Bulan di langit membulat sempurna saat Binar tiba di bandara. Pukul dua puluh dua, dua jam sebelum penerbangan terakhir. Seperti biasa, gadis itu selalu datang lebih awal. Kuliah, seminar, absen asrama, apa pun acara yang disukainya. Itulah mengapa ia kerap menjadi teladan di antara banyak temannya. Hanya saja wisudanya mundur satu pekan dari rencananya. Masalah administrasi Masalah yang seharusnya tidak terjadi dan membuatnya pulang sendiri seperti malam ini.
Lagu Number One for Me milik musisi kenamaan Lebanon Maher Zain mengalun melalui earphone. Sesekali ia ikut bernyanyi, meski lirih. Lagu yang belakangan jadi konsumsi telinganya itu berkisah tentang seorang anak dan ibu yang dicintainya. Sesekali juga ia mendengus, teringat ibunya.
Namun belum sampai seperempat bagian, tiba-tiba lagu berhenti, digantikan dengan panggilan masuk yang memenuhi layar ponselnya. Bintang Danadyaksa dengan emotikon bintang bersinar.
"Seratus sepuluh menit lagi, nih. Waalaikumsalam warahmatullah."
"Udah di bandara 'kan tapi?" tanya suara di seberang.
"He'eh. Sendirian."
"Maaf dan sabar ya, Bibin." Si pemanggil tertawa, "Nunggu lama gitu sambil ngapain?"
"Dengerin lagu, liat snapgram, buka grup chat, liat snapgram lagi, foto iseng, ngemil. Ngapain lagi?" sahutnya dengan suara sedih dibuat-buat. "Oh ya, aku pemaaf dan penyabar, jadi jangan khawatir."
"Oke, Nona Maaf bin Sabar. Sekarang buka chat deh, barusan aku ngirim foto masakan bikinanku. Pantengin aja 'kan lagi gabut."
Binar tak menyahut, sibuk membuka foto yang dimaksud Bintang.
"Bagus ngga tampilannya?"
"Hmm, lumayan." Binar terdengar menggoda.
"Ckckck. Udah susah payah gini masih dibilang lumayan? Parah, sih."
Binar tertawa. Ia bisa membayangkan wajah kesal Bintang saat ini: dua mata agak sipit yang miring ke samping, alis terangkat sedikit, dan hidung mengembang. Wajah kesal yang jarang dilihatnya lagi selama lima tahun terakhir, secara langsung.
"Omong-omong, aku mau ngomong, Bi," ucap Bintang setelah beberapa detik hening. "Warung rame banget. Aku sampe berani rekrut pelayan baru."
Pembicaraan beralih. "Beneran? Aduh keren banget sih!"
Tawa Bintang terdengar lagi. Kali ini diikuti suara keramaian yang sangat jelas. Tampaknya benar-benar banyak pengunjung.
"Omong-omong juga, Lung, aku kepikiran Fehim alih-alih Ayah di rumah."
"Hmm, dia nganterin sampe bandara?"
Binar menyahut, "Iya, sama baba dan mamanya, pake mobil pribadi jauh-jauh dari rumah. Emang aku pantes ya, Lung, ditangisin kayak gitu? Aku ngga tega."
Entah tawa Bintang yang keberapa. Lelaki dua puluh tujuh tahun itu selalu gagal mengontrol tawanya saat berbincang dengan Binar, adik semata wayangnya. "Situ ngga nangis?" tanyanya kemudian.
"Sesek gitu, sih, dadaku. Tapi ngga bisa nangis. Ah, udahlah. Padahal Jigeum-mu lagi rame-ramenya, sempet banget nelpon. Sggh." Binar mendengus. "Aku matiin, daah!"
Binar memutus panggilan sepihak meski masih banyak hal yang selalu bisa diobrolkan berdua. Ia merasa ini bukan waktu yang baik. Bintang harus mengurus Jigeum-nya yang baru tiga bulan buka itu agar lebih banyak pengunjung.
"Tabunganku udah cukup". Binar mengingatnya dengan jelas saat Bintang mengatakannya di telepon tiga bulan yang lalu. Empat tahun dari teknik mesin universitas negeri ternama Indonesia, tiga tahun dengan jurusan sama di universitas ranking sepuluh besar Korea Selatan, dan diterima bekerja di perusahaan otomotif terkenal di Seoul. Bukankah itu cukup untuk dikatakan keren? Tapi Bintang, kakak lelaki yang berwajah sama sekali tak mirip dengannya itu justru membicarakan tabungan yang cukup dan rencana membuka kafenya sendiri, maka begitulah akhirnya Jigeum berdiri.
"Sulung memang mirip ibumu. Dukunglah." Binar berdecak kesal. Wajah tampan sekaligus juga jenaka milik Bintang berubah menjadi wajah tegas namun hangat milik Ayah.
"Sulung memang mirip ibumu. Ck. Aku bahkan tidak bisa mengingat Ibu dengan baik."
Betapa lucunya; gigi bawah yang menggigit bibir atas dengan mata melirik ke kanan dan kekiri, lalu terpejam dengan sendirinya. Binar jatuh tertidur dan petugas bandara menyelamatkannya dari ketinggalan pesawat. Sembilan puluh menit yang singkat.
🎐