Clara menatap pantulan dirinya di cermin. Dia sudah begitu cantik dan mempesona dalam balutan gaun pengantin strapless yang membuat lekukan tubuhnya yang langsing tidak dapat disembunyikan, terdapat jahitan berpola hati di seluruh gaun putih yang menampilkan bahu mulusnya itu. Gadis yang sudah menjadi seorang istri dari Nathanael William Rudolf itu sudah siap turun ke bawah untuk menyambut tamu dan mempelai pria yang sudah menunggu di ballroom hotel.
"Ehmmm ...." terdengar seseorang bersuara, membuat Clara menoleh ke belakang dan melihat ada Patricia yang datang menghampirinya.
"Patricia ..."
"Cantik ... tidak heran jika Nathan lebih memilih mu daripada aku," ucap Patricia dengan tersenyum sinis.
Clara menatap patria yang mulai membahas tentang persaingan cinta mereka. "Patricia ... Tolong jangan membahas masalah ini lagi. jangan mengusik kebahagiaanku dengan Nathan setelah kamu menggunakan putrimu sebagai senjata mu untuk mendapatkan nya. Bagaimana pun kamu berusaha, Kamu tidak akan pernah bisa memisahkan kami!" serunya dengan tegas.
"Hmm aku emang tidak pernah menggunakan putriku sebagai alat untuk merebut Nathan darimu. Kamu yang terlalu bodoh ... kamu tetap mau menikah dengannya meskipun dia sudah pernah memperkosa aku hingga membuat aku hamil ... di sini aku adalah korban. Seharusnya kamu sadar bahwa dia yang harus menikah denganku, bukan kamu!" seru Patricia dengan geram, mendorong Clara hingga tersudut pada meja rias.
"Patricia, kamu tidak berhak menghakimi Nathan, karena dia tidak pernah sengaja memperkosamu ... saat itu dia mabuk!" seru Clara dengan kesal.
"Mabuk, kurasa dia tidak mabuk! Kurasa dia sengaja, karena dia ingin merusak masadepanku!" sahut Patricia masih kekeuh menyalahkan Nathan. "Seharusnya dia bertanggungjawab atas perbuatannya padaku, bukan malah menikah denganmu! Seharusnya kamu sadar bahwa yang berhak atas dirinya adalah aku dan anak kami, buka kamu!"
"PATRICIA!" seru seseorang dari pintu.
Seketika Clara dan Patricia menoleh ke arah pintu, dan melihat Nathan yang berjalan kearah mereka dengan tatapan begitu marah. Pria tampak berwibawa dalam balutan setelan tuxedo berwarna putih dengan dasi kupu-kupu, namun jadi terlihat sangar karena sedang marah.
"Jangan pernah ganggu istriku atau kamu akan aku usir dari rumahku!" seru Nathan dengan geram menarik Patricia supaya menjauh dari Clara. Dia beralih menatap Clara yang terlihat tertekan. "Sayang, apa yang sudah dia lakukan padamu, apa dia menyakitimu?" tanyanya.
"Tidak, aku tidak apa-apa," jawab Clara sambil menggeleng meyakinkan. "Lebih baik kita ke pesta sekarang. Aku yakin banyak teman-teman kita yang sudah datang menunggu kita," lanjutnya.
"Okay, lebih baik memang begitu daripada meladeni wanita licik sepertinya," sahut Nathan melirik Patricia dengan penuh kebencian.
"Sudah, jangan dipermasalahkan lagi. Aku tidak apa-apa," seru Clara kemudian segera merangkul lengan kiri Nathan, lalu mengajaknya berjalan menuju keluar kamar yang bernuansa putih itu.
Patricia menatap benci pada Nathan dan Clara. Wanita yang mengenakan gaun berwarna merah dengan pundak terbuka dan belahan paha itu mengepalkan tangannya, seolah ingin memukul mereka namun dia tidak bisa melakukannya, karena posisinya benar-benar tidak aman.
"Lihat saja, aku pastikan mama akan membuat malam ini menjadi malam terburuk untukmu, Nathan!" Ucapnya geram. Hemm ... apa yang sedang direncanakan oleh ibunya?.
----
Nathan dan Clara berjalan menyusuri koridor hotel hingga tiba di sebuah tangga yang mengarah pada ballroom yang sudah didekorasi begitu cantik bertemakan putih pantai dan sudah ramai oleh para tamu undangan. Pria itu menuntun istrinya menuju ke tengah aula, tepat di bawah lampu hias yang tergantung begitu indah berwarna putih keemasan.
"Lupakan kejadian yang terjadi tadi, dan sekarang berdansalah denganku, Sayang," ucap Nathan sembari mencium punggung tangan kanan Clara.
Clara melirik sekeliling begitu banyak tamu dari kalangan konglomerat, memperhatikan kebersamannya dengan Nathan, kemudian dia menarik napasnya dalam-dalam, lalu menghembuskan perlahan. Dia pun mengangguk dan Nathan segera menarik pinggangnya hingga tubuh mereka sangat berdekatan dengan kening saling menyatu.
"Jangan perhatikan mereka. Terus tatap mataku dan anggap saja hanya ada aku dan kamu ... aku tidak suka kamu menatap mereka, karena kamu milikku, duniamu hanya boleh terpaku padaku," seru Nathan dengan erangan rendah.
Clara mengangguk pelan dan segera merangkulkan tangannya ke leher Nathan, yang perlahan bergerak pelan seiring dengan alunan lagu milik Taylor Swift yang berjudul Lover, mulai menggema di ballroom yang megah itu.
Sesekali Clara berputar dan langsung jatuh ke dalam pelukan Nathan, hingga Nathan menunduk mencium bibirnya untuk sekejap dan para tamu pun bersorak. Clara yang masih malu-malu, hanya dapat menyembunyikan wajahnya ke dalam dada Nathan yang bidang. Kebahagiaan sungguh terlihat di wajah mereka sebagai pengantin baru, tanpa memperdulikan orang-orang yang menatapi mereka.
Dari kejauhan tepatnya di tempat hidangan tersedia, Liora yang merupakan ibu dari Patricia, menatap benci pada kebersamaan Nathan dan Clara. Bahkan dia membenci seluruh orang-orang yang terlihat bahagia dengan kebersamaan mereka, karena sesungguhnya Dia sangat ingin Nathan menikahi Patricia supaya dia bisa terus hidup dalam kemewahan dibawa naungan kekayaan keluarga Nathan yang merupakan keluarga besar almarhum suaminya.
'Lihat saja, dalam waktu beberapa menit aku akan membuat kalian tidak akan bahagia, bahkan kebahagiaan kalian akan berakhir,' batinnya dengan tersenyum licik. Entah apa yang akan dia lakukan, sepertinya dia adalah wanita beracun.
___
Di dalam sebuah mobil berwarna merah yang dikemudikan oleh supir, Casey duduk termangu sambil menatap ke arah jendela, menatapi suasana malam yang gemerlapan oleh lampu-lampu yang menerangi jalanan, kendaraan ataupun bangunan-bangunan sekitar.
"Bahkan sampai sekarang dia belum menghubungi aku lagi," gumam Casey sambil menatap ponselnya yang sejak tadi dia pegang, dipangkuannya. Gadis berusia 25 tahun itu sudah terlihat begitu anggun dalam balutan gaun berwarna biru gelap dengan pundak kanan terbuka, terdapat belahan paha bagian kanan dan memoles wajahnya dengan make up agak tebal. Dia juga memasangkan penjepit rambut berbentuk kupu-kupu di bagian atas telinga kanannya, memakai parfum beraroma blossom dan heels merah setinggi 13 cm yang pasti akan membuatnya lebih tinggi dan elegan.
"Nona, sepertinya rem mobil ini blong," ucap sang supir dengan panik.
Seketika Casey mengerutkan keningnya, menatap ke depan di mana supirnya sedang mengendalikan mobil merah itu.
"Blong, apa maksudmu ... Rem tidak berfungsi?" tanyanya panik sambil berpegangan karena mobil itu mulai oleng.
"Iya, ini samasekali tidak berfungsi!" jawab sang supir dengan panik, mencoba mengendalikan mobil itu semakin bergerak cepat karena berada di jalan temurunan, bahkan akan mencapai sebuah jembatan.
"Ya Tuhan. Gimana ini?"
"Nona, mobil ini semakin tidak bisa dikendalikan!"
"Ben, lakukan sesuatu!" seru Casey panik.
Supir bernama Ben itu terus mencoba mengendalikan mobil Casey, meliuk-liuk menghindar kendaraan lain di depannya hingga akhirnya tak bisa terkendali lagi karena jalanan cukup ramai.
Brakk .... Brakkk
Mobil itu terguling selama beberapa kali hingga akhirnya berhenti menabrak pembatas jembatan dengan kondisi terbalik dan pintu yang terbuka. Casey tidak sadarkan diri dengan kondisi kepala yang bersimbah darah, bahkan bagian kemudi di mana supirnya berada sudah ringsek dan sudah dapat dipastikan bahwa supirnya tewas.
'Clara ... sepertinya aku tidak bisa menyaksikan kebahagiaan mu ... atau mungkin itu lebih baik karena aku tidak ingin merasa iri ... karena kehidupan ku dipenuhi kemunafikan dan penderitaan batin,' batin Casey saat kembali sadar dan merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Matanya terpejam, membayangkan saat-saat indah bersama Michael. 'Mungkin jika aku mati, kamu bisa lebih menghargai waktu, meluangkan waktu dengan orang yang menyayangimu daripada pekerjaan mu ...'
Perlahan ... Casey kembali tidak sadarkan diri hingga pengendara lain, tim kepolisian, pemadam kebakaran dan ambulan datang memberinya pertolongan.