webnovel

After Married

Perjodohan konyol yang mengharuskan gadis berusia 17 tahun menikah dengan seorang 'Tua Bangka' yang tidak diketahui asal usulnya. Membuat masa-masa remajanya yang indah dan bebas terenggut dalam sekejap. Terganti dengan kehidupan rumah tangga yang terbilang absurd. Entah, apakah cinta akan hadir dalam relung hatinya? Mengisi bias kesunyian yang tersirat dalam dada. Membuat senyum secerah fajar paginya kembali terbit hanya dengan melihat diri sang suami. Si tua-tua keladi yang jago membolak-balikan perasaan. Menerbangkannya tinggi lalu balik menghempaskan begitu saja dengan sadis. Tetapi, itulah yang mewarnai kehidupan pernikahan mereka. Kocak sekaligus seru secara bersamaan. ## "Hidup itu nggak adil!" Gadis itu beringsut, menekuk tubuhnya dan bergumul dalam selimut hangatnya. "Aku bukan Siti Nur baya, dan lagi ... nikah sama kakek-kakek itu nggak lucu! Kayak stok cowo ganteng di dunia ini udah abis aja," Ia semakin merapatkan dirinya dibalik selimut. Memukul-mukul guling sebagai pelampiasan atas pernyataan yang baru saja gadis itu dengar dari mulut Ayahnya. Menikah diusia muda bukanlah keinginannya, terlebih harus menikahi 'Tua bangka' bisa-bisa hancur sudah reputasinya. Menjadi bahan olok-olok bahkan bullyan teman-teman sekelasnya. Sedangkan di sisi lain, terlihat seorang pria tampan dengan kharisma yang memikat tengah duduk sembari menyesap kopi hangatnya. Melihat langit malam yang bertabur bintang dari arah balkon. Tersenyum simpul, mirip seringaian tipis yang terukir. "Menikah dengan bocah, bagaimana rasanya yah?" Ia menjetikan jarinya, berpikir. Kembali menatap langit lalu, menepuk jidat pelan. "Aku pasti sudah gila dan mungkin bocah itu berpikir jika diriku ini seorang pedofil lapar yang haus akan belaian. Cih, sial!" Lalu, gimana kisahnya? Kepo?

Leo_Nil01 · อื่นๆ
เรตติ้งไม่พอ
2 Chs

Kabur

Namanya Jiya Diadmaja, gadis manja yang hidup ala putri raja. Cantik, pintar dan super cerewet kira-kira itulah karakternya. Anak dari konglomerat yang super duper tajir hingga tak ada kekurangan dalam hidupnya. Ia tak pernah bekerja berat, sekalipun ada mungkin hanya menuruni anak tangga guna turun dari kamarnya di lantai 2 untuk sekolah atau pergi dan belajar setiap malam. Ya, yang orang tuanya ajarkan hanyalah mencari kesuksesan saja. Di arahkan menjadi 'Big Bos' untuk memberikan perintah kepada para pelayan. Sukses dalam hal ini hanya mengarah kepada jumlah kekayaan yang bisa di dapatkan. Bukan sesuatu yang lain. Jangankan memasak? Beres-beres saja ia tak tahu.

Bagai bencana! Ketika ia harus dijodohkan dengan 'Tua Bangka' tepat pada usia 17 tahun. Membuat dirinya jatuh pingsan di tengah-tengah pesta ulang tahunnya sendiri. Jiya sangat terpukul sampai diopname selama 7 hari di rumah sakit VIP.

Menolak?

Ah ... gadis itu punya seribu satu cara untuk melakukannya. Bahkan dirinya mendapat julukan 'Kang Drama' di sekolah, karena dapat berakting persis seperti aktor dan aktris di televisi. Hanya saja, kali ini ia tak bisa mengelak. Jungkir balik 100 kali pun itu tak akan mengubah pemikiran Ayahnya yang buntu itu.

Jelas. Orang tua mana yang akan mengumpankan anak gadisnya pada orang jahat? Terlebih calon suaminya itu seorang 'Pedofil' lapar yang haus akan belaian. Cuih! Memikirkan saja, itu sudah membuat kepalanya pening. Jadilah gadis itu, memijit pelipisnya keras. Menunduk lesu dengan pandangan kosong ke arah lantai marmer di kamarnya. Meratapi nasibnya yang akan suram jika hal itu terjadi.

Menghela napas kasar, Jiya memandangi pelayan setianya nanar. Mengorek iba. Sedang yang ditatap hanya memasang wajah super dingin mirip manequin. Lama di abaikan, akhirnya ia berteriak.

"Oh ya ampun, Uncle Slamet!"

Slamet--pemuda cukup matang itu segera menoleh. Menatap Nona mudanya datar tanpa ekspresi. Tak begitu lama, kemudian kembali memandang lurus. Lagi-lagi Jiya dibuat kesal olehnya.

"Kalau ada yang mengajakmu bicara, tataplah matanya. Jangan melihat tembok, terlebih itu aku!" Ia mengeram lantas melanjutkan ucapannya," memang aku ini kembarannya tembok apa?" sungutnya. Si pelayan mengangguk.

"Astaga! Kenapa aku harus punya pelayan sekaku dirimu? Bantu aku kek, atau apa gitu? Apa harus memohon dulu, baru kau tolong, hm?" ucapnya sarkas.

Slamet masih diam di tempat dengan pandangan mata lurus.

"Sudahlah! Percuma bicara dengan patung. Lebih baik aku keluar," decaknya seraya melangkah meninggalkan kamar.

Melihat Sang Nona berdiri, Slamet langsung mengambil tindakan. Berdiri di ambang pintu dengan tangan terlentang.

"Jangan menghalangiku!" perintah Jiya.

"Maaf, tapi Nona tidak bisa pergi," jelasnya. Bocah itu terbahak, tapi raut wajahnya berubah seketika.

"Oh Daddy, kapan kau pulang?" jeritnya tiba-tiba membuat Slamet menoleh ke belakang. Mencari keberadaan Tuannya. Namun ...

Nihil? Tak ada orang di sana, dan saat pandangannya kembali mengarah kepada Nonanya. Gadis itu telah raib. Hilang dalam sepersekian detik dengan kecepatan tingkat tinggi.

"Nona Jiya!" Kini gilirannya berteriak. Memanggil nama majikan kecilnya yang sangat-sangat rewel untuk di atur.

Di lain sisi, Jiya tengah tersenyum puas karena berhasil membohongi pelayannya lagi. Meninju-ninju udara, menyalurkan kebahagiaan.

"Bodoh!" Ia terkikik, membayangkan ekspresi Slamet, yang mungkin sedang kebingungan mencarinya. Secara Jakarta itu luas bro! Terlebih gadis itu sudah mematikan alat pelacaknya. 'So, bye-bye Uncle Slamet yang item manis mirip malika.' Batinnya.

Tersenyum remeh, gadis itu mengusapkan ibu jari kanannya ke hidup mancungnya. "Jiya Diadmaja kok dilawan."

Setelah itu, Jiya kembali melangkah. Menudungkan penutup hoddienya layaknya idol Korea yang takut ketahuan paparazi. Tak lupa, topi hitam juga masker berwarna senada ia kenakan. Menambah sempurna penyamarannya. Sampai ...

Brukks ...

"Kecoa Penyot!" latahnya.

Tubuh kecilnya, tak sengaja menabrak lengan seseorang. Membuat si empu menghentikan langkah tepat di depan gadis itu. Berhadap-hadapan.

"Lu punya mata nggak sih? Lagian udah bau tanah masih aja keluyuran," ucapnya asal tanpa melihat ke si penabrak.

"Bau tanah? Apa aku setua itu?" katanya, membuat Jiya mendongak. Menatap wajah pemuda terlampau tampan itu dengan senyum semanis kembang gula.

"Iya," balasnya acuh, kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.

Yang tanpa ia sadari menyedot perhatian satu makhluk. Terlihat sudut bibir pemuda itu melengkung membentuk seutas senyum simpul.

"Menarik. Sayangnya, mulut kecilnya itu terlalu berbisa."

"Tuan."

Pemuda itu menoleh." Ya."

"Mobilnya sudah siap, mari kita lanjutkan kembali perjalanan tadi. Mari ikuti saya."

Setelahnya pemuda itu melesat membelah jalanan kota dengan mobil Limousine hitamnya.

Di lain sisi, Jiya sudah sampai di terminal Busway. Gadis itu duduk di salah satu bangku sembari mengetikan sesuatu di layar ponselnya.

Beberapa detik kemudian terlihat layar ponselnya menyala. Terlihat nama seseorang di sana. Segera gadis itu menggeser ikon hijaunya ke atas.

"Lu dimana?"

"Lagi nongkrong. Why, Bi?"

"Buruan jemput gue. Ntar gue serlok."

"Bukannya lu di rumah, nonton bias?"

Jiya memutar bola matanya malas.

"Gue kabur."

"What? Kok bisa."

"Bawel, dalam hitungan ke 5 lu belum ke sini. Gue bunuh diri di pohon toge." Ancam Jiya, Abi terbahak di seberang.

Walaupun itu tak masuk akal, tapi cowok itu tahu jika Jiya tak main-main. Segera dirinya bangkit dari duduknya. Meraih helm fullfacenya lalu menggas motor sportnya dengan kecepatan tinggi.

"Dasar, Jiya." gumamnya geli sendiri.

##

"1 menit." Itu kata Jiya saat Abi baru saja sampai. Gadis itu sudah mencak-mencak mirip anak TK yang kehilangan permen kakinya.

"Lu kemana aja, Curut!" Dipukulnya helm fullface Abi cukup keras membuat si empu mendesis.

"Ampun deh, Bi. Lagian gue udah nyampe 'kan?" bela Abi. Bibir Jiya mengerucut.

"Bi, Bi, Babi kali ah."

Abi tahu Jiya tak suka dipanggil 'Bi-Baby'. Tapi, ini urusan hati, Abi tak bisa berbohong jika ia sangat menyukai gadis itu.

"Ya udah. Oh ya, lu kabur kenapa?" tanyanya, ekspresi Jiya berubah.

"Ntar gue cerita, sekarang lu bawa gue pergi sebelum Uncle Slamet ke sini."

"GPS lu dah mati 'kan?"

"Santuy, cuma Uncle Slamet itu antek-anteknya banyak. So, ayo kita pergi." Abi mengangguk.

"Buru naik!" ajaknya, Jiya langsung menaiki boncengan. "Oke, gaskeun cuy."

"Bentar," sela Abi."Seenggaknya lu pegangan dulu ke gue biar nggak jatoh. Kan nggak lucu, pas gue ngebut lu-nya ketinggalan di jalan wkwkwk..."

"Hilih, modus lu. Gue bisa kok pegangan jaket lu ntar."

"Asal lu bahagia deh, Bi." Jiya menepuk helm fullfacenya lagi.

"Sekali lagi manggil, Bi. Gue slepet lu."

"Becanda elah, baperan amat. Gue jalan nih." Abi lalu menggas motor sportnya. Semilir angin malam mulai menusuk ke tulang Jiya yang hanya terlapisi hoddie tipis. Tanpa sadar gadis itu sedikit merapatkan diri di balik punggung Abi supaya tidak kedinginan. Abi yang menyadari hal itu, hanya bisa tersenyum sembari memelankan laju motornya.

"Singa betina ternyata bisa kedinginan juga."