webnovel

After Married

Perjodohan konyol yang mengharuskan gadis berusia 17 tahun menikah dengan seorang 'Tua Bangka' yang tidak diketahui asal usulnya. Membuat masa-masa remajanya yang indah dan bebas terenggut dalam sekejap. Terganti dengan kehidupan rumah tangga yang terbilang absurd. Entah, apakah cinta akan hadir dalam relung hatinya? Mengisi bias kesunyian yang tersirat dalam dada. Membuat senyum secerah fajar paginya kembali terbit hanya dengan melihat diri sang suami. Si tua-tua keladi yang jago membolak-balikan perasaan. Menerbangkannya tinggi lalu balik menghempaskan begitu saja dengan sadis. Tetapi, itulah yang mewarnai kehidupan pernikahan mereka. Kocak sekaligus seru secara bersamaan. ## "Hidup itu nggak adil!" Gadis itu beringsut, menekuk tubuhnya dan bergumul dalam selimut hangatnya. "Aku bukan Siti Nur baya, dan lagi ... nikah sama kakek-kakek itu nggak lucu! Kayak stok cowo ganteng di dunia ini udah abis aja," Ia semakin merapatkan dirinya dibalik selimut. Memukul-mukul guling sebagai pelampiasan atas pernyataan yang baru saja gadis itu dengar dari mulut Ayahnya. Menikah diusia muda bukanlah keinginannya, terlebih harus menikahi 'Tua bangka' bisa-bisa hancur sudah reputasinya. Menjadi bahan olok-olok bahkan bullyan teman-teman sekelasnya. Sedangkan di sisi lain, terlihat seorang pria tampan dengan kharisma yang memikat tengah duduk sembari menyesap kopi hangatnya. Melihat langit malam yang bertabur bintang dari arah balkon. Tersenyum simpul, mirip seringaian tipis yang terukir. "Menikah dengan bocah, bagaimana rasanya yah?" Ia menjetikan jarinya, berpikir. Kembali menatap langit lalu, menepuk jidat pelan. "Aku pasti sudah gila dan mungkin bocah itu berpikir jika diriku ini seorang pedofil lapar yang haus akan belaian. Cih, sial!" Lalu, gimana kisahnya? Kepo?

Leo_Nil01 · อื่นๆ
เรตติ้งไม่พอ
2 Chs

Jiya

"Nona Jiya!"

Sebuah teriakan mengalihkan atensi Abi pada motornya. Tak hanya dia, rupanya Jiya yang sudah mulai mengantuk karena semilir angin seketika terlontar dari boncengan. Reflek gadis itu menepuk bahu Abi supaya mempercepat laju motornya.

"Buruan, Curut. Uncle Slamet udah nongol tuh," perintahnya.

"Iya, tapi jangan salahin gue kalo ngebut."

"Santuy."

Melihat Nonanya semakin jauh. Slamet tak tinggal diam. Ia menyuruh Pak Adi, supir keluarga Diadmaja agar mempercepat laju mobilnya juga.

"Pokoknya ya pak, Nona Jiya harus pulang malam ini juga."

"Ashiap."

Kejar-kejaan pun tak terhindarkan lagi. Sampai di pertigaan tengah kota, Abi kehilangan keseimbangan tubuhnya. Alhasil, motor yang ia kendarai tak sengaja menabrak lampu jalan sebelum jatuh menubruk trotoar. Cowok itu berusaha bangkit meski salah satu kakinya terjepit badan motor. Namun ia tak memedulikan itu. Yang ia pikirkan hanya Jiya. Apa gadis itu baik-baik saja?

Tunggu. Dimana Jiya?

.

.

.

.

.

"Kadal bucin, kaki gue sakit banget." cicit Jiya saat ia sudah bersembunyi di balik semak-semak dekat tempatnya jatuh tadi.

Masa bodo dengan Abi, dia yakin cowok itu pasti baik-baik saja. Lain ceritanya kalau ia tidak segera pergi, pasti Uncle Slamet sudah menggelandangnya pulang.

Damn it. Jiya bingung mau kemana lagi, Tuhan. Rasanya tuh, kayak dia hidup sendirian di luasnya bumi ini.

Lama berpikir, akhirnya Jiya berdiri dari tempatnya duduk. Ia berniat melanjutkan perjalanan.  Tetapi, takdir itu benar-benar menyebalkan.

Tepat  di arah sudut 45 derajat, maniknya menangkap sebuah sosok. Sangat tinggi dengan jambul khatulistiwa sebagai mode rambutnya.

"Akhirnya ketemu!" ucapnya lagi dengan napas ngos-ngosan.

Jangan lupakan pakaian acak-acakan mirip baju seragam yang kusut karena tidak disetrika. Slamet tak peduli itu. Ia justru berlari,  ke tempat Nona mudanya berada.

Berbeda dengan Slamet yang nampak semringah. Jiya, justru berdecak sebal. Mengusap wajahnya kasar, merutuki kebodohannya yang telat untuk melarikan diri.

"Sial! Gue kecolongan. Belum ada satu jam kabur, masa udah ketangkep?" ocehnya, sembari meremas rambut gemas. Berjalan mondar-mandir, berusaha mencari ide untuk kembali kabur.

Seperti sudah terprogram handal, kacang hijaunya berhasil memunculkan sebuah ide. Cukup aneh sih? Tapi, ia tak punya cara lain untuk meloloskan diri. Jadi, ya ... langsung saja ia menarik lengan lelaki yang tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Om," panggilnya dengan suara sengaja diimut-imutkan tak lupa matanya sesekali mengedip genit. Sedangkan, yang digandeng hanya menatapnya jijik.

Dalam otaknya, ia berpikir jika gadis kecil di hadapannya ini orang gila.

Slamet yang melihat tingkah aneh Nonanya segera mempercepat larinya. Berusaha menepis tangan Nonanya dari lengan pria asing di hadapannya ini. Namun, Zonk! Bukannya terlepas, malahan sebaliknya.

"Nona, apa yang Anda lakukan dengan pria asing ini? Cepat lepaskan at-"

"Tolong Om, aku mau diculik!" jerit Jiya.

Slamet mengernyitkan alisnya.

"Apa yang Nona katakan? Bagaimana mungkin saya mau menculik Anda?" belanya, Jiya justru terisak kencang.

"Huwa, Om. Penculik itu bahkan tahu namaku."

Giliran Slamet mengusap wajahnya kasar. Rasanya, ia ingin menyumpal mulut Nona mudanya itu dengan kaos kaki.

"Aishhh," gumamnya, Jiya dan Slamet menoleh bersamaan.

"Udah kelar ngedramanya, hm?" Ia bersuara, membuat gadis itu menaikkan sebelah alisnya. Bingung.

"M-maksud, Om apa?" tanyanya polos, pemuda itu menatap Jiya penuh minat.

"Dengarkan ini gadis kecil. Ingatkan, sejam yang lalu kau menyebutku tua, dan sekarang? Kau meminta bantuanku?" Ia terkekeh pelan,"lagi pula mana ada, penculik seperti dia? Berpakaian rapi layaknya orang kantoran. Hanya orang bodoh yang akan tertipu omong kosong itu. Jadi ... jadilah gadis penurut dan segeralah ikut bersamanya."

Jleb!

Seketika jantung Jiya tertusuk besi berkarat. Ia tak pernah mengira jika, pria tua di hadapannya ini adalah orang yang beberapa saat lalu ia temui kemudian tak termakan bualannya. Astaga, Jiya pengin menenggelamkan diri di antara bantal BT21 miliknya di rumah.

Malu bangetkan jadinya?

"Hey kau!"serunya pada Slamet.

"Ini kuberikan Nonamu kembali, lain kali jaga dia baik-baik karena dia itu bukan gadis sembarangan," lanjutnya seraya menyodorkan tudung hoddienya Jiya yang sengaja ia angkat kepada Slamet.

"Uncle Slamet, kali ini saja biarkan aku bebas yah?" pintanya dengan kedua tangan memohon ampun, Slamet menggeleng.

"Ya! Dasar pelayan pelit," ocehnya yang sama sekali tak digubris oleh pelayannya itu. Jiya malah diseret paksa dengan tudung hoddienya yang ditarik, layaknya anak kucing yang akan di buang.

Saat sepermpat tubuhnya sudah masuk ke dalam mobil, gadis itu masih saja sempat menyembulkan kepala hitamnya dari jendela mobil. Menatap sang pria berkacamata itu, dengan tatapan tajam.

"Awas aja lu, kalau ketemu gue lagi!" ancamnya sembari menjulurkan lidah.

Ferdian terpaku di tempatnya berdiri. Jujur dirinya sedikit syok melihat tingkah anak-anak zaman sekarang yang minim atitude. Apalagi gadis kecil tadi, uh, rasanya dia ingin memberi pelajaran.

"Mudah-mudahan anak itu segera diberi pencerahan, Tuhan." rapalnya dalam hati.

"Siapa yang diberi pelajaran, Tuan?" kata Vano yang baru saja keluar dari WC umum. Ia langsung duduk di sebelah Ferdian dengan wajah penasarannya. Tipe-tipe lambe Turah yang perlu bahan buat dirumpiin bareng emak-emak kompleks.

"Kau."

Mata Vano melotot. Dia tidak tahu apapun dan baru saja menyelesaikan ritual panggilan alam. Lalu dituduh?

"Kok saya?" tanyanya dengan intonasi sedikit tinggi. Sudut bibir Ferdian terangkat membentuk sebuah senyuman horor di mata Vano.

"Baik, saya tahu maksud Anda. Mari kita lanjutkan lagi perjalanannya, maaf kalau tadi saya membuang waktu penting anda untuk bertemu klien."

Tersenyum puas, Ferdian langsung menghempaskan diri untuk duduk di mobil.

"Tunggu apa lagi, jalan."

.

.

.

.

.

Ferdian Juni Vilian, atau kerap di panggil Ferdian. Rupanya seorang pewaris tunggal Group Vilian Dirgantara. Perusahaan nomer satu yang begitu penting dengan cabang mengular di setiap penjuru Nusantara. Selain, anak orang berada. Dirinya juga diberi ketampanan layaknya Boyband Korea.

Imut-imut pembawa maut, itu julukan yang orang berikan padanya. Berwajah cute abis bukan berarti hatinya secantik Hello Kitty.

Dia dikenal kejam apalagi soal bisnis. Tak ada kata pantang begitu juga mundur bila belum diketahui hasilnya. Sikap optimis dan perfeksionisnya berhasil membuat pria berumur 24 tahun itu berjaya di masa mudanya.

Sayangnya ia payah dalam urusan hati. Jangankan pacar, mantan saja ia tak punya. Ferdian begitu menutup dirinya terhadap kaum hawa. Walaupun banyak yang berebut untuk mendapatkan dirinya, naas tak ada satupun yang membuatnya terpikat.

Sampai, ia bertemu dengan gadis kecil itu. Gadis yang membuat debaran aneh menjamah hatinya untuk pertama kali. Entah, hal apa yang begitu indah dari sosoknya yang mungil. Yang jelas, kala mata secantik batu Ruby itu menatapnya, ia tak bisa lagi memerhatikan sekitar selain sosoknya.

"Shit! Apa yang baru saja aku pikirkan?"

"Anda baik-baik saja, Tuan?"

"Eum," jawab Ferdian sembari memalingkan wajah ke kaca mobil. Pikirannya begitu kacau dan lagi, kenapa ia memikirkan perkataan gadis itu terus-menerus?