webnovel

Nyaman Bersama Mantan

Minggu pagi, Ayu sudah terlihat rapi. Gaun warna putih dengan gambar ilustrasi bunga Allamanda warna kuning dan rambutnya yang lurus terurai, membuatnya terlihat lebih fresh dari biasanya.

“Ay, kamu mau ke mana?” Kening Nanda berkerut saat melihat istrinya itu sudah berpenampilan rapi pagi-pagi sekali.

“Ini weekend. Aku mau main ke rumah bunda. Kamu nggak kerja ‘kan? Aku nggak perlu siapin pakaian dan sarapan untuk kamu. Makan di luar sama Arlita aja kayak biasanya. Aku juga ada janji sama Dokter Nadine dan Dokter Sonny. Kebetulan, mereka lagi main ke Surabaya,” tutur Roro sambil tersenyum manis.

“Oh. Kamu nyuruh aku pergi sama Arlita karena kamu mau ketemu sama Sonny?” tanya Nanda.

“He-em.” Ay mengangguk sembari menatap tubuhnya di depan cermin sekali lagi untuk memastikan tidak ada yang minus dari penampilannya.

Nanda terdiam sambil melirik tubuh Ayu. Kulit wanita itu tidak terlalu putih, tapi sangat mulus. Tidak ada bekas luka sedikit pun di tubuhnya dan terlihat mengkilap. Tanp sadar, ia mendekati tubuh Ayu dan menyentuh bagian punggungnya yang terbuka.

“Kamu apaan, sih!?” Ayu langsung beringsut menghindar.

“Ay, bukannya kemarin kita udah baikan? Mmh … kamu nggak berniat bawa aku? Kalau bundamu nanyain kenapa kita nggak dateng bareng, kamu mau ngomong apa?” tanya Nanda.

“Bilang aja kalau kamu lagi pergi weekend sama pacar kamu dan nggak ada waktu buat nemenin istri,” jawab Ayu santai.

“Kamu mau bikin aku dan orang tuaku berantem?” tanya Nanda.

“Berantem kenapa? Bukannya kamu udah biasa juga jalan sama pacar?” tanya Ayu balik. “Kalau mau jalan sama dia, kamu juga nggak pernah mikir perasaanku, perasaan orang tua kita.”

“Maksud kamu apa ngomong kayak gini? Asal kamu diam, mereka nggak akan tahu.”

“Oh. Kamu pikir, mereka itu buta? Tanpa aku kasih tahu, mereka akan tahu dengan sendirinya. Kamu datang ke acara ulang tahun kota sambil gandeng Arlita. You know, semua keluargaku juga ada di perjamuan itu termasuk ayah. Mereka diam bukan berarti nggak tahu kelakuan kamu, Nan. Aku tinggal bilang ke mereka kalau aku nggak mau melanjutkan hubungan rumah tangga ini dan semuanya kelar. Kita nggak perlu pura-pura bahagia.”

“Kamu ini kenapa? Kemarin, kita udah baikan dan baik-baik aja. Kamu ngomong kayak gini karena mau ketemu sama Sonny, makanya hatimu berubah!?” tanya Nanda.

“Aku sama Sonny Cuma berteman. Meski udah putus, nggak ada salahnya silaturahmi. Toh, kami ketemu nggak cuma berduaan doang. Ada Dokter Nadine juga di sana,” jawab Ayu.

“Aku ikut!” pinta Nanda.

“Eh!? Bukannya kamu ada janji jalan sama Arlita siang ini?”

“Kamu tahu dari mana?”

“Arlita kirim pesan ke aku,” jawab Ayu sambil menunjukkan layar ponselnya ke hadapan Nanda. Memperlihatkan pesan dari Thalita beberapa jam lalu yang mengatakan akan meminjam suaminya itu untuk pergi berlibur. Entah kenapa, hatinya mulai kesal saat Arlita masih terus menempel pada Nanda. Meski ia tidak mencintai Nanda, tapi dia adalah istri sahnya dan Arlita terang-terangan mengajak suaminya pergi keluar. Rasanya, ia masih tidak percaya bisa hidup dalam rumah tangga yang rumit, rumah tangga yang tidak ada impian di dalamnya meski hanya secuil saja.

“Nan, lebih baik kamu urus pacar kamu ini, ya! Meresahkan banget. Aku males berantem, males ribut-ribut. Jangan sampai aku ketemu langsung sama dia. Meski kamu nggak cinta sama aku, aku tetap istri sah kamu dan aku bisa nuntut kamu karena sudah menelantarkan istrimu.”

“Menelantarkan gimana? Aku nafkahi kamu setiap hari, Ay.”

“Nafkah dalam rumah tangga itu bukan sekedar uang, Nan. Kamu sama sekali nggak cocok jadi suami, apalagi jadi seorang bapak. Kalau bukan karena desakan keluarga, aku lebih baik jadi single mom seumur hidupku daripada harus menikah sama kamu.”

“Ay, kamu jangan mancing emosiku, ya! Aku sudah minta maaf dan ngajak kamu baikan. Kenapa kamu malah kayak gini? Bilang aja kalau kamu tuh mau ketemu mantan pacar kamu itu!” sahut Nanda kesal.

“Ya. Aku memang mau ketemu sama mantan pacarku dan kamu nggak perlu ikut karena bisa mengacaukan suasana!” tegas Ayu sambil berlalu pergi.

Nanda mendengus kesal. Ia menarik lengan Ayu dan langsung menghisap kuat leher wanita itu. Meninggalkan bercak merah di sana dengan sengaja.

“Kamu apa-apaan sih, Nan!?” seru Ayu sambil berusaha mendorong tubuh Nanda.

Nanda semakin menarik kuat tubuh Ayu dan kembali menghisap leher dan dada wanita itu dengan paksa. Meninggalkan bercak merah di tubuh wanita itu. “Silakan ketemu sama Sonny dan dia akan berpikir apa kalau lihat kissmark ini?”

Ayu menghela napas sambil menatap wajah Nanda. “Sonny itu pria yang dewasa dan baik hati. Dia nggak akan menolak kehadiranku hanya karena bekas cupangan di tubuhku ini. Meski seluruh tubuhku merah karena kissmark dari kamu, aku akan tetap ketemu sama Sonny dan Nadine!” tegasnya dan berlari keluar dari dalam kamar.

Nanda mendengus kesal sambil menatap punggung Ayu yang bergerak menghilang dari pandangannya. Ia berusaha mengejar langkah Ayu, namun dering ponsel yang ada di atas nakas … mengurungkan niatnya.

Nanda langsung meraih ponsel tersebut dan menjawab panggilan telepon dari Arlita.

“Nan, kamu bisa temani aku shopping ‘kan? Aku kangen sama kamu, Nan,” rengek Arlita dengan suara mendesah yang sengaja dibuat-buat.

Nanda menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan matanya. “Iya. Aku temani kamu. Mau belanja apa, sih?”

“Belanja bulanan seperti biasa. Jemput aku di apartemen, ya!” pinta Thalita dari seberang telepon.

“Jam berapa?”

“Jam sembilan aja. Aku udah izin sama istri kamu. Dia nggak akan ganggu kita. Jadi, kamu bisa temani aku keluar sampe sore ‘kan?”

Nanda menghela napas sambil mondar-mandir di dalam kamarnya. Hatinya yang dulu pasti, kini mulai bimbang. Ia tidak tahu mana yang harus ia pilih. Menemani Arlita pergi berbelanja atau menyusul Ayu ke rumah orang tuanya dan ke restoran tempat ia janjian ingin bertemu dengan Sonny.

“Nan …! You hear me?” Suara Arlita membuyarkan lamunan Nanda.

“Yes, I hear. Aku jemput kamu jam sembilan.”

“Oke. Makasih, Sayang! Emmuach …!”

“Mmuaach …!” balas Nanda dan ia mematikan panggilan telepon dari Arlita.

Nanda menghela napas. Ia bergegas mempersiapkan dirinya untuk pergi bersama Arlita.

Sementara, Ayu memilih untuk pergi ke rumah bundanya. Berbincang beberapa hal tentang masa depannya sebelum ia menyusul Nadine dan Sonny di salah satu restoran yang telah ia janjikan sebelumnya.

Tepat di jam dua belas siang, Ayu melangkahkan kakinya perlahan, masuk ke dalam restoran bintang lima yang sudah dipesan Nadine dan ia segera pergi ke VIP Room.

“Siang …!” sapa Ayu sambil melangkah masuk ke ruang VIP yang sesuai dengan nomor yang diberikan Nadine.

“Siang, Roro Ayu …!” balas Nadine sambil menghampiri Ayu dan merangkulnya penuh ceria. “Look! Aku bawa siapa?” Ia memainkan mata ke arah Sonnya yang duduk di kursinya sambil tersenyum menatap Ayu.

“Aku sudah tahu, Nad. Kemarin, kamu sudah bilang ‘kan?” sahut Ayu.

“Mmh … iya juga, sih. Ayo, duduk!” pinta Nadine sambil mengajak Ayu untuk duduk di kursi kosong yang ada di sebelah Sonny.

“Gimana kabar kamu, Ay?” tanya Sonny.

“Baik. Kamu gimana?” tanya Ayu sambil menatap pria berkacamata dengan kulit sawo matang. Mata sipit dengan alis tebal dan hidung bangir … bagi Ayu, Sonny adalah pria tampan versi dirinya sendiri. Bukan hanya terlihat berwibawa di luar, Sonnya juga selalu bersikap lembut dan baik hati. Sebagai dokter muda, ia juga masuk dalam daftar mahasiswa terbaik. Ia benar-benar merasa hidupnya sangat menderita. Sudah memiliki kekasih yang begitu sempurna dan sesuai impiannya, tapi malah terenggut oleh tindakan biadab seorang pria yang kini berstatus sebagai suaminya.

Nadine menatap nanar ke arah Ayu yang matanya kini berkaca-kaca. “Ay, apa kamu butuh waktu untuk bicara berdua aja sama Sonny?”

“Nggak perlu, Nad. Ayu sudah menikah. Tidak pantas kalau aku hanya bicara berdua dengnnya. Kamu bisa jadi saksi pembicaraan kami. Dengan begini, aku akan lebih mudah menjelaskan pada Nanda jika dia mempertanyakan pertemuan ini,” tutur Sonny.

“Aku sudah bilang ke Nanda kalau ketemu kamu di sini. Dia juga lagi pergi sama Arlita,” ucap Ayu lirih.

“Arlita siapa?” tanya Nadine.

“Pacarnya Nanda,” jawab Sonny.

Nadine mengernyitkan dahi. “Hubungan kalian ini gimana, sih? Aku nggak paham. Asli. Roro nikah sama Nanda. Tapi dia jalan sama Sonny. Terus, suami kamu itu masih punya pacar? Aku pusing mikirinnya, Ro.” Ia mengaduk-aduk orange juice di hadapannya dan menyesapnya perlahan sambil menatap wajah Ayu.

“Nggak usah dipikirin, Nad. Kalau bukan karena desakan keluarga, aku nggak akan nikah sama Nanda, sementara aku sudah tunangan sama Sonny. Aku ...” Ayu menghentikan ucapannya sambil melirik ke arah Sonny.

Nadine menaikkan kedua alisnya, menunggu Ayu melanjutkan ucapannya.

“Aku hamil anak Nanda, Nad,” ucap Ayu lirih sambil menundukkan kepala. Ia tidak bisa lagi menutupi hal ini dari Nadine. Toh, Sonny juga sudah mengetahui jika ia sudah mengandung anak dari Nanda.

Slrrrr ...!

Orange juice yang ada di dalam mulut Nadine langsung keluar begitu saja tanpa bisa dikendalikan.

“Nadine ...!” seru Ayu kesal saat tangannya ikut terkena percikan jus dari mulut Nadine.

“Sorry ... sorry ...!” Nadine langsung menarik tisu dan memberikannya pada Ayu. Ia menoleh ke arah Sonnya yang duduk di samping Ayu. “Son, kamu diam aja? Tunanganmu hamil anak orang lain dan kamu masih bisa baik sama dia? Hebat kamu, Son!” Ia mengacungkan jempol ke arah Sonny.

“Aku nggak punya alasan buat jahat sama Ay. Ini kecelakaan, Nad. Daripada keluarga ribut, lebih baik membiarkan Ay menikah dengan Nanda,” jawab Sonny.

Nadine menghela napas. “Hubungan kalian ini bikin aku sakit kepala.”

“Nggak usah ikut mikirin, Nad! Aku baik-baik aja, kok. Aku sama Sonny, masih bisa berteman meski kami nggak bisa bersama. Mungkin, jodoh kami hanya sampai bertunangan dan Tuhan punya rencana lain untuk kami,” ucap Ay sambil menatap wajah Sonny. Ia terus menyunggingkan senyuman ke arah pria itu. Jujur, ia sangat merindukan pria ini. Rindu tertawa bahagia bersamanya sembari melakukan banyak hal.

Sonny balas tersenyum ke arah Ayu. “Mungkin ... ini yang dibilang mencintai tak harus memiliki. Sekalipun aku nggak bisa miliki kamu, aku akan tetap cinta sama kamu.”

Ayu tersenyum dengan mata berkaca-kaca.

“Roro, nggak usah sedih! Jangan nangis!” pinta Nadine sambil menggenggam tangan Ayu. “Son, kamu jangan bikin Roro Ayu sedih, dong! Udahlah, kalian ikhlas dan hidup untuk masa depan masing-masing. Masih bisa berteman kayak dulu ‘kan?” Nadine tersenyum sambil mengerdip-ngerdipkan matanya.

Ayu dan Sonny saling pandang. Kemudian tersenyum dan mengangguk setuju.

“Nggak ada gunanya kalau kalian saling membenci. Lebih baik, saling support. Itu bisa bikin masa depan kita jauh lebih tenang. Aku tahu, kalian pasti jadi canggung. But, lama-lama akan terbiasa, kok,” tutur Nadine sambil tersenyum manis.

Ayu mengangguk setuju. Ia tidak memiliki pilihan lain. Bisa melihat Sonny dari dekat saja, ia sudah bahagia meski tidak bisa memiliki pria itu.

“Gitu, dong. Kamu jaga anak itu baik-baik, Ro. Meski kamu tidak menginginkannya, tapi Tuhan sudah mengirimkannya untukmu. Di luar sana, ada banyak orang yang kesulitan untuk mendapatkan keturunan. Kamu bersyukur karena Tuhan memberikanmu amanah. Kesempurnaan seorang wanita adalah menjadi seorang ibu,” tutur Nadine.

Ayu mengangguk tanda mengerti.

“Aku dokter kandungan dan Sonny dokter spesialis anak. Kamu bisa konsultasi sama kami sejak dini. Perkembangan anak harus diperhatikan dari seribu hari pertama kehidupan. Mulai dari dalam kandungan sampai usia dua tahun adalah saat-saat terpenting. Harus perhatikan asupan nutrisinya. Ibu hamil juga nggak boleh setress. Singkirkan semua masalah yang sedang kamu hadapi dan fokus untuk perkembangan anakmu dulu. Oke?” pinta Nadine sambil tersenyum manis.

Ayu mengangguk lagi. Ia merasa beruntung mendapatkan teman seperti Nadine. Andai saja ia bertugas di Surabaya, akan terasa lebih baik karena setiap hari bisa bertemu dan memiliki teman untuk berbagi. Sebab, Nanda yang masih terus bersama Arlita ... memang cukup mengganggu pikirannya.

“Selamat siang, Dokter Cantik ...!” sapa Rocky sambil berbisik di telinga Nadine.

Nadine langsung memutar kepalanya dan bibirnya tak sengaja menempel di pipi Rocky.

Rocky tersenyum manis. “Makasih ciuman sambutannya!”

Nadine buru-buru menarik wajahnya. “Kamu bener-bener cari kesempatan, hah!?” dengusnya.

“Mmuach ...!” Rocky langsung mengecup pipi Nadine dan merangkul pundak wanita itu. “Kangen sama aku? Makanya datang ke sini?” bisiknya.

“Kepedean banget, sih? Aku ke sini mau lihat kakek,” jawab Nadine.

“Sekalian ketemu aku ‘kan?” tanya Rocky sambil memainkan alisnya.

Nadine mengerutkan wajah sambil memutar bola matanya.

“Kalian berdua udah jadian lagi?” tanya Ayu sambil tersenyum bahagia melihat Nadine dan Rocky.

“Nggak Ro, males aku jadian sama cowok kayak gini,” sahut Nadine.

“Males tapi mau dicium juga,” goda Rocky sambil menyolek dagu Nadine.

“Apaan sih, Ky?” Nadine menepis tangan Rocky. “Nggak sengaja. Lagian, kamu kebiasaan banget main cium-cium aja!”

Ayu dan Sonny tertawa kecil melihat tingkah Rocky dan Nadine. Mereka terlihat saling mencintai, tapi enggan untuk berkomitmen. Mungkin karena Rocky yang don juan, membuat Nadine enggan dengan pria itu meski ada cinta di dalam hatinya.

“Nggak papa kamu nolak aku terus. Yang penting, papamu nggak nolak aku sebagai calon mantu dia,” tutur Rocky sambil duduk santai di sebelah Nadine. Tangan satunya, terlentang di belakang punggung wanita idamannya itu.

“Nggak usah bawa-bawa papa, ya!” dengus Nadine.

“Hehehe. Yah, mau gimana lagi. Aku nggak punya cara lain selain deketin papamu. Abisnya, kamu nolak aku terus. Jadi, aku harus bisa buat papamu menolak pria mana pun yang ngelamar kamu. Cuma aku yang boleh jadi suamimu,” ucap Rocky penuh percaya diri.

“Possesive!” dengus Nadine.

“Yah, daripada kamu dimiliki sama cowok lain. Apalagi kamu ke sini sama Dokter Sonny. Dokter Sonny baru aja putus sama tunangannya. Bisa aja kamu dilahap sama dia ‘kan?” sahut Rocky.

Sonny tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nadine sudah seperti saudariku sendiri. Nggak akan seperti itu, Ky.”

“Bener, ya! Aku pegang omonganmu ini. Nadine Cantika hanya milik Enrocky seorang. Nggak ada yang boleh deketin dia!” tegas Rocky.

Nadine memutar bola matanya. “Kamu kebiasaan banget, sih? Aku nggak suka kalau kamu kayak gini, Ky. Emangnya kamu bisa dua puluh empat jam ada di sampingku? Aku juga berhak punya kehidupan. Kamu aja masih bisa jalan sama cewek lain, godain cewek-cewek cantik di luar sana. Kenapa aku dikaplingkan tanpa izin kayak gini?” protesnya.

Rocky terkekeh geli mendengar kalimat protes dari Nadine. “Kamu itu perempuan. Beda sama laki-laki. Perempuan itu harus setia!”

“Terus, laki-laki nggak boleh setia, gitu?” tanya Nadine.

“Boleh. Tapi ... laki-laki itu memang harusnya berkelana. Supaya bisa lihat banyak dunia. Supaya bisa tahu ... dari ribuan cewek yang aku kenal dan aku deketin. Cuma kamu satu-satunya wanita terbaik yang bikin hatiku bergetar,” jawab Rocky sambil tersenyum.

“Hmm ... kalau soal gombal, kamu emang paling pandai,” celetuk Nadine.

“Iya, dong. Ayahku paling jago kalau gombalin bundaku. Bunda seneng aja tuh digombalin sama ayah. Kenapa kamu nggak ada seneng-senengnya sama sekali kalau digombalin?” tanya Rocky.

“Aku nggak suka bertele-tele, Ky.”

“Ya udah, besok aku lamar kamu. Gimana?” Rocky memainkan alisnya menatap Nadine.

“Ogah!”

“Aih. Kapan sih kamu terima aku, Nad?” tanya Rocky sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Tunggu kamu berubah,” sahut Nadine.

“Berubah jadi apa? Cinta itu harus terima apa adanya,” tanya Rocky.

“Kalimat itu hanya berlaku untuk pria yang nggak mau berusaha,” sahut Nadine sambil mengunyah makanan di mulutnya.

“Kamu ...!?” Rocky menatap kesal ke arah Nadine.

Ayu terus tertawa melihat perdebatan dan pertikaian antara Nadine dan Rocky. Ia selalu terhibur melihat dua pasangan itu. Hubungan mereka yang pasang surut, tetap saja terlihat romantis dan selalu ada cinta di mata mereka masing-masing.

Di tempat lain ...

Nanda mulai jengah saat ia melangkahkan kakinya menemani Arlita berkeliling di pusat perbelanjaan. Biasanya, dia selalu menemani wanita ini dengan senang hati. Tapi kali ini, perasaannya sungguh berbeda. Pikirannya terus melayang jauh pada Sonny dan Ayu yang sedang janjian untuk makan siang bersama.

“Nan, yang ini bagus atau nggak?” tanya Arlita sembari menunjukkan sebuah gaun malam seksi yang ia pilih untuk dirinya sendiri.

“Bagus,” jawab Nanda tanpa melihat ke arah Arlita. Ia meletakkan semua paper bag yang ia bawa dan duduk di sofa yang ada di butik tersebut.

Arlita tersenyum. Ia sibuk memilih pakaian lain yang ia suka dan bisa ia gunakan untuk pergi party bersama teman-temannya.

Nanda menggigit bibir bawahnya sambil mengeluarkan ponsel dari saku jasnya. Ia ingin mengirim pesan pada Ayu, tapi tidak tahu kalimat apa yang harus ia tanyakan pertama kali pada istrinya itu. Beberapa kata yang sudah ia tulis, ia hapus lagi. Mengirimkan pesan pada istrinya saja, ia menjadi sangat bimbang seperti ini.

Nanda menghela napas kesal. Ia akhirnya men-dial nomor Ayu untuk mempertanyakan keberadaan wanita itu.

“Halo ...!” suara merdu Roro Ayu langsung menggema di telinga Nanda.

“Ach, sial ...!” umpat Nanda dalam hati. Ia memijat kepalanya yang berdenyut saat mendengar suara Ayu yang begitu sensual di telinganya. Dadanya tiba-tiba penuh sesak hanya karena mendengar satu kata lembut saja dari bibir wanita itu.

“Halo, Nanda ...! Are you there?” tanya Ayu lembut.

Nanda menarik napas dalam-dalam dan membuangnya dengan kasar. “Kamu di mana? Sudah selesai makannya?”

“Masih di restoran sama Nadine, Rocky dan Sonny,” jawab Ayu.

“Rocky itu siapa lagi?” tanya Nanda.

“Pacarnya Nadine,” jawab Ayu lembut.

“Di restoran mana?” tanya Nanda lagi.

“Kamu mau nyusul?” tanya Ayu balik.

Nanda terdiam selama beberapa saat.

“Kalau kamu mau nyusul, aku akan kasih tahu tempatnya. Without Arlita,” jawab Ayu.

“Kamu bisa pergi sama Sonny, kenapa aku nggak bisa bawa Lita?” tanya Nanda.

“Sonny dan Arlita itu berbeda,” jawab Ayu dan langsung memutuskan panggilan telepon dari Nanda.

Nanda mendengus kesal sembari menatap layar ponselnya yang sudah mati. “Shit!”

“Kenapa, Nan?” tanya Arlita saat mendengar Nanda mengumpat kesal. Ia langsung duduk di samping Nanda dan bergelayut manja.

“Ayu nih ngeselin banget. Waktu dia masih pacaran sama Sonny, dia selalu baik sama aku. Dia juga penurut banget sama pacarnya itu. Giliran udah jadi istriku, dia selalu aja ketus sama aku dan pembangkang. Aku udah coba buat bersikap baik sama dia. Eh, besoknya tetep aja masih nyebelin. Aku kayak nggak ada harganya sebagai suami,” jawab Nanda sambil menahan kesal.

“Nan, Ayu itu emang independen woman. Mana mau dia diperintah sama laki-laki. Aku tahu banget sifat dia yang dominan dan sok star itu. Kamu pelihara aku aja! Aku akan nurutin semua yang kamu mau. Bisa menemanimu bersenang-senang setiap hari kalau kamu jengah dengan istrimu di rumah.” Arlita berbisik di telinga Nanda.

Nanda menghela napas dan menatap lekat wajah Arlita. “You’re a good puppy,” ucapnya sambil tersenyum dan menjepit dagu Arlita.

Arlita balas tersenyum dan menatap wajah Nanda penuh cinta. “Setelah Ayu melahirkan, kamu ceraikan dia nikahi aku, ya!” pintanya manja.

Nanda mengangguk. “Udah selesai pilih bajunya?”

“Udah. Udah aku taruh di kasir,” jawab Arlita sambil menunjuk meja kasir dengan dagunya.

Nanda langsung bangkit. Ia menghampiri meja kasir dan mengeluarkan sebuah kartu dari dalam dompetnya.

Arlita tersenyum puas saat Nanda masih terus menjamin kelangsungan hidupnya. Baginya, Nanda adalah ladang uang yang tidak akan ia lepaskan dengan mudah begitu saja. Baginya, Roro Ayu tidak ada apa-apanya dan ia akan menyingkirkan wanita itu perlahan.

Hubungan pertemanan yang terjalin di antara mereka, sudah terputus sejak Roro Ayu mengkhianatinya dan mengandung anak dari Nanda. Karena wanita itu sudah menghancurkan semua rencananya dan nyaris kehilangan Nanda. Ia tidak peduli dengan status Nanda saat ini. Dia masih sangat mencintai Nanda dan membutuhkan pria itu dalam hidupnya.

“Mau cari apa lagi?” tanya Nanda setelah ia selesai membayar semua tagihan belanja milik Thalita.

“Mmh ... nggak ada. Semuanya udah lengkap. Gimana kalau kita pergi makan?”

“Mau makan di mana?” tanya Nanda.

“de Soematra enak. Gimana?” tanya Arlita balik sambil meraih banyak paper bag yang tergeletak di lantai dan memberikannya sebagian ke tangan Nanda.

“Boleh.” Nanda mengangguk. Ia bergegas keluar dari pusat perbelanjaan Galaxy Mall dan menuju ke sebelah barat kota tersebut untuk mencapai rumah makan yang bisa ditempuh dengan waktu sepuluh menit saja saat jalanan lengang.

((Bersambung...))