webnovel

Bab 10 - Save Me, Son!

Gurat penuh keterkejutan tampak mengisi penuh wajah rupawan Hew begitu mendengar penuturan yang Jina katakan. Pria itu terdiam sejenak bersama dengan pikiran kosong yang mendadak menguasai dirinya. Membiarkan rangkaian kecupan basah yang ditinggalkan Jina pada sepanjang leher dan rahangnya.

Sejatinya terlalu mudah untuk manusia biasa menemui wujud para bangsa iblis apalagi Sonneillon. Namun di bumi ini tidak ada satupun cerita tentang Sonneillon yang tersebar dari mulut ke mulut atau bukti fisik yang menjadi buah bibir di kalangan manusia.

Bukan tanpa alasan, pasalnya Sonneillon akan menghancurkan semua hal terkait berita tentang dirinya bahkan tanpa takut untuk membunuh mereka dengan begitu saja jika ada manusia yang melampaui batas terkait wujudnya. Sehingga Hew bisa menjamin jika di bumi ini tidak akan ada manusia yang tahu atas siapa identitasnya.

Tapi, rasanya seperti baru saja mendengar kalimat tidak masuk akal yang biasa diucapkan oleh manusia biasa. Manusia yang tengah bertanya atas siapakah wujudnya dan siapakah namanya. Seolah nama yang terlampau asing bagi manusia itu merupakan hal yang biasa didengar oleh Jina.

"Tentu aku akan memberikan semuanya untukmu," ucap Hew mulai menggerakkan tangannya untuk kembali mengambil kendali. Merabah kembali pada area mengembang dalam pucak yang mengeras yang sejak tadi berusaha menyentuh wajahnya. "Apapun. Semuanya. Hanya untukmu, Nona."

Tangan Hew bergerak menuruni bagian depan tubuh Jina menuju tempat yang jauh di bawah sana dan sudah mulai banjir.

"Uh! Tidak memakai celana dalam rupanya," ucap Hew merasa terkejut begitu merasakan tidak ada benda yang menutupi benda mungil di bawah sana.

Jina menggeliyang dengan hebat begitu tangan besar Hew bermain pada daerah yang tidak pernah tersentuh oleh siapapun. Apalagi ketika jemari itu mulai membentuk gerakan melingkar yang membuat Jina semakin menggila.

Desahan dari mulut Jina keluar begitu saja, tidak sanggup lagi untuk ditahan dalam pertahanan diri yang lebih kuat. Suara yang keluar dari mulut perempuan itu menyebabkan ledakan yang semakin menjadi dalam diri iblis penuh kebencian itu pada diri Sonneillon.

Pria itu bak kehilangan akal dengan semakin menekan tangannya pada bagian paling intim di tubuh perempuan itu. Matanya menautkan fokus untuk memperhatikan bagaimana wajah indah di atas pangkuannya itu memainkan ekspresi yang membuat pria itu sangat mengila. Bibirnya kemudian berusaha melahap bibir merona yang terbuka menjadi puncak kenikmatan yang sanggup terlihat oleh mata.

Merasa tidak puas hanya dengan semua itu serta rasa tidak kuat menahan sesak di bawah sana, membuat Hew segera mengangkat tubuh Jina untuk dibawa melayang dalam kenikmatan duniawi yang tiada akhir.

Tubuh perempuan itu dibawa untuk masuk ke dalam kamar yang bercahaya cukup terang. Panggutan bibir yang masih begitu kuasa dan keras belum diakhiri tampak menjadi pelebur keinginan rasa nikmat yang dituntut untuk lebih besar.

Tubuh Jina segera dibaringkan dengan sangat hati-hati bak sebuah benda paling rapuh di dunia ini. Tanpa menyudahi panggutan yang tercipta antara bibir satu sama lain. Kemudian panggutan berhenti sebab mata yang saling memandang lebih dalam pada satu sama lain untuk menuntut makna yang lebih jauh.

Di sana Jina menemukan makna bahwa pria di atas tubuhnya itu memang sangat menginginkannya penuh dengan dambaan memuja dalam gairah dewasa. Perempuan itu merasakan sesuatu yang berbeda hanya dengan dipandangi selekat itu.

Jina tidak merasakan debaran jantung. Ia yakin bukan perasaan seperti itu. Ia hanya sangat menyukai dipandang dengan sedamai itu oleh pria yang tengah mengingkannya. Karena itu Jina merasa lebih baik menyebutnya sebagai gairah yang ingin dituntaskan sebab dia juga merasakan hal yang sama.

"Aku pernah mendengar seseorang berkata padaku jika dia pasti akan membuatmu lumpu begitu berhasil menelanjangimu." Tangan Hew bergerak untuk melepas rok panjang yang dikenakan oleh Jina.

Untuk pertama kalinya Jina membiarkan tubuh telanjangnya ditonton oleh seorang pria di dalam sebuah ruangan yang dimiliki olehnya. Membiarkan tangan pria itu menyentuh setiap jengkal hingga pada titik yang paling intim di dalam tubuhnya.

"Dan aku juga berniat melakukan hal yang sama, membuat lumpu setelah bercinta denganku," tambah Hew.

Mendadak ketakutan dan rasa ngeri mendatangi kesadaran Jina begitu melihat perlahan pria itu berdiri di atasnya untuk membuka seluruh pakaian dengan mata yang tidak teralihkan pada sudut di pangkal paha perempuan itu.

Apalagi melihat betapa panjangnya benda yang ada di tengah-tengah kaki pria itu sontak membuat Jina memalingkan wajahnya dengan rona memerah yang hadir pada kedua pipinya. Ini juga kali pertama bagi Jina membiarkan matanya melihat benda tanpa tulang yang begitu gagah milik seorang pria dan dia tidak pernah menduga bahwa ukurannya harus sebesar itu.

"Kau tidak mau melihatnya?" tanya Hew menyadari Jina yang memalingkan wajahnya. Mata pria itu bergerak naik menangkup kan pandangan ke arah mata perempuan itu dan juga benda yang tengah disentuh oleh tangannya sendiri.

"A-apakah itu cukup?" tanya Jina dengan terbata.

"Kita harus membuktikan sendiri," jawab Hew mendekatkan kembali tubuhnya kepada Jina. "Apakah milikku cukup untuk milikmu yang mungil," lanjut Hew dengan seringai miring yang terbit pada sudut bibirnya, menggoda.

Dengan sengaja pria itu menempelkan bendanya untuk menggesek pada setiap kulit paha perempuan itu. Terus membawa miliknya untuk menyentuh setiap jengkal tubuh Jina. Tidak hanya pada kedua kaki melainkan mulai bergerak naik pada perut, dada hingga membawanya pada tangan Jina dan menuntun untuk tangan Jina mencengkeramnya. Seolah sedang memberi ucapan salam perkenalan.

Sontak geliyangan dari rasa geli dan tegang menyatu begitu saja pada tubuh Jina. Rasa yang tidak pernah perempuan itu temui dalam hidupnya selama ini. Rasa yang mungkin akan membuat Jina merasa sangat ketagihan.

"Ya, seperti itu, Najina," rancau Hew dalam mata yang terpejam merasakan kenikmatan dari bagaimana polosnya tangan Jina menyentuh miliknya. "Kau bisa lebih kencang lagi."

"Tidak menyakitimu?"

"Tidak sama sekali."

Jina melakukannya, menuruti permintaan pria itu dengan sangat hati-hati. Ketidakadanya pengalaman membuat Jina merasa lebih bersemangat untuk merasakan hal apa saja yang bisa dia lakukan dan rasakan.

Sama halnya dengan sang alpa layaknya Hew, pria itu merasa sangat gila sebab ketidakadilan pengalaman dari perempuan yang begitu murni dan polos itu. Jina hanya menurut tanpa menbantah.

Tapi yang lebih membuat Hew merasa gila bukan hanya sebatas bagaimana tangan lembut itu menyentuh setiap tubuhnya, bagaimana di bawah sana telah banjir atau bagaimana di atas sana telah mengeras, melainkan bagaimana bisa ekspresi yang ditampilkan oleh Jina membuat Hew merasa sangat menegang.

Dia merasa bisa mencapai puncaknya hanya dengan melihat wajah indah itu memainkan ekspresi merasakan kenikmatan surgawi. Padahal ini bukan wajah pertama yang dia temui karena hasil setiap sentuhannya. Tapi bagaimana bisa Jina memiliki semua ekspresi yang membuatnya gila. Ekspresi liar namun diliput dalam tatapan yang sangat polos seperti kucing kecil, bagaimana bisa itu terjadi.

"Masukkan ke mulutmu!" perintah Hew.

Jina menggeleng. "Itu menjijikkan."

"Tidak menjijikkan!" tegas Hew.

Hew segera menarik tubuhnya dari cengkeraman tangan Jina untuk dibawa naik pada puncak bagian atas tubuh molek itu. Mengusap setiap wajah Jina dengan miliknya tanpa celah.

"Dia harus melihat bagaimana cantiknya wajahmu," kata Hew lagi.

Tangan Hew kemudian mencengkeram mulut Jina dan mendorong miliknya untuk masuk ke dalam mulut mungil yang masih berusaha menolak itu. Namun tak ada daya, Jina kalah dan milik pria itu tenggelam di dalam mulut hingga pangkal tenggorokan membuat sedakan yang malah membuat Hew menggila.

Kemudian pria itu jatuh pada kedua kaki Jina. Mengecup sejenak benda itu kemudian menenggelamkan wajah dan lidah panas pada lubang perempuan itu. Jina menjerit dengan keras merasa dipermainkan oleh lidah Hew.

Semua hal coba disentuh oleh Hew menggunakan lidahnya. Teriakan Jina yang semakin kencang membuat pria itu semakin jatuh ke dalam permainan. Pria itu mencoba dengan lebih dalam dengan memasukkan jari-jarinya.

Hanya satu dan dia sudah bisa merasakan jarinya dijepit dengan sangat sempit oleh dinding perempuan itu.

Ini sangat gila dan ini adalah surga.

Hew menambah jemarinya di dalam liang perempuan itu. Mengabaikan teriakan kesakitan yang terus dikeluhkan oleh perempuan itu. Hew hanya fokus merasakan bagaimana jemarinya yang dijepit sangat dalam di sana.

Kemudian saat perempuan itu kembali tenang, perlahan jemarinya bergerak ke atas dan ke bawah dengan tempo yang sangat cepat. Jina mendesah dengan mulut yang ditutup, matanya berkaca dan itu semakin membuat Hew gila.

Jina hendak mencapai puncaknya, Hew tahu itu. Namun dengan semakin menggila, pria itu malah memutar kedua jemarinya di dalam sana dan menyebabkan teriakan kesakitan yang luar biasa dari Jina bersama dengan puncak pertama yang dikeluarkan oleh perempuan itu.

Pria itu kembali naik menatap wajah Jina. Menempatkan diri pada celah kedua kaki perempuan itu. Satu kecupan dijatuhkan Hew pada bibir terbuka itu. Kemudian tangannya masih sentosa untuk menyibak wajah penuh dengan pemujaan.

"Itu baru jariku, kau sudah menggila seperti ini," goda Hew. "Kau ingin milikku?" tanya Hew lagi.

Jina mengangguk dengan tatapan khas anak kucing yang polos dan jernih. Perempuan itu menggeliyang sebab milik Hew terus bermain di atas miliknya dengan mempermainkannya.

"Memohonlah!" perintah Hew.

"Please," mohon Jina dengan sangat frustasi karena benda di bawah sana yang tanpa henti menggoda liangnya.

"Memohonlah dengan sangat tulus, Sayang," balas Hew dengan senyum yang masih puas menyeringai. "Memohonlah seolah kau ingin semua kesakitanmu ingin diangkat. Memohonlah penuh dengan rasa frustasi agar Tuhanmu, Dewa-dewamu atau mungkin mahkluk baik lainnya bisa menyelematkanmu."

"Hew, Kumohon," lanjut Jina dengan penuh rasa frustasi. "Kumohon selamatkan aku dari siksaan ini."

"Selamatkan aku, Son,"

Mendadak suara itu datang kembali dalam ingatannya. Suara sangat lirih dengan penuh rasa sakit yang sangat besar. Luka di sekujur tubuhnya yang perlahan kikis menjadi asap bersama dengan jatuhnya air mata pada wajah Ruby itu datang menyambanginya.

Hew menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir semua hal yang tiba-tiba membayangi dirinya dan membuat fokus pandangannya kabur.

Ini manusia bernama Najina. Bukan Ruby. Ini hanya tubuh Ruby. Tubuh wanita yang sangat dicintai sekaligus tubuh yang selalu menjadi fantasinya.

Benar, seperti itu. Dia bisa merasakan bercinta dengan Ruby sekarang.

Tapi ingatan lain tiba-tiba datang bak hal yang otomatis dipanggil begitu mengingat bercinta dengan Ruby. Ingatan yang membuat seluruh amarahnya memuncak pada cengkeraman pada leher Jina. Ingatan itu tentang bagaimana Ruby tengah bercinta dengan manusia.

Hew sangat marah. Mengabaikan Jina yang tersiksa dengan cekikan pada lehernya. Mengabaikan bagaimana tangan Jina berusaha memukul dan mendorong tangan kuat itu untuk lepas dari lehernya.

"Kau bilang apa? Sonneillon?" tanya Hew dengan mata yang membara. "Sayang sekali aku bukan Sonneillon yang kau cari, Nona."

Kemudian hentakan kencang membelah tubuh Jina menjadi dalam pekikan kesakitan yang sangat kencang.

***