawa oleh pria itu.

Ical pun lantas mengangkat wajah-nya, menatap penuh ke arah gadis yang ada di belakangnya itu.

Namun, di saat Ical mengalihkan pandangan-nya ke arah Reina. Tiba-tiba saja, arah mata-nya justru malah jatuh, tepat pada bagian kepala atas gadis itu.

Di dekat tali pita yang mengikat rambut gadis itu, terlihat sebuah jepitan panjang berwarna hitam yang ia rasa, itu adalah sumber dari hoki mereka.

Tanpa permisi atau meminta izin terlebih dahulu dari sang empu, Ical pun langsung saja mengambil benda itu dan merampas-nya, tentu saja.

Apalagi yang akan pria itu lakukan selain tidak merampas benda itu.

"Ical!! Astagfirullah! Lo apa-apaan sih! Kembali in gak, jepit rambut gue! Ya ampun, Ical! Itu jepit rambut kesayangan gue banget! Itu jepit satu-satunya yang gue punya sebagai peninggalan dari orang tua gue! Ical! Buruan balik in jepitan itu ke gue! Lo mau apa in jepitan rambut itu?! Ical! Cal! Lo denger gue gak sih?!"

Saking kesal-nya, Reina yang sebelumnya hanya berbicara dengan suara yang pelan pun. Kini langsung berubah drastis menjadi meninggikan nada suaranya.

Semua itu ia lakukan, tidak lain tidak bukan karena gadis itu ingin jepitan-nya segera kembali kepada dirinya.

Mengingat jarak dirinya dan Ical yang saat ini lumayan terpaut jauh, maka dari itu, Reina pun memilih untuk meneriaki pria itu.

"Ikut in aja gue bentar! Sumpah! Ribet banget sih hidup lo, Rei! Tinggal ikut gue dan lihat apa yang akan gue lakuin dengan jepitan ini, apakah itu sangat ribet dan sulit? Tentu enggak, kan?" balas Ical dengan nada setengah berteriak-nya juga.

Ical pun tetap melangkahkan kaki-nya terus hingga sampai pada tujuannya. Reina yang mendapati keegoisan dari pria itu pun, tidak memiliki pilihan lain selain hanya mengikuti saja kemauan dari pria itu.

Hingga tak lama setelah itu, Reina pun berhasil di buat membelalak sempurna saat mendapati Ical yang mulai melancarkan aksi-nya dengan menggunakan jepitan kesayangan-nya itu.

Krek! Krek! Krek!

Dalam was-was nya, Reina pun tampak mulai berkeringat dingin saat melihat Ical terus mengotak-atik pintu ruangan-nya itu dengan menggunakan jepitan hitam-nya.

Sungguh, pikiran Reina saat ini hanya di penuhi dengan kekhawatiran diri-nya akan hancur-nya jepitan kesayangan-nya. Dan tak berselang lama setelah itu, ternyata....

Ceklek!

"Kamu ngapain di sini? Apa tidak ada yang mengajari kamu sebuah sopan santun? Bukan kah sudah saya jelaskan bahwa peraturan di sini mengharuskan bagi seluruh karyawan untuk mengetuk pintu sebelum akan bertamu. Bukan malah membobol pintu ruangan ini layaknya seorang maling! Mengerti kamu!"

Suara tegas yang benar-benar telah di kenali banyak orang itu pun lantas memenuhi seisi ambang pintu itu.

Semua mata tampak-nya merasa terkejut dengan kehadiran tiba-tiba pria itu yang ternyata berada di dalam ruangan yang tadi Ical kira terkunci.

"Javier?! Kamu..."

*****