webnovel

6. SEPUCAT LEMBAR KORAN

Nara membasuhkan air dingin kewajahnya beberapa kali. Rasanya jadi buruk berkat pertanyaan Alan. Bahkan, air dingin yang menusuki kulit tangan dan wajahnya jadi tak terasa.

Apa yang terlintas dalam benaknya adalah kalimat yang membuat Nara menarik nafasnya begitu dalam

"Family? what a joke."

Wanita dingin yang tinggal di mansion besar ditemani pelayan itu, mematikan kran dan diam menatap pantulan diri. Manik mata hitam pekat Nara begitu menghanyutkan dan sepi, "tch! Aku akan benar-benar jadi gila jika berada di sini lebih lama lagi."

Nara mengusap wajahnya dengan tisu. Langkahnya jadi terasa berat saat matanya menatapi bocah kecil cerewet yang terus berceloteh di hadapan ayahnya yang menyebalkan, "well, setidaknya pipi Joe enak dipegang," pelan ucap Nara yang kembali melangkah.

"What?" tanya Nara saat Joe terus menatapinya tanpa kata. Pengalaman yang langka sekali karena bocah cerewet ini, menahan ucapan.

"Nothing."

Namun, bukan bocah kecil itu yang menjawabnya, melainkan Alan yang langsung menyuapkan cheesecake pada Joe yang mengunyah cepat entah berlomba dengan apa.

"You know what, Joe. Kue-mu tak akan lari ke mana-mana, jadi makanlah dengan pelan," Nara mengusap cream lembut  dipinggiran bibir Joe yang mengangguk.

"Onty, boleh aku minta kue lagi, please."

'Please', tentu saja. Setidaknya Alan mengajari putranya manner. Nara mengangguk dan memanggil pelayan yang langsung datang saat melihat tangan Nara terangkat.

"Ada yang bisa saya bantu, Ma'am?"

Alan hanya memandangi interaksi pelayan dengan wanita dingin yang begitu sabar menghadapi putranya. Meski, well- dirinya mendapat lemparan bantal sebelum mereka berangkat tadi.

Duar...!! Duarr!!

Bunyi petasan yang nyaring disambut gembira berpasang-pasang mata yang melihat, begitupun bocah kecil yang berdiri dipinggir railing. Ia terus menatapi cahaya warna-warni yang berpendar, menambah kecantikan langit meski bau mesiu dan belerang tercium dan menyuar.

Sementara di tempat lain, bocah kecil yang duduk di pojok ruangan tak tertarik sama sekali dengan langit yang bercahaya. Bocah yang menutup rapat mulut merah nan basahnya itu, hanya menatap kosong ubin dingin yang coraknya berbeda dengan tempatnya tinggal.

Mulutnya yang bergerak tak mengeluarkan suara.

Ia bahkan tidak perduli pada seorang perawat yang menarik nafasnya dalam karena melihat mangkok berisi bubur masih utuh begitupun segelas susu coklat yang ada di atas meja.

"Kenapa kamu duduk di situ, Rei?"

Mendengar namanya dipanggil, bocah kecil yang duduk di pojok ruangan mendongak lalu berdiri. Pandangan mata tanpa cahaya di mata bocah kecil itu, membuat perawat tua mengingat cucunya di rumah yang pasti sudah terlelap meski meminta dibangunkan saat menyambut festival panen anggur.

Hari paling ramai di kota kecil yang penduduknya tak mengerti ada bocah kecil yang kehilangan suara karena melihat keburukan manusia yang menyebabkan satu-satunya sandaran hidup di dunia tiada.

Sekeras apapun Panggilan Rei, Cyntia tak membuka mata dan terus melayang di pintu dengan kursi yang jatuh di bawahnya.

"Kemarilah," Rei berjalan ragu tapi tetap mendekati perawat tua yang berlaku baik padanya, "kenapa kamu tidak makan? Apa perut kecilmu ini tidak lapar?"

Rei menatap tangan wanita tua yang mengusap perut kecilnya, "atau kamu ingin makan pisang?" Rei menggeleng pada pisang kuning yang kulitnya mengkilap di tangan wanita tua yang tersenyum lalu mengangkat tubuhnya yang kecil, "wow, apa mommy-mu sering menggendongmu? Ia pasti wanita kuat karena kau berat sekali."

Ucapan Rima membuat Rei diam mengingat sang mommy yang tak pernah datang selama apapun ia menunggu. Bibir Rei yang terbuka tertutup lagi tanpa diketahui perawat tua yang terus bicara-(Rima suka bicara-a lot- apalagi tentang cucunya) -- menghampiri ranjang keras tempat Rei tidur malam ini. Lagi.

"Tapi, maukah kau makan sedikit pisang sebelum tidur, Rei?" Pinta perawat tua yang tersenyum saat bocah kecil yang sudah duduk di atas kasur itu ahirnya mengangguk.

Dikupasnya kulit pisang di tangan lalu disuapkannya pada mulut kecil yang mengunyah ragu. Meski berkata sedikit, Rima terus menyuapi Rei sampai isi pisang habis dan hanya meninggalkan kulit.

"Setidaknya perut kecilmu terisi sebelum tidur, no?"

Rei hanya diam, tidak menanggapi kecuali menatap perawat tua yang membuatnya mengunyah habis satu biji buah pisang.

"Tidurlah, aku akan menemanimu sampai kau bermimpi."

Ri tetap sama, ia tidak memberi respon kecuali membaringkan tubuh kecilnya yang begitu kurang gizi, tapi perawat tua itu tak ingin mengatakan apa yang ia pikirkan apalagi pada bocah kecil yang datang bersama polisi lalu tinggal di tempat ia bekerja.

Rei memiringkan badan kecilnya menghadap tembok putih gading, bocah kecil yang terus menutup rapat mulutnya itu bahkan tak menoleh pada ucapan selamat malam perawat tua yang mengusap kepalanya pelan.

"Semoga mimpimu baik malam ini, Rei."

Rima menghampiri saklar, ia urung mematikan lampu lalu keluar menutup pintu. Nafasnya terasa berat menatapi nampan utuh yang makanannya sama sekali tak tersentuh.

Utuh dan mendingin.

"Bagaimana?" Tanya Roxanne pada Rima yang ahirnya terlihat setelah berkata ingin memeriksa bocah kecil yang datang bersama polisi. Rima yang mengangkat bahu, membuat Roxanne menghembuskan nafasnya keras.

"How about you, bisa menghubungi walinya?"

"Naah, wanita itu bahkan tak ingin mengangkat teleponku?"

"Dan darimana kau tau itu?"

"Oh, come on, Rima, bahkan orang bodoh tau jika teleponmu di-reject tiap waktu itu artinya ditolak."

"I wonder what will happen?"

"Apalagi? Pilihannya tinggal panti atau orang tua asuh."

Mendengar itu Rima menatap tajam wanita yang usianya sama dengan dirinya, hanya saja Roxanne lebih modis karena mengecat rambutnya dengan warna merah terang menyala begitupun kukunya yang terawat. Namun, kulit Roxanne yang keriput tak bisa membohongi usia.

"Kau pikir tempat itu cocok untuk anak malang itu, heh?"

"Oh, come on. Apa kau mau merawat anak yang kata-mu malang itu, Rima? Aku tau sesabar apa Sally-(anak perempuan Rima yang tinggal serumah)- pada cucumu."

Mendengar itu Rima tidak emosi karena ucapan apaadanya Roxanne itu benar. Tapi tetap saja, jika ada tempat yang lebih baik dari dua pilihan tadi, itu akan lebih baik untuk Rei-bocah kecil yang mereka katai malang.

"Tapi aku sungguh tak menyangka dengan apa yang kudengar."

"Memang apa yang kau dengar? Dan dari siapa?"

"Matty."

"Dan kau percaya pada ucapan pencari perhatian sepertinya?"

"Setidaknya ia mau menguping pembicaraan polisi dan dokter Carter. Meski, tentu dengan bumbu agar lebih menarik."

"Oh you sick if you think like that, Roxanne. Apa yang menarik dari wanita yang bunuh diri karena-" Rima menghentikan ucapan saat melihat seseorang masuk lalu menyapa dua suster jaga yang tak lagi muda itu.

"Bagaimana kencanmu, Dokter Carter?" Tanya Roxanne pada lelaki muda yang mengisi daftar hadirnya.

"Terrible, Roxanne, but your smile make it better."

"Ow, what a sweett talker you are, Young Man," balas Roxanne yang mendapat senyuman disertai kedipan mata dari Carter.

"Paling dia tak berhasil mengajak teman kencannya berahir di ranjang," ucap Roxanne pelan saat punggung dokter muda itu menghilang di dalam lift.

Wanita berambut merah itu, melambaikan tangannya dengan senyum pada Carter yang tak perlu mengatakan ia mendengar ucapan wanita yang memang blak-blakan itu, apalagi di balik punggung seseorang.

"Jangan samakan semua orang denganmu, My friend," ujar Rima membuka komputer.

"Apa yang kau lakukan?"

"Apa yang harus kulakukan, tentu."

"But, that's illegal."

"Selama kau tutup mulutmu dan tetap berdiri di situ, tak akan ada yang tau apa yang kulakukan."

"Shit, Rima! Kau benar-benar akan menjemput nyawaku sebelum waktunya!"

Seruan tertahan Roxanne, melirik CCTV yang menyala lalu melambai pada siapapun yang dapat tugas mengawasi malam ini.

"Well, setidaknya kau mengenali wajah malaikat mautmu, My friend."

Roxanne hanya menarik nafas dalam tak percaya, lalu menatapi layar komputer yang membuat dahinya berkerut, "I know her."

"Who?" Tanya Rima mengalihkan pandangan dari layar komputer dan menatap telunjuk-no no no- bukan telunjuk Roxanne, tapi nama yang ditunjuk jemari berkuteks merah terang itu.

"Oh, come on, Rima. Aku tau satu dari mainan cucumu pasti milik Larson's."

Rima menatap Roxanne tak terima, "for your information, Roxanne, tetanggaku tak ada yang bernama Larson's."

Balasan Rima membuat Roxanne menepuk jidatnya yang kencang berkat botox, "aku tidak sedang membicarakan tetanggamu, Darling. Tapi, Larson's. Satu dari pabrikan maianan terbesar di negaramu ini."

Mendengar itu Rima jadi diam membaca apa yang ditunjuk jemari Roxanne tadi, "Narasi Jinya Larson. But who is she?"

"Oh My God, apa kau tinggal di gua sampai tak tau siapa Larson's?" Rima makin mengernyitkan dalam dahi tuanya pada ucapan Roxanne, "tapi, ada hubungan apa anak malang itu dengan keluarga bilyuner ini?"

"What? Bilyuner? Maksudmu... Bilyuner?" Rima mengulang ucapannya sementara Roxanne memutar bola mata.

"Yeah, yeah, kau tau-lah. Orang kebanyakan uang yang bisa membeli jet dan pulau pribadi hanya dengan jentikan jari," ejekan Roxanne membuat Rima tertawa. Begitupun sang pemilik ucapan lalu sama-sama menatap layar komputer.

"Ini aneh, kau tahu," ucap Rima masih menatapi layar komputer, "tidak ada jejak apapun lagi selain nama bahkan tak disebutkan apa hubungan antara Rei dan Larson ini."

"Let me search her in my phone," Roxanne menyambar ponsel, jemarinya mengeser-geser layar sentuhnya cepat dengan pandangan mata fokus lalu menggeleng, "I found nothing. Hanya jamuan yang dihadiri meski potretnya buram. Aku ingin tau seberapa banyak uang yang jalang kaya ini keluarkan untuk membungkam media."

"Dan kau jalang miskin sok tau, Roxanne."

Roxanne mengangkat bahunya lalu menatap Rima yang memperhatikan, "mungkin namanya saja yang sama," kata Roxanne menyerah dan meletakan ponselnya kembali.

Wanita tua yang tetap ingin tampil modis meski sudah uzur ini, menarik dalam nafasnya, "tidak mungkin anak malang itu memiliki hubungan dengan jalang bilyuner, bukan? sementara anak itu hidup sengsara," ucap Roxanne membuat Rima menggigit bibirnya.

Entah mengapa, ucapan Roxanne yang masuk akal itu mengganggu batinnya.

"Well, mungkin kau benar," balas Rima mematikan komputer, mengingat sorot mata bocah kecil bermata biru yang kehilangan cahaya.

'What a poor kid.'

*

Langkah Nara terhenti. Ia manatapi sampul koran dengan wajah yang membuat tangannya meraih lembaran kertas yang sedang dibaca pria tinggi di samping pintu keluar.

"What-?" Kaget, orang itu menatapi wanita yang mengambil koran yang ia baca tanpa permisi ataupun tanya.

Alan yang melihat langsung meminta maaf, sementara wanita yang jadi diam kaku di atas kakinya ini memegangi kertas yang diremas tangannya kuat-kuat.

"What happen, Nona Larson? Murder and suiside-"

Belum selesai Alan membaca judul halaman berwarna hitam tebal itu, tangan Nara sudah menjatuhkan lembaran koran yang diterbangkan angin. Beberapa orang mengeratkan jaket mereka dengan umpatan karena angin menusuk yang bahkan terasa begitu dingin.

"Wait! Kau mau kemana? Larson? Larson! Nara!" seru Alan langsung membopong Joe yang melingkarkan tangan kecilnya di leher sang ayah yang berlari cepat, menusul wanita yang wajahnya jadi pucat menghentikan taxy-taxy yang sudah terisi.

"Tak akan ada taxy kosong di musim seperti ini, Nara," ucap Alan memegangi tangan wanita dingin yang benar-benar jadi dingin-tangannya- "kau mau kemana? biar kuantar."

Alan menyentuh wajah bermasalah wanita yang wajah dinginnya masih saja pucat. Jadi, apa yang ia lihat tadi bukan karena pengaruh cahaya ataupun angin dingin yang berhembus, "come on, ini malam festival, tak akan ada taxy kosong yang bisa kau tumpangi, Nona Larson."

Alan memberikan senyumnya pada Nara yang jadi diam tapi, menatapnya, "kau mau ke mana? Nara?" Tanya Alan mengusap pipi dingin wanita yang nafasnya mengepul putih meski tubuhnya sudah terbungkus jaket hangat.

Hatchi! Hatchi! Hatchi!

Suara bersin Joe, membuat Nara sadar. Pikirannya yang jadi kosong seolah kembali dan menatapi wajah lelaki yang masih menyentuh pipinya dengan pandangan yang-- entahlah.  

"Kita- ... lebih baik kita pulang," ucap wanita dingin yang wajahnya jadi SEPUCAT lembar koran yang terbang dibawa hembusan angin dingin yang menusuki tulang.