webnovel

After Bad Destiny

Naulida Ambriaksi adalah seorang perempuan berusia dua puluh enam tahun yang bekerja di perusahaan minyak terbesar di Indonesia dengan posisi jabatan Manager Pengelolaan Minyak. Karir Naulida Ambriaksi terbilang sukses karena kerja keras dan kegigihannya. Namun, semua itu tidak dinikmatinya sendiri karena dia harus membiayai kuliah adiknya atas permintaan orang tua. Kasih sayang orang tua yang hanya dilimpahkan kepada adik Naulida membuatnya tertekan. Terlebih, dia juga mendapat masalah di kantor yang berimbas pada kehilangan pekerjaan yang telah susah payah diraihnya. Naulida kembali mendapat tekanan ketika adik Naulida hendak menikah dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh rekan kerja yang dipercayainya. Ia ditekan untuk mencari, mendapatkan jodoh dan ancaman dari rekan kerjanya. Naulida tentu merasa semakin risi sehingga dia memutuskan pergi dari rumah untuk menenangkan diri. Suatu ketika, dia bertemu dengan seorang lelaki yang memiliki paras tampan, agamis dan stylist di salah satu masjid. Dia tertarik dengan laki-laki itu. Apakah lelaki itu akan menjadi jodoh Naulida? Apakah Naulida bisa bertahan dalam menjalani ujian hidup dengan berpisah dari orang tuanya?

Angdan · สมัยใหม่
เรตติ้งไม่พอ
54 Chs

Berkunjung ke Rumah Naulida

"Kamu lihat ke depan rumahmu!"

Naulida melangkah ke jendela sambil membuka gorden untuk melihat sesuatu yang berada di depan rumahnya. Ia mengernyitkan dahi dan menyipitkan mata dan penglihatan disuguhkan pemandangan sepeda motor tua klasik berwarna hitam tanpa pengendara.

"Aku hanya melihat motor tua klasik berwarna hitam tanpa pengendara. Apakah itu milikmu?"

"Kalau kamu ingin tahu, kamu ke luar rumah dan hampiri."

Naulida menghela napas panjang."Iya," ucap Naulida dengan malas.

Naulida hendak mematikan panggilan masuk tetapi, dicegah oleh Alexander dan disuruh untuk tetap berjaga dan berbicara dengannya melalui telepon.

"Telepon kamu jangan dimatikan!" pekik Alexander.

"Bagaimana kamu tahu kalau aku mau mematikan panggilan masuk dari kamu?"

Naulida sedikit kesal terhadap Alexander karena ia tidak menjawab pertanyaan malah disuruh ke luar untuk mengetahui pemilik sepeda motor tua klasik berwarna hitam. Ia ke luar rumah dengan handphone di telinga, lalu ia membuka pagar rumah dan menoleh ke kanan dan kiri.

"Tidak ada orang sama sekali di sini tapi, ada sepeda motor, ini menyeramkan tahu apalagi waktunya habis Maghrib," gerutu Naulida.

"Kamu ke luar, jangan diam saja di pagar terus nanti sepuluh langkah ke kanan dan pemilik sepeda motor itu akan muncul di depan kamu," ucap Alexander.

"Bagaimana kamu tahu kalau aku diam saja di pagar? Apakah kamu sudah sampai? Apakah sepeda motor tua klasik ini milikmu?" tanya Naulida sambil ke luar dari pagar.

"Jangan banyak tanya, kamu turuti saja perkataanku!" seru Alexander.

Naulida berbelok dan melangkah ke arah kanan sambil menghitung langkahnya secara perlahan.

"Satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan sembilan sepuluh."

Tepat hitungan ke sepuluh, langkahnya berhenti. Naulida mengernyit lagi dengan menoleh ke kanan dan kiri sambil meletakkan satu tangan di pinggang. Ia semakin kesal ketika tidak terdapat siapa pun setelah mengikuti petunjuk yang diperintahkan oleh Alexander sehingga ia mengeluarkan suara sedikit tinggi kepadanya.

"Aku sudah mengikuti petunjukmu tapi tidak ada siapa pun di sini. Sebenarnya kamu di mana, sih?" Naulida sudah tidak tahan dengan ucapan Alexander yang menyuruhnya untuk mengikuti perintahnya.

"Kamu menoleh ke belakang!" seru Alexander.

Naulida membulatkan mata karena suara bariton Alexander terdengar dekat dan jelas. Lalu, ia berbalik badan dan mematikan handphone ketika melihat Alexander berdiri di belakangnya sambil membawa bunga buket mawar berukuran besar.

Naulida terpaku dengan gaya berpakaian kekasihnya yang memakai setelan hitam putih dan dilapisi dengan jaket kulit berwarna hitam. Naulida sedari kesal berubah terpesona dengan Alexander membawa buket mawar merah.

"Hai, Sayang."

"Aku kira kamu di sisi kanan tapi, kamu ternyata di belakang dan pasti di sisi kiri. Kalau kamu di sisi kiri seharusnya berikan petunjuk itu di sisi kiri, Alex, jangan ke sisi kanan terus kamu pakai acara meng—"

Perkataan Naulida yang belum terselesaikan nan cerewet langsung terhenti karena kecupan yang mendarat di bibirnya lama. Sontak, Naulida membelalakkan mata dan mematung. Lalu, ia mendorong badan Alexander sekuat tenaganya.

"Ngeselin!"

"Maaf, Sayang."

Alexander memeluk Naulida erat. Ia mengecup kepala Naulida sekilas. Lalu, ia melepas pelukan dan memberikan buket bunga mawar merah. Naulida menerimanya sambil menghirup aroma bunga mawar merah.

"Hmm, wangi. Kamu bisa saja membuatku tidak marah sama kamu lagi."

"Bisa dong. Aku melakukan apa pun untuk membuat selalu tersenyum."

"Terima kasih, ya, Alex."

"Sama-sama."

"Masuk!" ajak Naulida.

Naulida dan Alexander masuk ke rumah Naulida bersamaan. Lalu, Alexander duduk di kursi ruang tamu dan Naulida melangkah ke kamar untuk meletakkan bunga mawar merah sebelum ke dapur. Setelah itu, ia menawarkan makanan dan minuman kepada Alexander.

"Kamu mau makanan dan minuman apa?"

"Terserah, Sayang. Aku mau kalau kamu yang membuatnya."

"Oke. Kamu tunggu di sini!" seru Naulida.

Alexander mengangguk sambil mengambil handphone. Naulida melangkah ke dapur untuk membuat pancake yang ditaburi madu dan buah strawberry di atas dan sisi kanan dan kirinya. Setelah itu, ia membuat minuman jus jeruk.

Naulida membawa makanan dan minuman ke ruang tamu. Lalu, ia duduk di samping Alexander dan Alexander meminum minumannya seraya melihat makanan di meja.

"Kamu bisa membuat ini?" tanya Alexander sambil minum minuman.

"Bisa dong. Aku bisa membuat apa pun kecuali opor dan kari ayam," ucap Naulida.

"Wah, kalau gitu buatkan aku seperti ini lagi untuk besok di kantor," celetuk Alexander.

"Kamu saja belum memakan pancake itu malah menyuruhku membuat itu lagi," ucap Naulida.

Alexander memotong pancake lalu memakannya. Ia merasakan rasa pancake buatan kekasihnya sekaligus calon istrinya. Alexander mengalihkan pandangan ke arah lain seraya mengernyitkan dahi.

"Bagaimana rasanya? Apakah tidak enak?" tanya Naulida penasaran.

Alexander menelan pancake itu."Hmm, rasanya ... enaaaaaaaaaakkk," jawab Alexander sambil memberikan ibu jari.

"Beneran?" Naulida memastikannya kembali untuk rasa pancake buatannya.

"Beneran, Sayang," jawab Alexander.

Naulida tersenyum lebar hingga menampakkan barisan gigi ketika Alexander memuji makanan buatannya enak. Lalu, Naulida memeluk Alexander dan mengecup pipinya sekilas.

"Makasih, Alex."

"Sama-sama, Sayang. Kamu tumben mengecup pipiku duluan bukannya kamu malu?" sindir Alexander.

Naulida mengatupkan bibir dan menundukkan kepala sekilas."Kamu habiskan itu dan aku akan membuatkannya lagi untukmu dan jangan membahas itu lagi," ucap Naulida.

"Kenapa tidak boleh membahas itu?" tanya Alexander.

"Karena aku tidak ingin membahas itu dan kamu cukup makan pancake itu sampai habis," jawab Naulida.

"Iya, Bu bos pancake."

Alexander tertawa dan menuruti perkataan Naulida yang menyuruhnya untuk memakan pancake dan minum minumannya sampai habis. Naulida memperhatikan Alexander yang terus memakan pancake dan terbesit dalam benaknya mengenai pikiran Alexander tentang rumahnya.

"Alex."

"Iya, Sayang?"

"Aku boleh tanya sesuatu sama kamu?"

"Apa?"

"Apakah kamu tidak kepanasan berkunjung ke rumahku yang sederhana ini?" tanya Naulida.

Alexander meletakkan makanannya sambil tersenyum."Tidak. Sayang, aku sudah pernah bilang sama kamu bahwa aku mencintaimu bukan dari banyak hartamu melainkan sikap dan sifatmu. Aku bahkan tidak mempermasalahkan rumahmu, status sosial karena bagiku itu sama saja tempat tinggal. Jadi, kamu jangan merasa tidak enak sama aku, ya," jawab Alexander.

"Aku minta maaf tidak ada kipas angin di ruang tamuku dan hanya ada angin alami yang masuk ke rumah dari luar," ucap Naulida.

"Tidak apa-apa, Sayangku. Aku lebih suka seperti ini," ucap Alexander seraya menatap Naulida.

Naulida menatap Alexander sembari tersenyum. Mereka saling memandang dan tatapan teduh Alexander membuat jantung Naulida berdegup dengan kencang. Naulida mengalihkan pandangan ke lantai karena tidak sanggup memandang mata teduh milik kekasihnya itu.

"Aku sayang sama kamu," ungkap Alexander.

"Aku juga," ucap Naulida lirih.

"Apa? Kamu tadi bilang kalau kamu juga sayang sama aku?" tanya Alexander dengan mendekati Naulida.