webnovel

A Love For My Little Brother

Untuk aku, adik laki-lakiku yang bernama Ricky itu, adalah sesuatu yang berharga bagi hidupku. Kalau diibaratkan benda, Ricky itu adalah sebuah permata berlian 24 karat seberat setengah kilogram yang harus dijaga dan dilindungi. Ribuan personel TNI--baik AU, AD, maupun AL--rela aku kerahkan untuk menjaga benda paling diincar itu. Agak berlebihan memang, namun itulah yang aku rasakan. Sudah bertahun-tahun aku berpisah dengannya dan tidak disangka-sangka saat aku kembali, dia sudah tumbuh besar dan semakin tampan. Aku ingin sekali memeluknya dan mencium-ciumnya sama seperti apa yang aku lakukan saat kami masih kecil. Tapi kenapa dia malah menjauh? Wajahnya selalu memerah setiap aku memanjakannya. Malu kah? Atau mungkin jijik? Yah, apapun itu sudah membuatku senang dengan ekspresi baru itu. Aku dapat kabar kalau dia sedang jatuh cinta dengan teman sekelasnya. Apa itu benar? Kalau benar, aku tidak akan membiarkan itu terjadi! Dia masih terlalu muda untuk mempunyai kekasih dan aku menjadi orang pertama yang menolak dengan keras hubungan itu walau kedua orang tuaku mendukungnya untuk memiliki kekasih. Kenapa tidak kakak saja yang mencarikan kekasih untukmu? Aku yakin kamu tidak akan menyesal dengan pilihanku ini! Cerita yang mengisahkan tentang kakak-beradik yang tinggal di keluarga serba berkecukupan. Cerita yang mengisahkan tentang betapa cintanya Sang Kakak kepada adiknya yang sudah bertahun-tahun ia tinggalkan untuk menempuh pendidikan dan meraih mimpi. Cerita yang mengisahkan tentang betapa malu dan jengkelnya Sang Adik kepada kakaknya karena kelakuannya yang menganggapnya sebagai anak kecil. Melihat Sang Kakak bersifat kelewat batas seperti itu, akankah Sang Adik bisa memiliki kekasih yang ia idamkan? A Love For My Little Brother

tahraanisa · วัยรุ่น
Not enough ratings
155 Chs

Hari Pertama

Seorang gadis sedang melewati sebuah koridor sekolah dan terlihat terburu-buru. Sebuah kantung plastik ia tenteng dan kotak makan ia dekap dengan tangan yang satunya.

"Kelas X-1, kelas X-1..." gumamnya sambil melihat kembali secarik kertas yang terselip di jarinya, dan sedikit menengadah ke papan nama di atas deretan pintu yang sedang dilewatinya untuk mengecek apakah papan nama itu sama dengan tulisan di kertas.

Saat ia telah berada tepat di depan kelas yanh dimaksud, ia mengatur kembali napasnya. Lalu ia mengetuk pintu beberapa kali dan langsung membukanya.

"Permisi!!" Suaranya yang cukup nyaring menarik seluruh perhatian yang ada di dalam kelas.

"Iya kak, mencari siapa ya?" Tanya salah seorang siswi dengan blezer almamater sekolah yang berdiri di paling depan.

"Kiki," jawab gadis itu dengan mata yang sibuk mencari orang yang dimaksud. "Nah, itu dia" katanya. Ia melangkahkan kaki begitu saja menuju seorang laki-laki yang tampak tak percaya dengan kedatangannya itu.

"Kakak ngepain di sini!" Ucapan laki-laki itu terdengar geram dan berbisik saat melihat Sang Kakak sudah berdiri di depannya.

"Aku nganterin kamu bekal makan siang dan perlengkapan MOS yang ketinggalan," jawab gadis itu sambil meletakkan bawaannya di atas meja Sang Adik. "Kamu belum dihukum kan?" Sang Kakak meraba-raba wajah adiknya yang ia sebut Kiki itu.

Ia pun langsung menepis tangan kakaknya dari wajahnya. "Aku baik-baik saja!" bantahnya dengan nada menahan emosi.

"Hey, itu dia!"

Tiba-tiba ada dua orang satpam sekolah yang menunjuk Sang Kakak dari ambang pintu. Mereka pun masuk ke dalam tanpa permisi dan segera menyeretnya keluar kelas.

"Sebentar saja Pak! Saya ingin bertemu dengan adik saya!" berontak gadis bersurai panjang itu.

"Tidak bisa! Masuk tanpa izin dan membohongi satpam sekolah itu termasuk pelanggaran aturan," ucap salah seorang satpam.

Akhirnya Sang Kakak pun keluar dari kelas setelah ia memberi kiss bye beberapa kali pada adiknya.

Untuk sejenak, terjadi keheningan di dalam kelas itu. Perhatian hampir seluruh siswa dalam kelas tersebut, tertuju pada laki-laki itu. Perlahan wajahnya yang disembunyikan di antara dua tangan, mulai memerah. Ia tidak tahu harus melakukan apa untuk menghindari tatapan-tatapan tak percaya dari sekitarnya itu.

Astaga, sepertinya hari pertamanya duduk di bangku SMA, akan memberikan efek panjang. Wajahnya akan dikenal dan menjadi bulan-bulanan para kakak mentor untuk MOS tiga hari kedepan. Padahal ia paling tidak suka menjadi pusat perhatian. Dan semua bayangan untuk memiliki masa putih abu-abu yang normal, seketika berubah ketika Sang Kakak datang di saat yang tak pernah terduga.

***

Setelah ia melepas sepatu dan melempar tasnya yang cukup berat ke sembarang tempat, ia langsung melangkah cepat ke suatu tempat di rumahnya. Ia menaiki tangga dan melewati koridor rumahnya. Di pikirannya saat ini adalah balas dendam, balas dendam, dan balas dendam atas kelakuan kakaknya tadi pagi. Entah apa yang akan ia lakukan nanti. Tapi yang terlintas di benaknya hanya memarahi kakaknya atau mengganggu kakaknya bekerja.

Saat ia berdiri tepat di depan pintu kayu dengan gantungan 'Aurel' itu, ia menarik napas dan langsung membuka pintu dengan paksa.

"Kak Au...rel" Tiba-tiba saja suaranya mengecil. Padahal ia sudah bersiap-siap untuk meneriakinya. Saat melihat ada beberapa teman kakaknya di dalam dan terlihat sedang sibuk berdiskusi, pikirannya buntu.

"Eh Kiki, sudah pulang?"

"Adikmu?" Tanya seorang gadis berambut pendek pada Sang Kakak.

Gadis yang bernama Aurel itu mengangguk. "Iya" jawabnya. "Aku sudah menyiapkan strawberry ball ball di kulkas," kata Aurel sambil memandang Kiki yang terlihat beku di tempat. "Oh ya, sama biskuit bayi rasa kacang merah kesukaanmu itu juga ada di kulkas. Untung saja aku tidak kehabisan di pasar. Asal kamu tahu saja, aku sampai rebutan dengan ibu-ibu loh! Sepertinya belakangan ini angka kelahiran bayi sedang meningkat, ya."

Aurel menceritakan semua kejadiannya tadi siang tanpa rasa malu dan disaring-saring dulu.

"Adikmu suka biskuit bayi?" Katanya tak percaya.

"Iya, apalagi rasa beras merah. Dia—"

BRAK!!

Tiba-tiba pintu tertutup sangat kencang.

"Ya Tuhan! Kenapa aku bisa punya kakak kayak dia?" Gerutunya selama ia menuruni tiap anak tangga. Wajahnya semakin merah dan lagi-lagi ia kalah dari kakaknya.

Ia membuka pintu kulkas dan melihat isinya. Saat ada sekotak biskuit bayi di dalam itu, senyumnya perlahan mengembang dan rasa kekesalannya mereda sesaat.

"Biskuit bayi!"