"Ardhika Juli. Siswa laki-laki yang termasuk siswa paling populer di sekolah. Ardhika itu tampan, gentleman, mempesona, pintar, dan lebihnya lagi dia berasal dari keluarga yang kaya. Ah, terdengar enak sekali hidupnya itu 'kan?"
"Sedangkan aku, Kanaya Dhira, hanyalah seorang siswi biasa dan cenderung… dianggap tidak ada keberadaannya. Dan bagiku yang seorang siswi biasa ini, Ardhika itu siswa sempurna. Tapi bukan berarti aku jatuh cinta padanya, aku hanya berencana saja."
"Aku berencana menaruh hatiku padamu, Ardhika. Aku mau merasakan perasaan cinta itu bersamamu. Aku mau merasakan semua yang belum kuketahui bersama dirimu."
"Tapi kita berdua tau kalau hanya aku yang benar-benar memiliki perasaan di sini. Kita berdua tau kalau hanya akulah yang ingin bersamamu."
"Hei, Ardhika. Kaulah awal dari mimpi burukku. Apa kau tau itu?"
*
"Selamat datang!" sapa Kanaya dengan ceria.
Ardhika yang dihadapannya berkedip canggung dan menggaruk tengkuknya yang padahal tidak gatal. "Mm… hai?"
Kanaya tersenyum lucu dan memeriksa barang yang ingin dibeli Ardhika di minimarket tempat ia bekerja part-time. Saat menyadari apa benda itu, wajah Kanaya tidak bisa untuk tidak memerah.
Kanaya berdeham dan menormalkan wajahnya. "Oh, wanita mana yang tidak ingin kau hamili malam ini?"
"E-eh, i-itu…"
"Tidak usah gugup, Mr. Cassanova. Benda ini sudah biasa dibeli remaja yang berumur sepertimu, kok."
Ardhika mengangkat alisnya. "Mr. Cassanova? Kau memanggilku dengan sebutan itu?"
"Ah, kau tersinggung? Baiklah, maafkan aku Ardhika. Aku tidak akan memanggilmu dengan sebutan itu lagi," jawab Kanaya masih mempertahankan senyumnya.
"Oh, kau tau namaku?"
"Semuanya 58 ribu, Tuan Juli. Apa kau ingin membeli kondom dengan varian yang lain? Kami memiliki persediaan yang cukup lengkap."
Ardhika menggelengkan kepalanya dengan senyum malu. Matanya menatap Kanaya dengan sorot tertarik di sana.
Sedangkan Kanaya sendiri tidak menyadari tatapan yang dilayangkan Ardhika, gadis itu sibuk menghitung uang kembalian dan menyerahkannya pada Ardhika. Dan kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Ardhika, saat tangannya tanpa sengaja bersentuhan dengan tangan Kanaya, Ardhika langsung mengungkungnya.
"Kau menarik."
Kanaya menahan senyum. "Apa itu pujian?"
"Ya, bisa dibilang begitu."
"Baiklah, terima kasih atas pujiannya."
"Boleh aku meminta nomormu?"
Seorang cassanova sekolah meminta nomor siswi biasa sepertinya? Kanaya tidak bisa untuk tidak merasa bangga. Tapi gadis itu mencoba tenang dan membalas tatapan Ardhika dengan tatapan jahilnya. "Well, atas alasan apa aku harus memberikan nomorku padamu?"
"Sebenarnya aku punya tiga alasan."
"Oh ya?"
Ardhika tersenyum malu. "Pertama, aku ini penggemar late night calls."
"Oh, phonesex?"
"Bukan, bukan yang seperti itu." Ardhika menggeleng panik, Kanaya berusaha menahan tawanya. "Aku ini suka berbicara tentang indahnya malam dan bercerita tentang hariku pada seseorang di malam hari."
Kanaya mengangguk. Ia tidak menyangka Ardhika orang yang seperti itu. "Alasan kedua?"
"Aku tertarik padamu."
Pipi Kanaya menghangat. "Ooo..ke. Itu terlalu to the point, Tuan Juli."
Ardhika tertawa. "Aku tidak suka bertele-tele."
"Dan alasan yang ketiga?"
"Aku ingin mengenalmu lebih jauh." Ardhika menatap langsung pada manik cokelat milik Kanaya.
Kanaya tidak bisa untuk tidak tersenyum lebar. Pipinya memanas dan tanpa alasan yang jelas… Kanaya merasa jantungnya berdetak dengan cepat.
"Jadi… bagaimana? Apa aku akan berbicara sendiri dan hanya bercerita pada langit malam ini?"
"Selamat, Ardhika Juli. Kau tidak akan sendirian lagi malam ini dan juga malam-malam selanjutnya."
*
"Kau tau, Des? Beberapa menit setelah Dhika pergi, kau datang sambil memohon maaf karena terlambat. Jujur saja, waktu itu aku tidak begitu peduli padamu."
"Yang aku pikirkan hanya Ardhika. Ardhika Ardhika dan Ardhika saja yang berlarian di pikiranku.Dan kau tau? Malam itu dan malam-malam setelahnya adalah saat yang paling kunantikan. Karena hanya di saat malam lah, Ardhika mau berkomunikasi denganku. Dia meneleponku terlebih dahulu, menceritakan hari-harinya yang monoton, dan juga membisikkan kata-kata manisnya padaku."
"Sedangkan saat siang hari di sekolah, aku hanya akan menjadi bayangannya. Aku tidak bisa menghampirinya dan hanya bisa menatapnya dari jauh. Dia terlalu bersinar hingga aku tidak bisa terlalu dekat dengannya atau aku akan terbakar."
"Lalu setelahnya, rasaku mulai berubah. Aku mulai menatap Dhika dengan pandangan berbeda. Kau tau… aku menyukainya."
"Tapi sebelum itu aku ingin bertanya denganmu, Desta. Kau tau aku hanyalah siswi biasa yang kebetulan mendapat beasiswa untuk bersekolah di sekolah yang ternama. Seluruh siswa di sekolah tau aku anak dari seorang pelacur tapi aku tidak mempersalahkannya karena aku tidak begitu perduli."
"Dan sekarang aku peduli. Maka aku ingin bertanya kepadamu, apakah menyukai seseorang itu adalah kesalahan bagi anak pelacur sepertiku? Apa ada hukum yang melarangnya? Tolong jawab pertanyaanku."
"Awalnya semua terasa begitu indah. Hubunganku dengan Dhika juga perlahan-lahan menjadi semakin intim. Kami mulai sering bertemu di luar sekolah dan jalan-jalan layaknya pasangan. Aku percaya kalau mungkin saja… mungkin saja Dhika juga menyukaimu."
"Namun ekspetasi selalu jauh dari realita 'kan? Karena nyatanya… aku ini bukan orang yang disukainya, Des. Aku hanyalah rahasia kecil dari seorang Ardhika Juli."
*
"Kau malu berteman denganku, ya 'kan?"
"Kau ini bicara apa Nay?"
"Kau tidak pernah mau menyapaku saat di sekolah. Kau selalu menganggapku tidak ada, sama seperti mereka…" lirih Kanaya dengan mata berkaca-kaca.
Saat itu Kanaya dan Ardhika sedang duduk di kursi taman karena kelelahan setelah bermain sepeda kelilig taman. Kanaya merasa ini waktu yang tepat baginya untuk mengeluarkan unek-uneknya.
"Aku tidak menyapamu karena—"
"Karena kau malu berteman denganku, Ardhika. Benar 'kan? Kau malu karena berteman dengan siswi biasa sepertiku. Kau malu karena berteman dengan anak—"
Ardhika menarik tengkuk Kanaya dan membungkam bibirnya dengan ciuman. Awalnya, mata Kanaya membulat karena terkejut. Tapi perlahan-lahan gadis itu memejamkan matanya dan mencoba menikmati ciuman pertamanya itu.
Ya, ciuman pertamanya. Dan Ardhika lah yang merenggut ciuman itu. Tapi Kanaya tidak menyesalinya.
Ardhika mulai memperdalam ciumannya sampai dia bangkit berdiri dan posisi setengah membungkuk, menekan tubuh Kanaya hingga punggung gadis itu bersentuhan dengan bangku taman. Kanaya yang tidak mengalami pengalaman karena ini ciuman pertamanya terlihat kepayahan. Tapi gadis itu mencoba mengimbangi ciuman Ardhika.
Mereka terlalu sibuk memakan bibir satu sama lain hingga tak sadar ada seseorang yang membidik kamera tepat ke arah mereka.
*
"Di malam itu, aku berencana untuk jatuh cinta pada Ardhi, Desta. Karena… a-aku, entahlah. Aku benar-benar… maksudku dia benar-benar sempurna. Aku tidak mau berteman dengannya. Aku ingin menjadi lebih dari seorang teman baginya, Desta."
Desta menitikkan air matanya begitu suara isak tangis itu mengalun di telinganya. Tangannya sudah keram karena sepanjang cerita yang didengarkan, tangannya selalu terkepal. Ia marah. Ia sungguh-sungguh marah pada Ardhika.
"Tapi mungkin… keinginanku terlalu berlebihan. Aku terlalu serakah menginginkan dirinya yang sempurna untuk diriku yang biasa bahkan rendah seperti ini."
"Keesokan harinya saat aku berjalan menuju lokerku, tiba-tiba saja… aku merasa ada. Aku merasa diperhatikan. Kau tau 'kan aku ini kadang dianggap hanya angin lalu. Tapi pagi itu, terasa berbeda. Aku menyadari beberapa pasang mata menatap ke arahku bahkan tatapan itu terasa mengikutiku hingga aku sampai ke loker."
"Namun kenapa di saat akhirnya aku mendapat perhatian mereka, ternyata itu adalah bentuk kemarahan. Aku membuka lokerku dan tersenyum miris saat menemukan banyak sampah di sini. Buku telenovela kesukaanku menjadi lusuh, basah, dan juga bau. Dan aku menemukan secarik kertas yang mengatakan 'anak pelacur menjijikkan' beserta beberapa lembar fotoku yang sedang berciuman di taman."
"Itu fotoku saat berciuman dengan Ardhi malam itu, namun wajah Ardhi terlihat blur dan susah dikenali… sedangkan wajahku jelas sekali. Lalu aku mendengar gelak tawa serta makian dari mereka. Tapi aku hanya diam. Aku yang lemah ini, bisa apa memangnya?"
"Dan pandangan kita bertemu Desta. Kau menatapku dengan sorot iba di matamu, tapi aku hanya tersenyum seperti biasa. Aku tidak merasa sedih atau marah karena kupikir aku bisa melewati ini semua dengan Ardhi. Dia pasti akan menghiburku. Dia pasti akan bersamaku."
"Namun sekali lagi, realita memang jauh dari ekspetasi 'kan Desta? Aku bertemu tatap dengan mata Ardhi dan seketika saja aku merasa dihempas dari langit ke tujuh hingga ke dasar jurang. Ardhi menatapku, Desta. Tapi bukan dengan tatapan hangat atau genit, melainkan tatapan jijik."
"Aku menangis setiap malam. Aku selalu berharap dia datang padaku dan terus menatap pintu minimarket layaknya orang gila. Tapi sampai air mataku habis dan hatiku yang menjeritkan namanya, dia tidak juga datang…"
"Ah, seharusnya aku tau. Ardhi pasti lebih memilih popularitasnya daripada gadis rendah sepertiku. Dia lebih memilih bersama teman-teman palsunya dan mengabaikanku yang selalu ada bersamanya di malam-malam yang lalu."
"Ardhika, boleh aku bertanya? Di ciuman itu… aku merasakan perasaanmu yang begitu mendamba. Apa itu adalah refleksi dari perasaanmu padaku? Apa kau menyukaiku?"
"Tapi untuk apa juga 'kan? Toh, aku sudah tidak ada di dunia ini."
Desta menggigit bibirnya menahan isakan. Harusnya saat itu Desta menolong Kanaya, memeluk gadis itu dan membisikkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi saat itu Desta hanya diam, tak bergeming bahkan ia sudah melihat mata Kanaya berkaca-kaca dengan senyuman di wajahnya.
"Rekaman kedua… kali ini giliranmu, Farel Sanjaya, sahabat lamaku. Apa kau merindukanku?"