webnovel

About Love Triangle

Satu malam itu mengubah segalanya, tragedi berdarah itu membuat sebuah persahabatan hancur dan dua orang saling mencintai menjauh. "Jangan pernah menyalahkan cinta, karna cinta itu tidak pernah salah!" - Sang Penghianat Cinta

Quinwriter · วัยรุ่น
Not enough ratings
19 Chs

Kelima

"Jeje ...." Aura langsung gagal fokus saat seorang laki-laki yang di kenalnya berjalan menuju mobil berwarna hitam. "Jeje my prince ...." Tanpa sadar Aura malah berjalan merentangkan kedua tangannya menghampiri Jeje.

"WOI RA?! Gila apa lo ya?" Jena begitu panik saat Aura dengan tidak warasnya malah berjalan ke arah Jeje. Untunglah lelaki itu tidak sadar dan telah pergi bersama mobilnya.

"Tadi itu Jeje ganteng banget ya Jen?" ucapnya yang tak perduli dengan raut wajah kesal Jena. "Dia itu bagaikan bidadara yang tercipta untuk bidadari sejenis gue."

"Sadar Ra ... sadar ... beras mahal, cabe mahal, minyak makan mahal."

"Kok lo malah ngomongin harga sembako sih?" protes Aura yang merasa khayalannya terusik karna pernyataan Jena mengenai sembako yang mahal.

Jena hanya mengedikkan bahunya. Setelah itu ia berjalan menuju mobilnya yang terparkir. "Jen, gue main rumah lo ya? Rumah gue sepi kek kuburan." Aura bergelayut di lengan Jena.

"Bilang aja lo mau numpang makan 'kan?"

Aura langsung menyengir kuda. "Ah elo ... kayaknya emang sahabat gue deh. Tau aja kode-kode halus gue."

"Iya lah lo 'kan sejenis makhluk halus. Makanya gue tau kode-kode halus lo. Rumah lo aja kek kuburan!"

"SIALAN LO!" Aura langsung menyenggol Jena dengan bokongnya. Untunglah Jena bisa menjaga keseimbangannya sehingga tidak harus mendarat di tanah.

Jena yang kesal karena hampir saja terjatuh langsung menatap Aura dengan garang. Ia berkacak pinggang lalu berteriak, "AWAS LO YA?!" Jena pun mengejar Aura yang telah lebih dulu berlari mencari perlindungan diri.

+-+-+-+

Dua gadis yang kini telah mengganti baju seragam mereka sama-sama mengangkat kaki mereka tinggi-tinggi dan menyenderkannya ke dinding. Keduanya sama-sama memakai masker dan saling membaca buku. Yang berbeda adalah yang satu membaca buku Biologi dan yang satunya membaca novel.

Kedua gadis itu begitu tenang dengan bacaan mereka masing-masing. Aura gadis yang sedang membaca novel sedari tadi senyum-senyum sendiri saat membaca adegan romantis yang ada di novel tersebut. Berbeda dengan Jena yang begitu serius memahami hubungan antar tulang. Ia berusaha mencerna setiap istilah-istilah biologi yang begitu asing untuknya.

"Antar tulang aja punya hubungan. Kita kapan Mas?" celetukan Aura membuat Jena langsung menoleh ke arahnya. Aura langsung menyengir.

"Masalahnya Mas lo itu siapa sekarang, Mbak?" ledek Jena sembari menutup bukunya. Aura melakukan hal yang sama. Keduanya kini sama-sama menatap ke langit-langit kamar.

"Gue bingung," ucap Aura tiba-tiba mengeluarkan uneg-unegnya. "Gue bingung caranya memulai. Yah, you know lah gue 'kan lama tuh pacaran sama si sialan itu. Jadinya gue bingung harus memulai lagi itu gimana."

Jena menghela napasnya. "Sorry Ra. Sejujurnya gue gak tau memulai itu gimana."

Kini Aura pun ikut menghela napasnya setelah mendengar kejujuran Jena. "Gue lupa Jen lo 'kan jomblo abadi. Gimana bisa gue nanya ke lo."

"Gak usah muji gitu lah. Gue jadi tersandung."

"Terjunjung WOI!"

"TERSANJUNG BODOH hahaha ...." Jena yang tadinya hendak melawak malah tertawa dengan kebodohan asli Aura.

Aura langsung mencebikkan bibirnya. "Gue menghina lo Jen! Meng-hi-na! Tolong dicerna ya?" ucapnya geram. "Please deh! Zaman sekarang masih ada orang jomblo? Lo patut di tenggelamkan!"

Bukannya merasa tersingung Jena malah terkekeh. "So Why? Gak ada yang salah dari jomblo. Toh sekarang lo jomblo 'kan? Salah? Enggak dong."

Aura berdecak sebal. Ia merubah posisinya menjadi duduk. Jena hanya memandangi Aura dengan santai. Dengan mencari posisi yang paling nyaman yaitu dengan bersila dan tangan bersedekap. Aura menatap Jena dengan tatapan mengintimidasi.

"Lo natap gue kayak rentenir nagih hutang tau?!" Jena mencoba menggoda Aura yang kini tampak serius. Tapi Aura tak merasa terganggu sedikit pun. Ia begitu serius menatap Jena.

"Aura ...." Jena berusaha memanggil Aura.

"...."

"Auraaaa?!"

"..."

"AURAAAA?!"

"..."

"Auraaa! Lo kesambet ya? Aura?!" Jena langsung merubah posisinya menjadi ikutan duduk dan mencoba menggoyang-goyangkan tubuh Aura yang hanya diam sedari tadi.

"Iya, gue kesambet cintanya Jeje." Jena seketika langsung mendorong Aura dengan kesal. Aura yang terbaring akibat dorongan Jena terkekeh. "Lo gangguin gue aja. Gue tadi lagi mikir tau!"

"Mikir apaan? Emang otak lo masih berfungsi ya buat mikir?"

Aura kembali ke posisinya; duduk. Ia mendorong lengan Jena. "Yee ... sialan lo! Otak gue bukannya gak berfungsi. Cumaaa jarang di pake aja. Dia di pake untuk memikirkan hal-hal yang penting."

"Alah! Palingan hal-hal yang penting lo itu sangat amat tidak penting untuk siapa pun!" cibir Jena. "Coba gue mau denger apa hal penting lo itu? Sehingga otak lo yang gak pernah di pake buat mikir itu sekarang di pake buat mikir."

Aura diam mencoba kembali berpikir. "Gue itu lagi mikirin. Gimana kalo misalnya Jeje nembak gue terus gue sama dia pacaran terus lagi-lagi lo jomblo dan menjadi obat nyamuk di antara gue dan Jeje. Gue 'kan gak mau kalo lo jadi obat nyamuk mulu setiap gue pacaran. Gue itu maunya kalo gue pacaran lo juga harus pacaran! Karena biar kita bisa double date."

Jena menggeleng. Hal yang gak penting untuk dipikirkan oleh seoarang Jena malah dipikirkan oleh seorang Aura. Bagaimana bisa dia sahabatan dengan orang yang hobby-nya memikirkan hal-hal yang tidak penting begitu.

"Mendingan selama gue PDKT dengan Jeje. Lo juga harus PDKT dengan seorang cowok. Gimana?"

"NO!" Jena langsung menggeleng. Ia menolak mentah-mentah usulan yang tidak bermanfaat untuknya itu.

Aura menangkupkan kedua tangannya sambil berkata, "please Jen. Kali ini aja lo harus nikmatin betapa indahnya itu cinta." Aura merentangkan tangannya sebagai ekspresi diri mengenai cinta.

Jena tetap menggeleng, Aura pun mengerucutkan bibirnya. Lalu Jena memegang bahu Aura. "Mendingan sekarang lo pikirin gimana caranya dapetin tuh pujaan hati lo."

"Tadi di sekolah lo malah ngebela Ibu Leni. Sekarang? Nyuruh gue memperjuangkan pujaan hati gue. Gimana sih lo jadi sahabat plin-plan gitu?"

Jena berdecak. "Kalo gak karna lo nyuruh gue cari pacar. Sebenarnya gue males dukung lo buat memperjuangkan cinta monyet lo itu!"

"Yeuh ... enak aja cinta monyet!" protes Aura tak terima. "Jeje itu cinta sejati gue kali."

Jena mendengus sinis. "Lo dulu juga bilang gitu waktu pacaran sama—"

"STOP! SEKALI AJA LO SEBUT NAMA DIA! Persahabatan kita break sejam."

"Hahahaha sejam? Lo itu paling lama diemin gue lima menit itu pun ada kembaliannya."

"Lo kira beli barang ada kembaliannya?" Aura mencebikkan bibirnya. "Yaudah deh gue gak jadi marah karena gue sekarang laper. Minta makanan Jen?" Ia menyengir, berbeda dengan sebelumnya yang memasang tampang sangar karna hampir saja nama mantan termenyakitkan terbaiknya itu disebut.

"Ternyata eh ... ternyata ada teri di balik sambal jengkol." Jena beranjak dari tempat tidurnya. "Mendingan lo ikut gue ke bawah biar lo bisa ambil sepuasnya," rayu Jena.

"Bilang aja lo gak mau ngelayanin gue dengan baik!" ucap Aura yang tau kenapa Jena menyuruhnya mengambil makanan sendiri.

"Jen, gue mau bersiin masker dulu." Aura pun berjalan menuju kamar mandi Jena.

"Eh, gue juga deng." Jena berbalik dan kembali duduk di atas tempat tidurnya menunggu Aura yang lebih dulu membersihkan maskernya.

Setelah keduanya selesai membersihkan masker mereka masing- masing. Keduanya bergandengan tangan berjalan menuju dapur.

"Jen, gue boleh nambuh ya nanti?" cengir Aura.

Jena langsung memasang senyum manisnya. "Boleh." Aura langsung bersorak girang. "Tapi jangan lupa ya kasirnya di ujung pintu sebelah kanan."

"Sialan lo! Sama sahabat perhitungan!"

"Kalo perhitungan, gak akan gue nampung lo makan!" protes Jena dan Aura pun menyengir tanpa dosa.