"Masuk sekolah dengan seenaknya! Masuk kelas orang dengan seenaknya! Berkeliaran di luar kelas! Kamu gak capek Aura?" Leni yang duduk di kursi singgasananya menatap Aura dengan tajam. "Kamu tuh anak gadis Aura, perempuan!" lanjut Leni dengan geram.
"Siapa bilang saya laki - laki Bu?" ucapnya balik bertanya namun dengan suara pelan. "Kalo Kak Yo baru laki - laki," tuturnya.
"Istighfar-istighfar." Leni mengelus dadanya dengan sabar.
Mungkin ini cobaan untuk Leni yang baru pertama kali menjadi wali kelas. Tapi yang ia heran biasanya wali kelas akan setres karena kenakalan murid laki - laki bukan murid perempuan. Padahal Leni sudah berancang - ancang untuk mengendalikan murid lelaki yang nakal apabila seandainya itu terjadi. Namun, ia malah salah persiapan. Yang nakal bukan murid laki-laki melainkan murid perempuan.
"Ibu mau sekalian sholat juga?" tawar Aura dengan polosnya. Leni langsung menggeleng.
"Sekarang mau kamu apa Aura?" tanya Leni. "Saya kira kamu akan jadi lebih baik setelah insiden kamu yang diam selama sebulan itu. Taunya kamu makin parah!"
"Itulah namanya hidup Bu kadang di atas dan kadang di bawah. Eh pas mau naik ke atas bannya pecah." Ia menyengir kuda tanpa rasa bersalah karena telah membuat Leni pusing tujuh turunan.
"Saya lagi serius Aura."
"Ibu boong!" ucapnya dengan menyipit. "Ibu 'kan lagi ngomong sama saya. Bukannya lagi serius hehe."
"Aura!" desis Leni dengan tajam.
"Apa Ibu Lenikuh?"
"Kamu sekarang maunya apa?"
"Saya mau makan boleh Bu?" tanyanya. Leni menghela napas. "Saya laper soalnya Bu. Belum makan dari pagi," curhatnya.
"Yaudah, kamu ikut saya."
"Asik!!!" serunya semangat.
"Tapi sesudah makan kamu harus jelasin ke saya semuanya!"
"Siap Ibu asalkan Ibu traktir," ujarnya dengan mengedipkan sebelah matanya dengan genit.
Leni hanya menggeleng melihat kelakuan muridnya itu. Keduanya pun berjalan keluar ruangan. "Saya pesan taksi dulu ya?"
"Jangan Bu. Saya bawa motor kesini." Leni langsung melotot kaget.
"Motor siapa itu? Motornya Rio?" tanyanya dengan panik.
"Yakali, motornya Kak Yo. Segede gaban gitu mana bisa saya bawanya Bu berat," curhatnya.
"Jadi motor siapa?"
Aura pun tersenyum misterius membuat Leni bertanya-tanya. Aura menyuruh Leni untuk menunggunya di pos satpam sedangkan dirinya mengambil motor yang ia titip di tempat potocopy.
"BANG? MAKASIH YAK?" teriak Aura menyapa.
'Tin'
"SIAP NENG." jawab Abang sembari mengacungkan jempol.
Aura menjalankan motor bebek tersebut ke arah pos satpam sekolahnya. Leni menatap bingung motor yang dipakai Aura.
"Buruan Bu naik. Panas nih," keluhnya. Dengan cepat Leni menaiki jok belakang. Karna Leni memakai rok dengan terpaksa ia duduk menyamping dan memegang perut Aura.
"Kita kayak orang pacaran Bu. Coba aja saya bisa gini sama Jeje," ucapnya.
"Apa?" tanya Leni yang tak mendengar ucapan Aura karena angin.
Aura menggeleng. "BUU KITA MAU MAKAN DI MANA?" teriak Aura agar Leni bisa mendengar apa yang dia katakan.
"TERSERAH KAMU AJA!" teriak Leni balik.
"OKE!" Setelah itu Aura pun menambah kecepatannya.
"AURA PELAN-PELAN!"
Tak berapa lama butuh waktu lima belas menit untuk mereka sampai di sebuah rumah makan padang yang di pilih oleh Aura.
"Boleh 'kan Bu makan di sini?" tanyanya kepada Leni yang telah turun dari jok motor.
"Terserah kamu aja," jawab Leni.
Keduanya berjalan masuk dan memilih tempat paling pojok ruangan ini. "Untuk berapa orang Mbak?"
"Duo urang Uda," jawab Aura dengan tersenyum.
"Minumnya apa?"
"Es jeruk. Ibu mau apa?"
"Sama aja," jawab Leni.
"Es jeruk duo yo Uda." Sang pelayan pun mengangguk lalu meninggalkan keduanya.
"Kamu 'kan bukan orang padang kenapa bisa bahasa padang?"
"Jena orang padang. Dia sering ajak saya ke sini Bu. Jadi ya gitu deh," jelasnya.
Leni mengangguk paham.
"Saya selalu takjub deh Bu. Kok bisa ya pelayan rumah makan padang itu bawa piring sebanyak itu?" ucapnya saat pelayan meletakkan lauk-lauk di atas meja.
"Itu karna mereka terbiasa Aura."
"Terbiasa? Maksud Ibu itu dari lahir mereka udah terbiasa gitu?"
Pertanyaan Aura membuat Leni tertawa mendengarnya. "Ya mana mungkin lah dari lahir mereka udah bisa menghidangkan makanan dengan piring-piring yang tersusun rapi di atas satu tangan. Kamu ada-ada aja Aura ... Aura."
"Terus apa dong?" tanya Aura yang masih penasaran.
"Gini loh mereka itu awalnya pasti gak bisa. Sama kayak kamu pasti gak bisa bawa piring kayak mereka 'kan?"
"Iya Bu," jawabnya dengan semangat. "Saya padahal udah belajar sampe Mama marah-marah karna saya buat pecah satu lusin piringnya tapi tetep aja saya gak bisa kayak mereka." Leni tertawa mendengar cerita muridnya itu.
"Haha ternyata kelakuan kamu ada-ada aja ya?" ucap Leni sambil geleng-geleng kepala. "Maksudnya terbiasa di sini, kamu pernah denger gak pribahasa 'alah bisa karena terbiasa'?"
"Kayaknya pernah deh. Wah Ibu hebat padahal 'kan Ibu guru Sejarah tapi tau pribahasa."
"Itu kan sering diucapin orang Aura," ucap Leni dengan gemas.
"Hehe iya ya Bu? Terus-terus apa tuh maksudnya?"
"Maksudnya gini loh kalo suatu pekerjaan terbiasa di lakukan maka yang terlihat sulit akan menjadi mudah." Leni menjelaskannya dengan sabar. Aura yang mendengar penjelasan Leni mengangguk paham.
"Owh ... gitu toh. Ngerti-ngerti saya ngerti." Leni pun tersenyum mendengar pernyataan bawah muridnya itu mengerti dengan apa yang ia jelaskan. "Tapi Bu saya boleh nanya gak?" tanya Aura yang membuat Leni menaikkan kedua alisnya.
"Apa pribahasa ini bisa dipakai untuk semua hal?" tanyanya lagi dengan ambigu membuat Leni mengerutkan dahinya. "Gimana ya ngomongnya saya takut salah ngomong." Ia terlihat ragu - ragu.
Ntar gue diceramahin lagi kalo nanya tentang ini. Tanya atau gak ya? Tapi kalo gak nanya gue nanti bisa-bisa jadi bidadari gentayangan. Tapi kalo ditanya nanti gue malah kena ceramah. Bagusnya nanya atau gak ya? Nanya? Enggak? Nanya? Enggak? Nanya? Enggak? Nanya?
"Emangnya pribahasa ini kamu mau pakai untuk apa? Tugas?" tanya Leni karna Aura tak melanjutkan ucapannya untuk bertanya. Aura menggeleng, ia menggit bibir bawahnya dengan pelan.
"Tapi Ibu jangan marah ya?" tanya Aura.
"Tergantung," jawab Leni.
"Yaudah, gak jadi."
"Yaudah apa?" Leni jadi penasaran sebenarnya apa yang ingin ditanyakan oleh muridnya ini.
Ia tampak diam cukup lama sampai ia pun melanjutkan pertanyaannya, "kalo pribahasa ini dipake untuk dapatin hati seseorang bisa gak?" Sebelum Leni mengeluarkan suaranya Aura kembali bersuara. "Maksudnya gini loh, kalo orang yang sulit kita dapatin hatinya terus kita lakuin hal terus menerus untuk dapatin hatinya bisa gak? Bisa gak yang tadinya sulit menjadi mudah kalo kita berusaha terus menerus? Bisa gak Bu?"