Apa yang ingin kalian ketahui tentang makan malam membosankan itu? Aku rasa dalam makan malam itu cuma Emi yang excited. Tapi seperti perintah Rio, aku berusaha untuk bahagia. Dan Rio pun memainkan perannya dengan maksimal. Sesekali dia menceritakan pertemuan pertama kita, sesekali dia mengumbar kebaikanku yang jelas gak pernah aku lakukan. Dan sesekali dia menatapku dengan penuh cinta. Seolah-olah kami dua sejoli yang dimabuk asmara. Agak risih juga aku terlalu mendapat perhatian seperti itu dari Rio. Akhirnya aku memutuskan untuk izin ke kamar mandi. Aku butuh menghirup udara segar. Karena udara di sekelilingku terasa pengap sekali. Di dalam kamar mandi aku gak melakukan apa pun selain menatap bayanganku di cermin. Menghirup dan menghembuskan nafas keras. Pikiranku sedang kacau. Moodku sedikit berantakkan. Pertemuan dengan Andri seolah membuka luka lama yang sudah tertutup namun belum mengering. Sebisa mungkin ku normalkan rasa hatiku. Ku buka keran di depanku dan membasuh tanganku. Terpaan air dari keran menyejukkanku hingga ke kepala. Ku keringkan tanganku yang basah dengan tisu lantas ku ambil bedak dan lipstick dari dalam tasku. Ku poles sedikit hidungku yang mulai berminyak dan ku oleskan lipstick pada bibirku yang mulai pucat karena kehilangan warna. Setelah mereasa sedikit lebih segar, aku memantapkan hati untuk keliar menghadapi kenyataan. Ku hembuskan nafas keras ketika keluar dari kamar mandi. Namun seketika kakiku berhenti bergerak saat kutemukan Andri bersandar di dinding luar kamar mandi. Untuk sepersekian detik kami hanya saling pandang. Sebelum kemudian kualihkan tatapanku dan kembali melangkah. Tapi lagi-lagi langkahku terhenti ketika kurasakan Andri mencengkram lenganku dan membutat tubuhku menghadapnya. Kuhempaskan tangannya dengan spontan.
"Loe ngapain sih di sini? Gak pantas loe tinggal Emi sendirian."
"Le." Hanya satu sylabel itu yang diucapkan Andri untuk pertanyaan tajamku. Untuk beberapa saat dia hanya menunduk diam.
"Kalau gak ada yang mau diomongin gue balik. Rio nungguin." Ujarku. Baru saja aku memutar tubuhku, sekali lagi Andri menahannya. Sekali lagi pula aku menghempaskan tangannya. Pandangan mata kami bertumpuk. Pandangan sesal milik Andri. Pandangan kesal milikku.
"Kamu apa kabar?" Tanyanya pada akhirnya. Kamu. Sedikit gerah aku mendengarnya menyebut kata itu.
"Seperti yang loe lihat. Gue baik-baik saja. Sangat baik malah." Sebisa mungkin ku tahan emosiku agar terlihat tetap tenang di depannya. Dia membasahkan bibirnya dengan lidahnya sebelum kembali berkata.
"Kamu berubah ya."
Aku mendengus mendengar pernyataannya.
"Setiap orang pasti berubah Ndri. Kalau dia gak berubah, artinya dia gak belajar dalam hidupnya. Kamu aja bisa berubah kan? Cepat lagi prosesnya." Tikamku. Andri menghembuskan nafasnya dengan keras. Kemudian, entah mendapat keberanian dari mana, dia menyentuh tanganku. Sentuhannya sangat hati-hati. Membuat aku menjadi membisu dan mematung. Tangannya terasa hangat ketika tubuhku mendingin. Kemudian, selangkah dia memajukan tubuhnya. Matanya lurus menatapku.
"Bertahun-tahun aku merasa bersalah Le sudah ninggalin kamu. Bertahun-tahun aku menyesal untuk semua yang sudah aku lakuin ke kamu. Aku minta maaf Le." Sesalnya. Ya, aku tahu dari matanya, Andri sangat menyesal dengan apa yang sudah dilakukannya. Tapi tetap saja, ketika aku mengingat bagaimana seluruh hatiku dulu keserahkan untuk dia sepenuhnya, kemudian dengan ringannya dia main hati dengan perempuan lain. Perempuan yang nyatanya adalah sahabatku sendiri. Bukankah semuanya jadi terasa sulit untuk dimaafkan?
"Kenpa baru sekarang?" Tanyaku dengan nada suara yang berusaha terdengar tenang. "Apa harus butuh waktu bertahun-tahun buat loe menyadari semuanya?" Kuberanikan diri menatap matanya untuk mencari jawaban. Sayangnya, aku masih saja bergetar saat menatap ke dalam mata Andri. Kualihkan pandanganku ketangan kami, untuk kemudian Kutarik tanganku perlahan. Tapi Andri tetap menahannya.
"Maafin aku Leah. Apa yang harus aku lakuin supaya kamu maafin aku? Aku akan lakuin semuanya buat kamu."
Sial. Nyaris saja aku tertawa mendengar jawaban Andri. Ku palingkan wajahku sejenak untuk menahan emosi yang bergejolak. Apa gunanya sekarang? Untuk sekadar membuat dia meringankan rasa bersalahnya?
"Ck. Ya sudah lah ya Ndri. Sudah bertahun-tahun. Sudah gak ada gunanya. Yang harus loe lakuin sekarang, jangan pernah ngulang kesalahan yang sama ke Emi." Ancamku tulus dari hati. Aku gak mau Emi merasakan apa yang aku rasakan dulu. Aku memutar tubuhku hendak meninggalkan Andri ketika dia berujar,
"Kamu bisa maafin Emi, kenapa aku gak?"
Aku menutup kedua telingaku, gerah dengan sebutan aku-kamu yang Andri sebutkan. Kembali aku menghadap Andri dan menatapnya tajam.
"karena Emi minta maaf." Ujarku. "Loe pernah minta maaf? Coba loe ingat-ingat deh. Loe pernah gak minta maaf? Loe cuma pergi tanpa penjelasan seenak loe seolah gak pernah ada apa-apa di antara kita. Seolah gak pernah ada kesalahan yang loe lakuin. Dan sekarang setelah beratahun-tahun berlalu loe baru berani datang minta maaf? Setelah semua rasa sakit hati yang susah payah gue lawan untuk melupakan loe. Loe, laki-laki paling pengecut yang pernah gue kenal."
"Aku bingung Le." Andri kembali mendekat. "Aku bingung gimana menjelaskannya."
"Waktu itu aku beneran sayang sama kamu. Perasaan aku tulus ke kamu. Tapi aku juga gak bisa...
"Waah." Kami berdua spontan mengalihkan pandangan. Di ujung lorong sana, Rio tengah berdiri menatap kami berdua. Lebih tepatnya menatap Andri. Diam-diam kurasakan langkah Andri menjauh. Sementara langkah Rio mendekat dan melingkarkan tangannya di punggungku. Aku sedikit tersentak ketika Rio menarik tubuhku lebih dekat kesisi tubuhnya. Aku masih menatapnya tak berkata-kata.
"Kami tungguin dari tadi ternyata kalian di sini?" Ujar Rio lebih kepada dirinya sendiri. Kemudian tatapannya mengarah padaku. Dia tersenyum. Senyuman yang membuat aku tereperangkap di matanya.
"Kok kamu lama sih? Kasihan Emi nungguin." Seketika aku tersadar. "Oh itu..." aku tak tahu harus menjawab apa ketika pikiranku terdistraksi oleh senyuman itu. "Eh kayaknya aku salah nanya ke orang ya Le?" Rio meminta persetujuan. Kemudian tatapannya beralih ke Andri. "Loe kok lama banget sih? Kasihan si Emi nungguin. Lagian, loe kok malah nyasar ke toilet cewek sih?" Rio beralih menatapku dan Andri secara bergantian.
"Apa masih ada yang belum selesai di antara kalian?" Tatapan mata Rio seketika berubah serius. Dia meminta jawaban dari Andri yang terlihat sedikit salah tingkah. Aku tahu, Andri paling benci dianggap perebut
"Setahu gue urusan loe sudah kelar sama cewek gue?"
"Sorry, gue gak maksud buat ganggu cewek loe." Ujar Andri terlihat tulus. Untuk beberapa detik berlalu, Rio hanya diam menatap Andri sementara kurasakan cengkraman Rio di bahuku semakin erat. Tidak ada percakapan apapun lagi yang keluar di antara kami, sampai akhirnya Rio kembali angkat bicara.
"Emi nungguin loe. Mending loe balik sekarang dari pada dia mikir yang gak-gak. Gue masih bisa percaya sama perempuan gue, gak tahu Emi." Saran Rio. Jujur, aku sedikit merasa senang Rio mengatakan itu. Sebelum benar-benar pergi, Andri sempat menatapku sesaat. Singkat saja. Hanya sepersekian detik sebelum kemudian dia berlalu dari hadapan kami. Melewati tubuh Rio.
"Ndri." Aku sempat terkejut ketika mendengar Rio menyerukan nama Andri. Kami yang masih dalam posisi memunggungi Andri. Rio lantas melepaskan rangkulannya dan muntar tubuhnya. Dalam posisi kami yang bersisian namun saling membelakangi. Samar-samar kurasakan genggaman tangan Rio di telapak tanganku. Lebih hangat dari genggaman tangan Andri.
"Thanks, loe udah ngelepasin Leah." Ucap Rio. Seketika membuat membuat jantungku berdetak lebih cepat. Ku tatap tanganku yang mengecil dalam genggaman Rio. Samar ku dengar langkah Andri yang menjauh.
***