Sejak saat itu, Xie Qingcheng bekerja tanpa henti melakukan eksperimen, mengabaikan makanan dan tidur… seolah-olah hanya dengan cara ini ia dapat menjaga ketenangan pikirannya.
Satu-satunya cara agar ia merasa bahwa hidupnya belum sepenuhnya hancur, bahwa hidupnya masih memiliki nilai.
Namun, masalah dari terus-menerus menggunakan tubuhnya sendiri untuk eksperimen adalah bahwa, meskipun ia telah diperbaiki sepenuhnya oleh RN-13, tetap ada saat-saat di mana ia tidak dapat menahan rasa sakit fisik.
Meskipun pasien dengan Ebola Psikologis memiliki indra yang lebih tumpul dibandingkan orang biasa, ketika menghadapi rasa sakit yang membakar hingga ke tulang seperti ini, mereka tetap tidak akan mampu menahannya.
Xie Qingcheng selalu melakukan eksperimen ini tanpa sepengetahuan Qin Ciyan.
Hingga suatu hari, ketika Qin Ciyan datang untuk mengambil sesuatu dan tanpa sengaja memergokinya sedang menggunakan lengannya sendiri untuk menguji obat luka bakar yang baru—barulah metode penelitiannya yang merusak diri sendiri terungkap. Qin Ciyan, yang awalnya hanya berniat mengambil sesuatu dari ruangan, justru secara tak sengaja menyaksikan kecenderungan destruktifnya atas nama penelitian.
Marah besar, Qin Ciyan segera menghentikan studi Xie Qingcheng di institut penelitian.
Ia bertanya, "Apakah hidupmu bukan sebuah kehidupan? Siapa yang sebenarnya ingin kau siksa dengan bersikap seperti ini?"
"Ini tidak sakit."
"Orang-orang yang akan mendapatkan manfaat dari hasil penelitianmu yang akan merasa sakit!"
Qin Ciyan berkata dengan penuh amarah,
"Apakah kau tahu mengapa aku menolak tawaran temanku di Amerika Serikat? Apakah kau tahu mengapa aku tidak ikut serta dalam penelitian dan pengembangan RN-13?! Jelas sekali bahwa obat ini dapat menyelamatkan orang, dan memang sudah menyelamatkan beberapa subjek eksperimen, tetapi aku tetap tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang baik! Apakah kau tahu mengapa?!"
"Karena tidak ada eksperimen medis yang lebih penting daripada kehidupan manusia. Menyelamatkan nyawa mungkin salah satu tujuan penelitian ilmiah, tetapi tidak jika hal itu dibangun di atas darah manusia yang masih hidup!"
Xie Qingcheng membalut lukanya dengan perban sebelum perlahan menurunkan lengan bajunya yang putih bersih. Kemudian, ia bangkit, menatap langsung ke mata Qin Ciyan, dan berkata,
"Tapi, Laoshi. Ini satu-satunya hal yang bisa kulakukan sekarang."
"Setelah jatuh sakit, aku merasa seperti sampah yang tak berguna. Hal-hal yang dulu begitu mudah kulakukan, kini semuanya terasa mustahil."
"Bisakah kau memahami betapa tak berdayanya aku saat kekuatanku perlahan memudar, tak peduli sekeras apa pun aku berusaha mempertahankannya? Rasanya seperti menghadapi waktu, menghadapi gravitasi—menghadapi segalanya yang tak bisa dilawan."
"Aku mencoba membiasakan diri, tetapi aku tidak bisa… Tubuhku memang sudah sembuh sepenuhnya, tetapi hatiku terasa seperti telah membusuk sejak kecelakaan mobil yang seharusnya membunuhku. Aku sering terbangun dari mimpi dan merasakan kekosongan di dadaku… Aku sungguh ingin merobek dadaku sendiri dengan pisau dan melihat apa yang sebenarnya masih tersisa di dalamnya."
"Aku merasa seperti jiwa mati yang hanya meminjam tubuh. Aku tak punya kegunaan lain di dunia ini selain merawat keluargaku."
Saat Xie Qingcheng mengucapkan kata-kata itu, ia menutup matanya.
"Aku bahkan tidak bisa merawat keluargaku dengan baik. Adikku masih anak-anak, dia tidak bermaksud jahat, tapi dia telah berulang kali mengatakan padaku bahwa dia merasa aku telah berubah."
"Dia merasa bahwa aku…" Xie Qingcheng tercekat, terdiam lama sebelum akhirnya dengan susah payah melanjutkan, "Dia merasa bahwa aku… bukan lagi da-ge-nya."
Pada titik ini, sekeras apa pun ia berusaha menahan diri, sudut matanya tetap memerah.
Awalnya, alasan utama ia tetap bertahan hidup adalah adik perempuannya yang masih kecil.
Namun kini, bahkan adiknya sendiri berbicara padanya seperti itu—seorang gadis yang baru berusia lima tahun. Dia tidak memiliki pemikiran yang rumit, dia hanya mengungkapkan apa yang ia rasakan.
Kata-kata itu bukanlah pukulan yang disengaja, melainkan lahir dari kegelisahan dan ketakutan yang tak terucapkan di hati seorang anak kecil.
Xie Qingcheng merasa seakan-akan dirinya berlumuran darah, seolah-olah ada penyakit tak kasat mata yang menodai seluruh tubuhnya. Maka, perlahan-lahan ia bahkan mulai takut untuk menggendong adiknya sendiri.
Di malam hari, ia duduk diam di tepi tempat tidurnya, menatap sosok kecil itu dalam cahaya rembulan yang samar.
Adiknya mencintainya.
Dan justru karena itulah, kata-katanya terasa begitu menyakitkan.
Ia merasa seolah kecelakaan itu telah meninggalkan luka-luka yang menganga di sekujur tubuhnya. Dengan susah payah, ia mengumpulkan setiap kepingannya, menyatukan kembali hatinya yang telah porak-poranda dalam genangan darah. Lalu, dengan hati itu yang ia genggam erat dalam kedua tangannya, ia menjahit tubuhnya yang hancur berkeping-keping, seakan sedang memperbaiki boneka beruang lusuh yang sudah robek di sana-sini. Karena, betapapun hancurnya dirinya, ia tetap ingin kembali ke sisi gadis kecil itu.
Berbalut tambalan luka yang kotor, boneka beruang itu merangkak keluar dari tempat sampah dengan gerakan kikuk dan menyedihkan, kembali ke rumahnya. Ia mengangkat tangannya yang besar dan perlahan mengulurkan jemarinya ke arah gadis kecil yang paling ia sayangi.
Tak seorang pun tahu berapa banyak yang telah ia korbankan demi kesempatan untuk melambaikan tangan, meski dengan gerakan yang canggung.
Tapi gadis itu berkata, "Kau… bukan dia."
Dia menatap boneka lusuhnya dan berkata, "Kau bukan Gege."
"Lihat dirimu, benang-benangmu terurai, kau sudah robek di sana-sini."
"Aku ingin Gege…"
"Gege-ku utuh, tidak terluka. Gege tidak akan memiliki bekas luka yang mengerikan seperti itu."
"Gege tidak akan menakutiku."
"Aku merasa seperti telah kembali dari neraka. Tapi sepertinya aku telah kehilangan diriku sendiri."
Xie Qingcheng berkata dengan suara pelan.
"Dulu aku tidak seperti ini."
"Dulu, aku tidak pernah marah padanya. Dulu, aku bisa menggendongnya di punggungku sepanjang jalan pulang. Dulu…"
Sepanjang ia mengucapkan kata-kata itu, ekspresi Xie Qingcheng tetap kosong.
Ini membuatnya tampak begitu dingin. Seakan-akan ia tak memiliki emosi sama sekali.
Namun pada titik ini, kata-katanya terhenti.
Di bagian belakang tenggorokannya, tersisa rasa pahit yang tak terlukiskan.
Qin Ciyan tahu bahwa bukan berarti Xie Qingcheng tak merasakan kesedihan, tetapi demi bisa kembali dari ambang kematian, ia telah kehilangan haknya untuk merasakan emosi yang seharusnya menjadi miliknya sebagai manusia.
Agar tetap bertahan hidup, ia harus selalu menjaga ketenangannya.
Karena setiap kali emosinya meluap, penyakit mentalnya akan kambuh, dan setiap kali penyakitnya kambuh, kondisinya akan semakin memburuk.
Xie Qingcheng terdiam lama sebelum akhirnya berkata dengan nada hampa, "Aku rasa tak ada alasan bagiku untuk terus hidup."
"Aku tidak bisa memberinya kebahagiaan, juga tidak bisa memberikan sesuatu yang berharga bagi orang lain. Aku tidak ingin menjadi beban bagi siapa pun, tapi aku juga tidak ingin meninggalkan dunia ini tanpa meninggalkan sesuatu yang berarti."
"Dulu, aku benar-benar merasa sangat putus asa. Sampai kau membawaku ke laboratorium. Sampai aku menyadari bahwa… pikiranku, tubuhku… dapat menanggung tekanan yang tidak wajar. Dalam bidang penelitian penyakit tertentu, aku bisa menggunakan tubuhku yang mati rasa ini untuk melangkah lebih jauh dibanding siapa pun."
"Ini benar-benar tidak sakit, Laoshi. Darah dan rasa sakit tidak ada artinya. Yang paling kutakutkan bukanlah itu, melainkan kematian hatiku sendiri. Yang paling kutakutkan adalah menjadi tidak berguna, hidup hanya sebagai sampah yang tak berarti. Aku tidak ingin seperti itu."
Ia menatap Qin Ciyan, dan dalam sorot mata berbentuk bunga persiknya yang dulu begitu indah, kini hanya tersisa hamparan ranting-ranting layu.
"Laoshi, aku sangat menderita. Aku tidak ingin orang lain mengalami penderitaan yang sama."
"Akhir pekan lalu di laboratorium, aku bertemu dengan seorang anak penderita kanker otak. Dia masih sangat kecil, mungkin baru tujuh atau delapan tahun—orang tuanya begitu patah hati, tapi mereka menolak untuk menyerah... Manusia memang tidak bisa mengalahkan penyakit, tapi ketidakmungkinan untuk menang bukan berarti kita harus menyerah tanpa berjuang."
"Aku juga tidak ingin menyerah pada penderitaan. Mungkin aku memang ditakdirkan untuk hidup seperti ini, tapi setidaknya dalam pertempuran tak kasat mata melawan penyakit, aku bisa melakukan hal yang tidak bisa dilakukan oleh orang lain."
"Aku rasa inilah tujuan sisa hidupku… dua puluh tahun ke depan."
"Kalaupun aku mati, aku akan mati dalam keadaan berdiri. Kalaupun aku mati, aku akan tetap melakukan apa yang harus kulakukan."
"Laoshi. Inilah alasanku untuk terus hidup."
Darah merembes keluar dari bawah perban yang membalut lukanya.
"Aku sangat menyesal telah menyembunyikan ini darimu begitu lama."
Qin Ciyan tidak tahu bagaimana menyebut perasaan yang menyelimutinya saat itu.
Marah?
Sedih?
Namun, tak satu pun dari perasaan itu benar-benar mampu menggambarkan apa yang berkecamuk dalam hati Qin Ciyan.
Ia berpikir—sebenarnya, apa makna dari kehidupan?
Dan apa yang pada akhirnya menjadi inti dari keberadaan manusia, sesuatu yang membuat seseorang terus bertahan hidup?
Itu adalah keberadaan seseorang, dan nilai-nilainya.
Itu adalah hal-hal yang telah ia lakukan, dan seberapa besar semangat yang ia curahkan ke dalamnya.
Hidup tidak pernah tentang menerima—menerima hanyalah bentuk dukungan agar manusia bisa menjalani hidup dengan lebih baik. Tapi tidak peduli seberapa banyak yang telah diperoleh, pada saatnya tiba untuk berdansa dengan kematian, sang malaikat maut akan mengambil semuanya, meninggalkan jasad yang membusuk tanpa sisa.
Namun, ada satu hal yang bisa mengalahkan kematian—hal-hal yang telah diberikan seseorang kepada dunia.
Mereka akan terpisah dari diri seseorang saat ajal menjemput, tetapi tetap tinggal di dunia yang masih berputar. Mereka berasal dari individu itu, tetapi karena telah diberikan dengan tulus kepada orang lain, mereka tidak lagi menjadi miliknya. Bahkan kematian tidak bisa merenggutnya kembali.
Itulah pencapaian terbesar yang bisa diraih oleh manusia yang paling sederhana sekalipun.
Xie Qingcheng selalu memahami hal ini dengan sangat jelas.
Karena itu, ketika ia menyadari bahwa dirinya telah menjadi seseorang yang tak berguna, yang tidak mampu melakukan apa pun atau memikul tanggung jawab apa pun, rasa sakit yang ia alami jauh lebih menyiksa daripada kematian seribu kali lipat.
Itu adalah rasa sakit yang begitu perih, tak tertahankan.
Maka, begitu ia menemukan bahwa dirinya masih memiliki sedikit nilai, ia melemparkan seluruh dirinya ke dalam pekerjaan di institut penelitian. Ia bekerja tanpa henti, siang dan malam, menggunakan tubuhnya sendiri untuk menyalakan pelita di dalam kegelapan.
Itulah satu-satunya alasan mengapa ia menjadikan dirinya sendiri sebagai bahan eksperimen.
Qin Ciyan menarik napas panjang.
Di balik kacamata tebalnya, Xie Qingcheng dapat melihat bahwa mata dokter itu kini dipenuhi air mata.
"… Lalu bagaimana dengan orang tuamu?"
Qin Ciyan menatapnya dengan penuh kelembutan, namun juga dengan kesedihan yang mendalam.
"Kau berkata bahwa kau tak ingin menyaksikan penderitaan orang tua yang kehilangan anaknya karena kanker otak, bahwa kau tak ingin melihat orang lain menderita seperti dirimu."
"Lalu, Xie Qingcheng."
"Bagaimana dengan sepasang mata di langit yang tak bisa kau lihat?"
"..."
"Kau bukan seorang yatim piatu. Orang tuamu mungkin telah pergi, tapi dulu mereka sangat mencintaimu."
"Lupakan perasaanku—jika kau memperlakukan dirimu seperti ini, menurutmu, seberapa hancurnya hati mereka?"
Dokter itu melangkah mendekati muridnya. Dalam hubungan yang tidak diketahui siapa pun, dalam percakapan yang hanya milik mereka berdua.
Di dalam laboratorium yang dingin ini, ketika kehangatan penuh belas kasih mulai mencairkan kebekuan.
Qin Ciyan mengangkat tangannya dan mengusap rambut Xie Qingcheng.
"Tahukah kau mengapa aku melakukan semua ini—mengapa aku mengabaikan aturan, bahaya, segalanya—demi menyelamatkanmu?"
"...…"
"Aku belum pernah memberitahumu, bukan?"
"Selain putriku, aku juga pernah memiliki seorang putra."
"Dia meninggal dalam kecelakaan mobil."
"Sebelum ia pergi, kata-kata terakhirnya padaku adalah: 'Ayah, aku tidak ingin mati.'"
"..."
Qin Ciyan memejamkan matanya. "Aku tak akan pernah melupakan kata-kata itu, atau tatapan mata itu, seumur hidupku."
"Bahkan jika ada cara untuk membawanya kembali—meskipun ia hanya bisa hidup dalam keadaan vegetatif, meskipun kepribadiannya berubah total—aku akan rela melakukan apa saja. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat keluargamu sendiri pergi di depan matamu."
"Xiao-Xie, orang tuamu tidak punya pilihan ketika mereka meninggalkan dunia ini. Tapi kau punya pilihan. Jangan merendahkan dirimu seperti ini. Jika kau menjalani hidup dengan baik dan merasakan semua keindahan serta vitalitas yang dunia tawarkan, maka hidupmu pun akan memiliki makna."
"Xie Xue masih sangat muda—satu-satunya alasan dia mengatakan hal-hal itu adalah karena dia belum benar-benar mengerti apa-apa. Memang benar bahwa anak-anak berbicara dengan jujur dan lugas, tetapi di sisi lain, mereka juga sering kali belum bisa mengungkapkan perasaan mereka dengan sempurna."
"Kau akan selalu menjadi orang terpenting di hatinya. Jika suatu hari nanti kau tak bisa lagi kembali ke sisinya, dia benar-benar akan tenggelam dalam kesedihan dan kehilangan arah."
Melihat Xie Qingcheng hendak berbicara, Qin Ciyan menggelengkan kepalanya, seakan sudah mengetahui apa yang ingin dikatakan pemuda itu.
Dengan suara yang lembut dan penuh kesedihan, namun tak terbantahkan, Qin Ciyan berkata, "Aku rasa aku punya hak untuk mengatakan ini kepadamu. Aku bisa memahami perasaanmu—di perjalanan hidup kita, kau kehilangan orang tuamu, sementara aku kehilangan anakku."
Xie Qingcheng membeku di tempat, menatap kilauan samar air mata yang tersembunyi di sudut mata Qin Ciyan yang berkerut.
Beberapa saat kemudian, air mata yang telah lama ia tahan akhirnya jatuh juga, mengalir pelan di wajah tuanya.
"Jika orang tuamu masih hidup, mereka tak akan ingin melihatmu seperti ini."
"Xiao-Xie. Agar hidup memiliki makna, kau harus terlebih dahulu menjalaninya dengan baik."
Sejak saat itu, Qin Ciyan melarang Xie Qingcheng untuk melanjutkan studinya di laboratorium farmakologi biokimia milik He Jiwei.
He Jiwei sangat kebingungan dengan keputusan itu—menurutnya, Xie Qingcheng adalah bakat yang sangat langka, dan akan menjadi sebuah pemborosan jika kemampuannya tidak dikembangkan dengan baik.
Namun pada akhirnya, sesuai dengan keinginan Qin Ciyan, Xie Qingcheng yang masih muda pun mengucapkan terima kasih kepada He Jiwei atas bimbingannya, lalu meninggalkan laboratorium itu.
Qin Ciyan menciptakan sebuah cerita rekayasa untuk menyembunyikan eksperimen yang dilakukan oleh Xie Qingcheng, dengan mengatakan bahwa ia adalah seorang "individu teoretis." Hal ini membuat orang lain berpikir bahwa "Kaisar Pertama" hanyalah sosok simulasi dan bahwa data mengenai Kaisar Pertama hanyalah hasil dari studi komputasi. Sejak saat itu, Qin Ciyan semakin menjaga Xie Qingcheng dengan lebih erat, melindunginya seolah-olah ia adalah putra yang tak akan pernah kembali.
Ia dapat melihat betapa kebingungan Xie Qingcheng—setelah sekali lagi kehilangan arah, ia tampak sangat kesepian dan kondisi emosionalnya pun cukup labil.
♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛
Sementara itu, Qin Ciyan akan segera dikirim kembali ke Yanzhou untuk bekerja.
Sebelum keberangkatannya, ia membawa Xie Qingcheng ke sebuah akuarium.
Keputusan ini diambil setelah ia merenungkannya dalam waktu yang lama.
Makhluk laut sering kali menjadi penyembuh terbaik bagi hati manusia.
"Itu adalah hiu perawat, dan yang di pojok paling jauh… ya, itu adalah hiu lemon."
Seperti seorang ayah yang penuh kasih kepada putranya, Qin Ciyan berjalan melewati akuarium berwarna biru tua dengan Xie Qingcheng, keduanya membawa es krim di tangan mereka.
Mungkin, ia memang benar-benar seorang ayah yang penuh kasih.
Ketika air berkilauan dalam kedalaman yang tak terduga, ketika permainan cahaya dan bayangan tampak samar, sosok yang berdiri di sisinya adalah anak yang tak akan pernah bisa ia lihat tumbuh dewasa.
♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛
Akhirnya, mereka tiba di istana ubur-ubur.
Di bagian akuarium ini, dindingnya seluruhnya terbuat dari kaca transparan yang berkilauan, dengan beberapa pilar kristal berdiri di tengah aula.
Di balik kaca tersebut, ribuan ubur-ubur melayang naik dan turun dengan anggun.
Xie Qingcheng sedikit membelalakkan matanya saat melangkah masuk.
Ia seolah telah memasuki dunia purba, di mana makhluk-makhluk dari 650 juta tahun yang lalu berenang dengan tenang di sekelilingnya. Tubuh mereka yang transparan dan berkilauan berdenyut perlahan, seperti serbuk sari willow yang menari di tiupan angin, seperti butiran salju yang jatuh dari langit, seperti cahaya pertama matahari pagi di awal musim panas, atau seperti genangan terakhir kelopak bunga di penghujung musim semi.
Keindahan dari setiap musim seakan terhimpun dalam organisme yang terbentuk dari air ini. Diiringi dentingan melodi kotak musik yang menggema di istana ubur-ubur, makhluk-makhluk ini membawa hati manusia tenggelam jauh ke dalam kedalaman lautan, menuju Zaman Es yang jauh di masa lalu, dua puluh ribu mil di bawah permukaan laut.
Xie Qingcheng melangkah melalui terowongan kaca yang panjang dan berkelok, yang berkilauan dengan riak air. Untuk pertama kalinya sejak penyakitnya muncul, ia merasakan ketenangan yang telah lama menghilang dari hatinya.
Berbeda dengan ketenangan yang selama ini ia paksakan pada dirinya sendiri.
Ini adalah ketenangan yang sejati, tulus, nyaman, dan mendamaikan.
"Indah sekali," gumamnya, menatap seekor ubur-ubur raksasa yang melayang melewatinya, tampak seperti awan asap abu-abu.
Qin Ciyan tersenyum padanya. "Makhluk seperti ubur-ubur tidak memiliki otak, jantung, tulang belakang, atau mata… 95 persen tubuh mereka terdiri dari air. Hidup mereka pun tidak berlangsung lama, hanya beberapa bulan saja. Ubur-ubur laut dalam yang berumur paling panjang pun hanya bisa hidup selama beberapa tahun."
"..."
"Tapi lihatlah, hidup mereka begitu sederhana dan bebas, dan secara alami mereka merupakan pemandangan yang luar biasa indah. Banyak orang merasa sangat tenang hanya dengan melihat mereka."
"Apakah kaujuga merasakan hal yang sama?"
"Dulu, ketika masih muda dan menempuh studi di Amerika, aku selalu pergi ke akuarium di sana sebulan sekali, bukan untuk alasan lain selain mencari ketenangan di tengah segala frustrasi. Begitu tiba di sana, aku langsung menuju bagian ubur-ubur dan duduk di sana sepanjang sore," ujar Qin Ciyan dengan senyum bernuansa nostalgia. "Begitu banyak tahun berlalu dalam sekejap… bahkan petugas tiket di akuarium itu pernah berkata kepadaku, kalau aku tidak bisa menemukan istri di masa depan, aku bisa memilih seekor ubur-ubur secara gratis untuk dibawa pulang dan dinikahi. Akuarium itu bahkan bersedia menjadi saksi pernikahannya, hahahaha."
Xie Qingcheng menoleh dan menatapnya.
Di kedalaman lautan, ia menatap Qin Ciyan dan akhirnya tersenyum.
Itu adalah pertama kalinya sejak ia jatuh sakit, senyum setenang itu terukir di wajahnya.
"Terima kasih, Lao-Qin."
"Bukan apa-apa, bocah nakal."
Qin Ciyan pun pergi, kembali ke Yanzhou.
Namun, Xie Qingcheng perlahan menemukan cara untuk mengendalikan emosinya dengan sangat baik. Itulah yang diajarkan sosok ayah baginya, hadiah berharga yang diberikan kepadanya.
Dan begitu pula, seperti yang dilakukan Qin Ciyan lebih dari dua dekade sebelumnya, ia sering mengunjungi istana ubur-ubur untuk menyaksikan makhluk-makhluk dari 650 juta tahun yang lalu itu.
Qin Ciyan muda menjadi Xie Qingcheng muda, dan dalam dunia yang dipenuhi oleh ribuan ubur-ubur yang melayang, bayangan kedua dokter itu seakan bertumpang tindih.
Setiap kali Xie Qingcheng merasa penyakitnya memburuk, indranya mati rasa, atau hatinya terasa sesak, ia akan menonton video-video tentang ubur-ubur—
Mereka tidak memiliki mata.
Mereka tidak bisa melihat cahaya.
Mereka tidak memiliki hati.
Mereka tidak bisa merasakan patah hati.
Mereka tidak memiliki otak.
Atau lebih tepatnya, emosi tidak pernah ada bagi mereka—mereka adalah makhluk yang jauh lebih tak berperasaan dibandingkan dirinya.
Namun, mereka tetap begitu bebas, menggunakan tubuh mereka—yang terdiri dari 95 persen air—sebagai tinta untuk melukis gambar-gambar yang mampu menenangkan hati manusia.
Qin Ciyan pernah berkata bahwa makna hidup adalah menjalani kehidupan dengan baik.
Ubur-ubur ini tampaknya merupakan interpretasi terbaik dari arti hidup dengan baik.
Hari-hari berlalu seiring waktu yang terus berjalan. Pada akhirnya, melalui usahanya sendiri, Xie Qingcheng menjadi seseorang yang sangat tenang, terkendali, dan damai.
Tanpa diketahui siapa pun, ia menjadi pasien nol dari Ebola Psikologis.
"Dalam beberapa aspek, kau sebenarnya sudah mengalahkan penyakit ini. Selama kau terus seperti ini tanpa mengalami kekambuhan lagi, kau bisa hidup dengan damai hingga usia empat puluh tahun,"
Kata Qin Ciyan.
"Atau mungkin bahkan lebih lama."
Alasan ia mengatakan hal itu adalah karena para ilmuwan Amerika telah mengembangkan obat baru yang sangat efektif di laboratorium ilmu kehidupan mereka.
Penelitian mereka mengenai RN-13 telah dihentikan oleh otoritas hukum di benua tersebut, setelah masyarakat melancarkan protes besar-besaran terhadap penggunaan individu tunawisma sebagai subjek uji klinis yang tidak manusiawi.
Karena tekanan tersebut, lembaga penelitian menghancurkan seluruh persediaan RN-13 mereka dan mengalihkan seluruh dana mereka untuk pengobatan pasien yang telah dijadikan subjek uji coba.
Dengan demikian, memperpanjang harapan hidup para subjek uji RN-13 menjadi tujuan utama mereka.
Secara fundamental, RN-13 memaksa metabolisme tubuh bekerja secara berlebihan, sehingga memperpendek umur pasien melalui proses penyembuhan diri sendiri.
Oleh karena itu, selama bertahun-tahun, obat pelepasan bertahap yang dikembangkan adalah senyawa yang dapat secara signifikan memperlambat metabolisme.
Orang biasa akan meninggal jika mengonsumsi obat ini dalam dosis berlebih, tetapi subjek uji RN-13 dapat menahannya. Selain itu, obat ini dapat secara drastis mengurangi laju replikasi sel mereka, sehingga memperpanjang usia mereka.
Dan kali ini, efektivitas obat tersebut telah terbukti melalui berbagai uji klinis yang berulang.
Qin Ciyan berkata kepada Xie Qingcheng, "Selama kau terus mengonsumsinya, dengan pengendalian diri yang kau miliki, kau akan seperti orang normal, mungkin bisa hidup hingga usia tujuh puluh atau delapan puluh tahun. Kau bahkan mungkin bisa hidup lebih lama dariku."
Kata-kata "orang normal" menggugah sesuatu dalam hati Xie Qingcheng.
Sudah sangat lama sejak ia merasa kata-kata itu dapat ia raih.
Bagaimanapun, sejak mengonsumsi RN-13 tahun itu, ia berpikir bahwa ia tidak akan pernah bisa menjalani kehidupan yang normal dan utuh lagi.
"Apa efek sampingnya?" Ia menahan getaran halus dalam suaranya.
"Kau memang bukan orang bodoh." Qin Ciyan menghela napas. "Tapi efek sampingnya masih dapat diterima… waktu reaksimu, ketajaman pikiranmu, serta kemampuan lain yang bergantung pada aktivasi sel akan menurun."
"Namun, kau sudah sangat cerdas sejak awal. Jika kau tidak mengonsumsi obat ini, kau akan mampu memberikan kontribusi luar biasa, tetapi jika kau meminumnya… maka kemampuanmu tidak akan seistimewa sebelumnya." Qin Ciyan melanjutkan, "Namun, Xiao-Xie, sekalipun pengobatan ini melemahkan otakmu, kau masih bisa menjadi psikiater yang luar biasa. Hanya saja, kau akan terbatas sebagai dokter—kau tidak akan bisa terus memperluas usahamu ke berbagai disiplin ilmu seperti yang kau lakukan sebelumnya, dan secara bersamaan menjadi seorang jenius di banyak bidang."
"Mengapa kau tidak meluangkan waktu untuk memikirkannya?"
Saat itu, Xie Qingcheng telah diterima dalam program psikiatri di sekolah kedokteran yang akan membawanya meraih gelar sarjana, magister, dan doktor dalam delapan tahun studi berkelanjutan.
Awalnya, ia berencana untuk tidak hanya menyelesaikan beban studi penuhnya selama semester ini, tetapi juga melanjutkan penelitian sebelumnya dalam bidang farmakologi biokimia, yang telah mendapat persetujuan dari Qin Ciyan.
Keadaan pikirannya saat ini sangat stabil. Meskipun sesekali ia kesulitan mengendalikan dirinya, ia dapat menggunakan video-video ubur-ubur untuk meredam gejalanya.
Begitu melihat makhluk-makhluk kuno yang melayang itu, ia bisa dengan cepat menenangkan diri dan meredakan emosinya—sebuah refleks yang telah ia latih dalam dirinya.
Ia tidak akan pernah lagi menggunakan tindakan melukai diri sendiri untuk mempercepat penelitiannya.
Karena alasan itu, Qin Ciyan menyetujui permintaannya.
Namun, dengan munculnya obat penyembuh, Xie Qingcheng sekali lagi dihadapkan pada sebuah keputusan besar—
Apakah ia akan kembali menjalani kehidupan sebagai orang normal, meninggalkan penelitiannya, dan menetap sebagai seorang dokter?
Ataukah ia akan terus berjalan di jalur berbahaya ini, menyelesaikan misi yang tak dapat dicapai oleh orang biasa, lalu meninggalkan dunia ini di usia empat puluh tahun?
Ia harus membuat sebuah pilihan.
Namun, pada saat itulah—
Sebuah peristiwa yang sangat memengaruhi Xie Qingcheng terjadi.
Footnote :
1. 慈父 secara harfiah berarti “ayah yang penuh kasih”, nama Qin Ciyan