webnovel

Bab 2 - Sunflower

Jagad raya mudah sekali dihebohkan. Alunan genderang musik yang membungkus telinga menjadi nada padam paling tak kuasa didengar sebab genre yang beragam. Dentuman bara api yang semakin membara sebab alam dan juga ketamakan manusia yang lebih menakutkan daripada para iblis. Serta mungkin yang lebih sederhana dan paling mudah, ketika para selebritis mengidap sebuah skandal yang mengejutkan.

Berulang kali suara panggilan ponsel silih berganti terdengar nyaring di dalam ruang tamu di sebuah rumah berbentuk loft sederhana itu. Bersamaan dengan suara panggilan itu, suara lembut khas perempuan namun tegas membara menjawab setiap kali ada panggilan masuk dengan jenis maksud yang sama.

"Itu tidak benar. Artis kami tidak berkencan dengan aktor yang disebutkan. Agensi kami sudah membuat pernyataan resmi."

Tak hanya itu sibuk menegaskan pada orang-orang yang berulang kali menelepon dengan pertanyaan yang sama, mata perempuan yang bernama Cathrin itu tidak berhenti memincing tajam penuh angkara murkah menatap ke atas pada bagian Mezzanine di dalam rumah minimalis itu.

Di sana sang bintang kejora tengah duduk di atas kursi goyang dengan sebuah buku bacaan dan telinga yang tertutup sebuah headset tanpa kabel berwarna putih. Sangat egois. Tanpa suara ataupun sekadar kalimat penjelasan yang seharusnya dikatakan oleh seseorang yang baru saja terlibat skandal.

"Nona Muda," pekik Cathrin dengan kencang, menyalang tajam masih pada sudut leher ke atas menatap ke arah sang tuan.

Tidak ada sahutan padahal Cathrin tahu jika tidak ada alunan musik yang keluar dari benda kecil bulat yang menyumpal telinga itu.

"NAJINA!!" panggil Cathrin sekali lagi dengan semakin memungkas nada penekanan yang kencang.

Masih tidak ada sahutan dari perempuan di sana. Membuat Cathrin dengan sangat geram berjalan menaiki tangga berwarna kayu natural menuju ke area menyerupai balkon di dalam ruangan yang penuh berisi rak-rak buku.

"Aku tahu kau mendengar panggilan ku, Jina," ucap Cathrin sembari mencabut benda bulat yang menyumpal telinga itu.

"Ada apa?" balas Jina dengan sangat mudah.

"Harry Styles, Endro William, Nicholas Aleksi, Liv Gregori, Ivan Asher dan yang terbaru Bert Dillon."

"Hentikan, Cath!" pinta Jina. Wajahnya kembali melengos dari Cathrin, menatap kembali halaman pada buku yang dibawanya. "Aku sangat bosan mendengarnya."

"Apa? Kau bosan?" balas Cathrin dengan nada tajam. Perempuan berambut pendek itu kemudian mendekatkan wajahnya dengan berjongkok ke bawah menatap sang tuan. "Lalu bagaimana denganku, Nona?"

"Kau pasti lebih bosan daripada aku." Jina membalas tatapan Cathrin sejenak kemudian kembali menghadap ke arah buku.

Cathrin mengangkat kepalanya, menegakkan tubuhnya untuk berdiri dari posisi semula. Perempuan itu menggusar rambut depannya ke belakang dengan penuh rasa frustasi. Helaan napas panjang tanda jengah tampak berseru di antaranya.

Perempuan itu kemudian kembali menatap Jina dengan tatapan tidak percaya yang masih diliputi rasa frustasi. "Bagaimana kau bisa sesantai ini, Jin?" tanyanya.

Jina kembali menegakkan pandangannya menatap ke arah sang manajer. "Lalu aku harus bagaimana? Kau tahu sendiri jika itu tidak benar."

Cathrin kembali menghela napas panjang penuh frustasi. "Jadi tidak dengan Dillon juga?"

"Aku bahkan memblokir nomor ponselnya," jawab Jina dengan mata yang kembali berfokus pada bacaannya. "Lagipula itu foto keluar hotel bukan keluar kamar hotel. Media saja yang terlalu berlebihan. Kau juga tahu aku tidur denganmu malam itu."

"Maksudku mengapa tidak mencoba berkencan dengannya?" Cathrin berkata dengan letupan amarah yang meledak lagi. "Kau masih normal, kan?" tambahnya, dengan sedikit menurunkan suara.

"Kau sudah duapuluh tujuh tahun asal kau ingat saja, tapi belum satu kalipun kau pernah berkencan," tambah Cathrin. "Padahal jika jadi kau, aku akan mengencani semua pria tampan dan kaya raya di dunia ini."

"Harry Styles, Endro William, Nicholas Aleksi, Liv Gregori, Ivan Asher dan yang terbaru Bert Dillon. Bukankah semua itu nama mantan kekasihku?" balas Jina.

"Memang benar. Tapi maksudku yang benar-benar kekasihmu. Yang kau cintai. Bukan yang hanya sekadar buatan agensimu dan media saja."

"Kau normal, kan?" imbuh Cathrin. Suaranya menderu ke bawah memberi getar lemah.

"Tentu saja," serah Jina dengan cepat. "Hanya belum menemukan pria yang tepat."

"Katakan seperti apa pria idamanmu!" pinta Cathrin, duduk di samping kursi Jina.

"Hanya seseorang yang membuat jantungku berdebar."

"Kau belum pernah berdebar karena pria?" tanya Cathrin.

"Belum," balas Jina.

Mungkin jika itu orang lain, Cathrin akan mentertawakan dan menganggapnya tengah berbohong karena bagaimana mungkin perempuan dewasa berusia dua puluh tujuh tahun belum pernah merasakan jatuh cinta atau sekadar jantung berdebar karena pria.

Tapi, itu Najina. Jina yang mengalami semua itu. Sosok yang sudah Cathrin kenal sendiri dan lihat sendiri sedari remaja. Perempuan tak banyak bicara yang hidupnya diapuh kesempurnaan yang diidamkan semua orang.

Perempuan tanpa banyak ekspresi yang selalu menyajuk dirinya sendirian dalam diam. Membaca novel romansa berharap akan menemukan debaran jantung pada karakter pahlawan, koki, ataupun miliader dalam karakter yang dibaca. Kemudian saat dia memiliki beberapa sisa waktu alih-alih bertemu dengan dunia luar, perempuan itu malah masuk ke dalam dunia tersembunyi di dalam petakan apartemen kecilnya yang berisi tanaman bunga matahari favoritnya.

"Kurasa kau harus mulai keluar dari zona nyamanmu, Jin," ucap Cathrin memberi saran. Perempuan itu kemudian berdiri sebab ponselnya yang kembali berdering. "Percayalah, cinta itu perasaan yang mudah dibentuk. Kau hanya perlu keluar dari zona nyamanmu lalu bertemu beberapa pria," katanya sebelum berlalu menuruni tangga.

Jina, dia artis yang paling sukses di negeri. Tidak ada peran yang tidak bisa dia lakoni. Menjadi seorang pahlawan, pembunuh, pencuri hingga dalam genre drama dengan menjadi peran yang centil, ceria ataupun melodrama. Tidak ada film dan drama yang tidak sukses sehingga mengantarkan perempuan itu ke dalam tanggul nomor satu di negeri ini.

Wajahnya begitu sempurna. Pahatan dewi yang sesungguhnya. Wajahnya kecil dan tirus, mata kucingnya begitu adiktif, hidungnya tidak begitu panjang namun pas dan bibir itu begitu menawan. Tubuhnya semakin membuat kesempurnaan itu mutlak pada dirinya. Ramping dan tinggi, dengan bagian menonjol dan meliuk di tempat yang pas.

Siapa yang bisa menolaknya?

Salah!

Siapa yang bisa membuatnya jatuh cinta?

Jawabannya memang sungguh belum ada. Perempuan itu mungkin terlalu mencintai dirinya sendiri sehingga dia tidak perlu orang lain untuk melengkapi kesempurnaannya.

"NAJINA!!" teriak Cathrin berbalik menatap kembali ke arah Jina dari tempatnya menerima telepon di bagian paling atas tangga di ruangan mezzanine itu.

Raut wajah Cathrin berubah mengeras. Sehingga membuat Jina yang harus menoleh karena pekikan keras itu harus dilingkupi praduga.

"Kau harus pergi dari sini!" lanjut Cathrin semakin serius. "Shan akan membawamu pergi ke Glesga."

"Apa sesuatu terjadi lagi?" tanya Jina dengan santai.

"Kau dalam masalah besar."

Oh, iya! Jina memang sangat menyukai bunga matahari dan fajar pagi hari. Jika hidupnya tidak berjalan lurus menatap satu arah, itu artinya Jina sedang tertidur.

***