Sepanjang perjalanan gak satu pun dari kami angkat bicara. Rio nampak sibuk dengan pikirannya sendiri. Tampak jelas dari raut wajahnya yang kuintip dari balik punggungnya di dalam spion. Ada yang ingin ku katakan. Tapi takut mengganggu konsentrasinya yang sudah terpecah. Sampai pada akhirnya motor yang kami tumpangi berhenti di depan rumahku. Rio menurunkan standarnya. Tapi gak satu pun dari kami yang bergerak. Rio tetap pada posisinya, hanya sebelah kakinya saja yang turun menopang motor. Sementara aku masih tetap duduk di atas motornya.
"Kita udahin aja ya Yo semua ini." Gumamku memecah keheningan di antara kita. Rio menoleh sedikit menghadapku di balik punggungnya.
"Loe mau menghancurkan kebahagiaan keluarga gue dalam semalam?" Tanyanya datar. "Loe udah janji sama ibu akan datang lagi." Aku lantas turun dari boncengannya dan bersandar pada tubuh motor.
"Kebahagiaan mereka memang semu sejak awal, Yo. Dan gue gak mau harapan keluarga loe atas hubungan kita semakin besar. Mereka semua orang baik, Yo dan gue gak mau mengecewakan orang yang sayang sama gue untuk kedua kalinya." Tanpa bisa ku kontrol lagi, suaraku mulai bergetar. Rio lantas memutar tubuhnya turun dari motor dan menatapku. Kuhembuskan nafas keras dan membuang wajahku darinya. Sial. Aku gak mau Rio menganggapku lemah.
"Loe tertekan sama semua ini?" Tanya putus asa. Aku kembali menatapnya dan menggeleng lemah.
"Gue cuma gak mau ngerasa bersalah lagi." Jawabku.
"Lagi?" Tanya Rio meminta penjelasan lebih.
"Loe tahu kan gimana rasanya merasa bersalah atas kehilangan seseorang?" Aku menggantung kalimatku. Untuk pertama kalinya akhirnya aku harus menceritakan semua beban yang ku rasakan selama ini. Biar lah. Biar Rio tahu alasan keenggananku melanjutkan semuanya.
"12 tahun lalu, gue harus kehilangan ayah gue, Yo. Dia pergi tanpa ada gue di sampingnya. Dia pergi dalam kondisi gue marah sama dia. Gue gak mau percaya sama dia dan bahkan dengan jahatnya gue menganggap dia perusak keluarga kami. Di saat semua orang menjauhi dia, gue ikut-ikutan. Di saat semua orang membenci dia, gue orang yang seharusnya percaya sama dia, mensuport dia, justru malah ikut-ikutan. Gue gak tahu gimana kecewanya ayah gue dengan sikap kekanak-kanakan gue. Sampai pada akhirnya, disaat dia pergi gue harus terima kenyataan gue menjadi orang paling bodoh yang mengecewakan dia. Dia pergi tanpa gue di sampingnya. Bertahun-tahun gue menyesal bahkan sampai detik ini. Dan gue gak mau kesalahan konyol itu terulang lagi. Gue gak mau ninggalin orang yang sudah percaya sama gue. Gue gak mau ngecewain orang yang sudah menaruh harapan sama gue. Itu sebabnya gue gak mau nyakitin keluarga loe. Mereka orang baik Yo bahkan di hari pertama gue kenal sama mereka, mereka sudah menerima gue tanpa ragu. Mereka berharap besar sama loe Yo, loe tega ngancurin semuanya?" Tutupku dengan sebuah pertanyaan menusuk. Tapi Rio, dia terlihat tetap tenang. Menghembuskan nafas lewat mulutnya sebelun menegakkan berdirinya dan menatap gue.
"Itu mangkanya gue minta bantuan sama loe. Karena gue tahu gue gak bisa kasi yang mereka mau. Harapan gue itu beban buat gue Le."
"Tapi bukan kayak gini caranya Yo."
"Terus kayak gimana? Dengan mengakui semuanya dan menghancurkan harapan besar mereka, gitu."
Kesal rasanya.
"Duh gini deh Yo ya, kita break dulu. Kita pikirin dulu ini semua matang-matang karena gue rasa kita ngambil keputusan ini tanpa pikir panjang. Gue takut Yo. Gue takut ngambil risiko nyakitin hati orang."
"Biar gue yang tanggung jawab."
"YO!" tegasku mulai tak biaa menahan kesal. Kami berdua mendadak terdiam. Sama-sama meredam emosi yang bergejolak.
"Udah deh. Mending loe pulang aja dulu. Loe pikirin semuanya. Kalo loe masih tetep kekeh untuk nyakitin perasaan keluarga loe, oke gue akan ikut permainan loe. Gue akan tanggung semuanya." Ku tinggalkan Rio begitu saja.
"Le."
Tak ku pedulikan lagi panggilannya.
Aku benar-benar gak mengerti kenapa harus serumit ini. Seharus sejak awal aku sudah tahu bahayanya memainkan perasaan orang. Bahayanya bermain dengan orang yang menaruh harapan padaku. Ah, egosikah aku? Saat Emi sudah masuk ke divisi Rio, aku malah berniat meninggalkannya. Mengabaikan perjanjian kami. Ya Tuhan. Sepertinya aku juga butuh memikirkan semuanya. Sialnya, aku tidak memiliki siapa-siapa untuk membicarakan ini