webnovel

Bab 4 - Seolah Dia Tidak Pernah Ada di Sana

Jarak menuju ke Glesga terlalu jauh untuk ditempuh oleh sebuah mobil apalagi bersama dengan tubuh yang terlalu kelelahan. Glesga merupakan kota terluas di dataran rendah Skotlandia. Sebuah kota yang terletak di bagian perbatasan dari negara Britania dan Skotlandia dengan iklim sedang yang selalu lembab sepanjang tahun.

Sudah hampir empat jam berada di jalanan. Mengitari jalan beraspal yang begitu jauh dengan berbagai jenis hal yang terlihat di samping kanan kiri hingga berbagai persawahan yang tampak tak terlihat warnanya sebab gelapnya malam.

Cathrin baru saja menelepon memastikan keadaan kedua orang di dalam mobil itu. Shan menjawab bahwa semuanya baik-baik saja sehingga Cathrin tidak perlu mengkhawatirkan.

Hanya saja ada yang tidak baik di sana. Sejak mendadak Jina melihat hal yang aneh tiba-tiba kepalanya dilanda rasa pening yang begitu menusuk bersama dengan tubuh yang tiba-tiba terasa lemas terkulai penuh rasa sakit yang menusuk tubuhnya.

Berulang kali matanya harus dikejutkan dengan sesuatu yang tiba-tiba terlihat di sepanjang jalanan ini. Sosok yang berdiri di tepi jalan melambaikan tangan, sosok yang menyala bak api di tengah pepohonan kering, sosok yang berdiri tepat di tengah jalan lalu tersenyum ke arahnya hingga sosok yang begitu besar tampak sedang menunggu mobil mendekat lalu tiba-tiba menghilang.

Sejak kapan Jina bisa melihat mahkluk seperti itu?

Atau semua ini memang hanyalah halusinasinya saja karena rasa stres dan lelah yang memusat pada tubuhnya?

Mobil kemudian berhenti pada sebuah minimarket di daerah Moffot, usai melintasi jalanan hutan kering dan persawahan yang begitu panjang dan gelap itu.

"Kita makan dan istirahat dulu mencari udara segar," ucap Shan ke arah Jina.

Shan lantas turun beralih menuju ke arah pintu Jina dan membukakannya. Sejak tadi pria itu menyadari ada yang tidak benar sedang terjadi kepada Jina yang hanya sibuk menundukkan kepalanya. Bahkan perempuan itu hanya menggelengkan kepalanya dan enggan untuk turun.

"Tidak ada apa-apa di sini. Jangan khawatir," lanjut Shan mencoba meyakinkan.

Mata Jina perlahan di angkat naik. Beredar ke sekeliling untuk memastikan apakah sesuatu yang aneh juga ada di sekitarnya seperti sebelumnya. Namun seperti kata Shan, hanya ada kekosongan dan embun dini hari yang begitu dingin menusuk. Tidak ada apapun seperti sebelumnya.

Jina akhirnya memutuskan untuk turun dari mobil bersama dengan Shan yang berjalan di sampingnya. Tapi begitu tiba di depan pintu minimarket, Jina segera berhenti dan berbalik menuju ke arah kursi di depan minimarket itu sebab melihat ada sesuatu yang aneh di dalam.

"Tidak apa, duduklah saja di sini," ucap Shan.

Tapi begitu Jina duduk, tiba-tiba hamparan gelap di depannya berubah menjadi lautan keruh bewarna kemerahan. Sosok-sosok aneh itu ada di depannya lagi. Ada sekitar enam. Meskipun cukup jauh tapi mereka semua tepat berada di depan Jina.

Tiba-tiba tekuk leher Jina menjadi pusat rasa aneh bak ditusuk jaraum berisi racun yang menjalar pada seluruh tubuh dan aliran darahnya menciptakan rasa lemah di seluruh tubuhnya begitu tanpa sengaja matanya berkontak dengan mereka.

Mereka terlihat menyeringai begitu Jina menatapnya. Seolah ada letupan emosi membahagiakan yang mereka miliki begitu menjumpai diri Jina di hadapan mereka.

"Kak," panggil Shan sembari menyentuh lengan Jina. "Ada apa lagi?" tambahnya.

Jina kembali menundukkan kepalanya ke bawah. Bahkan saat Shan sudah duduk di hadapannya, Jina masih tidak mengangkat kepalanya.

"Kepalaku sangat pusing, Shan," aku Jina dengan sangat lirih. "Aku terus melihat hal-hal aneh."

"Hal aneh apa?" tanya Shan.

"Sesuatu yang tidak terlihat tapi aku bisa melihatnya."

Shan menghela napasnya dengan frustasi. "Kau itu hanya kelelahan dan terlalu stres. Jadi kau hanya perlu menganggap mereka semua sebagai halusinasimu saja."

"Tapi aku tidak sedang berhalusinasi!" balas Jina dengan sedikit menaikkan suaranya. "Aku sungguh melihat mereka."

"Kak Jina, mahkluk-mahkluk seperti itu pasti akan berusaha mengganggu bahkan mendekati manusia jika ada manusia yang bisa melihatnya," kata Shan masih diliputi rasa amarah yang dalam. "Tapi apakah mereka berusaha mendekat kepadamu? Apakah mereka mengganggumu?"

Jina menggelengkan kepalanya dengan lirih. "Aku hanya melihat mereka tersenyum dan memandangiku terus."

"Karena itu hanya fantasimu saja," tegas Shan kepada Jina.

Jina sontak mendongakkan kepala menatap ke arah Shan di hadapannya. Kilatan kekecewaan tampak jelas di dalam matanya. "Kau memang tidak pernah percaya padaku."

"Kau sedang stres karena skandal-skandalmu sehingga frekuensimu turun. Manusia akan mudah melihat hal yang tidak ada dan menganggapnya nyata ketika frekuensi dirinya rendah. Begitulah cara penyakit bisa masuk ke dalam manusia," jawab Shan.

Jina hanya diam. Matanya masih menyingsing tajam semakin dipenuhi rasa kecewa yang besar kepada Shan.

"Kau bahkan tidak mencoba mengelak tuduhanku."

Dan Jina segera pergi dari hadapan Shan begitu saja. Perempuan itu merasa sangat kecewa karena faktanya Shan memang benar tidak pernah mempercayai semua yang ada di dalam diri Jina. Bahkan tidak ada tanda keinginan pria itu untuk berpura-pura bahwa dirinya percaya kepada Jina.

Lima langkah baru Jina ambil menuju ke arah pintu mobil bagian belakang itu, namun tiba-tiba tubuhnya membeku dalam titik yang datang menghembuskan angin yang kencang. Tudung pada hoodie berwarna hitam miliknya mendadak terlepas sendiri bahkan angin kencang itu mampu menarik rambut Jina untuk berterbangan.

Mata Jina perlahan terbuka usai terpejam berkat terpahan angin kencang yang otomatis membuat matanya terpejam. Saat itu. Ketika mata itu perlahan terbuka... Jina menemukan sosok yang tengah menjulang tinggi di hadapannya.

Apakah karena angin yang berhembus membuatnya silau atau mungkin sihir itu memang ada sebab untuk pertama kalinya Jina merasakan perasaan terpukau hanya dengan melihat paras seorang pria.

Wajah itu terlampau sempurna. Seluruh detil yang ada dari wajah itu membentuk garis kesempurnaan yang mutlak. Rahangnya begitu tegas, hidungnya sangat tajam, bibir berwarna delima yang berkilauan, rambut berwarna cokelat keemasan itu, serta mata jernih yang terlihat bersedih itu tampak menghanyutkan.

"Ada yang bisa kubantu?" tanya Jina dengan ragu.

Sosok itu tidak menjawab. Hanya saja dari mata Jina tampak sekali jika mata itu semakin jatuh ke dalam kesenduhan. Seolah pemandangan di depannya, seolah apa yang pria itu sedang lihat di depannya... adalah kesedihan yang mutlak melukai hati sosok itu.

Tak ada kedipan sama sekali dari mata tajam nan jernih itu untuk meredam air mata. Seolah-olah hanya dengan satu kedipan saja mampu meruntuhkan dunia ini.

"Kau bicara dengan siapa?" pekik Shan yang sudah berdiri di samping Jina. Shan segera menarik tangan Jina saat perempuan itu tidak menjawab apapun dan hanya mendongak menatap ke depan.

Saat Jina berusaha menoleh kembali ke arah sosok itu... pria itu menghilang. Seolah-olah tidak pernah ada di sana.

***

Dalam sebuah waktu fajar, sering kali ada jeda yang ditinggalkan dari warna samar kemerahan yang terlihat memenuhi kaki langit. Jeda tersebut berupa sebuah jarak singkat antara pergantian kedatangan matahari dan hilangnya kegelapan malam.

Pada jeda singkat tersebut beragam keajaiban akan datang bak pelangi yang menyerupai jembatan untuk melapisi langit kemudian jatuh pada cakrawala untuk menginjak pada bumi.

Waktu fajar menimbulkan titik kabur pada galaksi semesta dan seluruh lapisan di dalam bumi. Saat dimana komponen kegelapan malam dan cemerlangnya siang hari bersatu dalam satu horison yang berjajar. Tak lupa gelojak pada bagian lautan yang mempengaruhi pasang surut air laut seolah sedang mengendalikan ritme.

Tapi dalam sebuah waktu fajar ada hal yang jauh lebih istimewa bagi sang Sonneillon, yakni pertemuannya dengan bintang jatuh yang berjalan turun dari tempat tinggalnya melalui cahaya kemerahan bersama dengan harapan pagi untuk setiap kepala manusia di bumi.

Saat itu... adalah waktu kedatangan Puteri Ruby ke bumi ini. Waktu ketika pertama kali ia bertemu dengannya.

Sonniellon akap kali merindukan waktu itu. Karenanya setiap waktu fajar tiba dia akan diam-diam duduk di tepi jendela dengan harap bahwa semua hal itu bisa terulang lagi; bahwa Ruby akan kembali ke dalam batas edarnya.

Tapi Sonneillon tidak pernah menduga jika takdir langit akan kembali membawa dirinya masuk ke dalam sebuah permainan. Rangkaian kelamnya hanya membawa kutukan kelam untuk kehidupan yang menyedihkan.

Dia Sonneillon... yang kembali dipertemukan kepada takdir yang tidak diduganya. Takdir tentang kembalinya sang puteri yang begitu dirindukan olehnya ke depan mata. Sorot senduh dan sedih itu tidak dapat membohongi rasa sesak yang menelusup ke dalam relungnya. Bahwa takdir yang ditemuinya lagi bersama dengan sosok paling gemilang di depannya adalah cara langit menghukumnya.

Kenyataan bahwa Ruby yang begitu dirindukan olehnya kembali ke depannya dengan wajah yang sama dan tidak berubah. Masih dengan wajah secerah rembulan. Masih dengan waktu pertemuan yang sama... membuat Sonneillon merasakan perasaan bahagia yang terbesit di dalam relungnya.

Namun ketika indera penciumannya merasakan aroma berbeda. Itu wangi matahari. Hatinya merasa tidak karuhan lagi.

"Benar kataku, kan?" ucap Berith memulai. "Wanginya memang belum menyengat tapi itu jelas sekali wangi yang kita cari."

"Tapi bagaimana bisa gadis itu Najina?" balas Dimitri masih merasa tidak percaya. "Maksudku perusahaan Sonneillon beberapa kali memakai gadis itu sebagai model tapi tidak satu kalipun aku mencium aroma seperti tadi."

"Kalian sering bekerja sama dengannya?" tanya Berith. "Berarti kau sudah pernah melihatnya?" tambah Berith bertanya kepada Sonneillon.

"Itu hanya pekerjaan satu hari ketika syuting iklan saja. Selebihnya tidak pernah bertemu dan Sonneillon juga tidak pernah datang ke proses syuting seperti itu. Proses tanda tangan kontrak dan casting pun hanya antara perusahaan iklan dengan agensi gadis itu saja," terang Dimitri mewakili Sonneillon.

"Dia sangat terkenal di dunia manusia karena kecantikan dan bakatnya yang dianggap sangat luar biasa," lanjut Dimitri. "Dia juga sering melakukan kegiatan amal dan kerja bakti sehingga manusia sangat menyukainya."

"Aku jadi berpikir," ucap Sonneillon menjeda kalimatnya sejenak. "Mengapa para iblis dan jin tidak bisa segera membawanya? Padahal tadi sudah banyak yang berkeliaran mengerumuninya."

"Karena dia belum bisa digunakan," jawab Berith dengan penuh keseriusan. Berith kemudian memfokuskan pandangannya kepada sang tuan. "Kau tahu mengapa Verinne sendiri yang turun ke bumi?"

"Sekaligus kabur dan bersembunyi dari bangsa iblis, mungkin," jawab Sonneillon.

"Karena kutukan yang dimiliki gadis itu adalah tidak bisa jatuh cinta. Seseorang, manusia ataupun iblis harus mematahkan kutukan itu untuk membuat gadis itu bisa digunakan bangsa iblis."

"Tapi Najina itu sering berganti kekasih," sahut Dimitri. Pria yang dilanda kebingungan itu kemudian melanjutkan, "Hari ini dia bahkan tertangkap bersama dua pria berbeda. Bahkan satunya terlibat video syur."

"Kau terdengar seperti manusia, Dim," sindir Sonneillon dengan tajam. "Bodoh dan tidak tanggap."

"Dekati dia dan buat dia jatuh cinta kepadamu," ucap Berith kepada Sonneillon. "Itu yang ayahmu minta darimu."

"Apakah Najina memang mirip dengan Puteri Ruby?" tambah Dimitri bertanya kepada sang tuan.

"Tidak hanya mirip," jawab Sonneillon memberi jeda. Wajah itu kembali diiris pada kenyataan yang menjatuhkan kuasanya. "Tapi mereka sama persis."

Mata yang semula jatuh ke dalam kekosongan itu perlahan naik kembali menatap ke arah Berith. "Apa yang terjadi jika kutukan itu tidak dipecahkan?" tanya Sonneillon kepada Berith.

"Tidak akan ada kesempatan untuk mendapatkan jantung puteri langit lagi," jawab Berith.

"Apa maksudmu?"

"Gadis itu ditakdirkan hanya hidup sampai usianya duapuluh sembilan. Jika dia mati sebelum kutukan itu dipatahkan, maka dia tidak akan pernah terlahir kembali sebagai manusia ataupun dewi langit."

Jadi takdir Sonneillon menyaksikan kematian Ruby juga kembali terulang.

***