Namun, pada saat itulah sesuatu yang sangat memengaruhi Xie Qingcheng terjadi.
Dalam beberapa tahun terakhir, telah ditemukan tiga kasus domestik yang diketahui dari Psychological Ebola. Di antara mereka, Kasus #3 telah dipantau dan dirawat di sebuah rumah sakit swasta.
Dan tepat pada periode waktu itulah Kasus #3 tiba-tiba meninggal dunia.
Sebelum kematiannya, ia mengalami kegilaan total, kehilangan seluruh kesadaran dirinya, bahkan secara tidak sengaja membunuh ayah kandungnya sendiri—orang yang selama ini selalu berada di sisinya untuk merawatnya.
Setelah mengetahui hal ini, Xie Qingcheng duduk terpaku dalam kebingungan untuk waktu yang lama.
Selain dirinya, Kasus #3 adalah pasien yang berhasil bertahan dari penyakit ini dalam waktu paling lama. Xie Qingcheng bahkan pernah mengikuti tim penelitian dan mengawasi perawatannya untuk beberapa waktu.
Saat itu, Kasus #3 masih dalam keadaan normal, hingga Xie Qingcheng sempat berpikir bahwa ia tidak akan kalah oleh penyakit ini.
Namun pada akhirnya, ia tetap meninggal.
Darah terciprat ke seluruh sudut ruang perawatan, bagaikan hamparan bunga spider lily merah yang sedang bermekaran.
Rekaman pengawasan menunjukkan bahwa saat penyakitnya kambuh, Kasus #3 mencabik-cabik tubuh ayah kandungnya dengan giginya sendiri, bertingkah layaknya orang yang benar-benar kehilangan akal sehatnya. Berdasarkan rekaman yang buram itu saja, jika seseorang yang menontonnya tidak diberi tahu sebelumnya bahwa pasien tersebut adalah manusia, mereka mungkin akan mengiranya sebagai monster haus darah yang ganas dan buas.
"Dia sama sekali tidak bisa mengenali ayahnya."
"Ayahnya terus-menerus memanggil namanya, tetapi itu benar-benar sia-sia."
"Sungguh mengerikan..."
Xie Qingcheng mengingat kembali isi rekaman video itu berulang kali, mengingat kembali setiap detail yang telah diceritakan orang-orang kepadanya.
Akhirnya, ia mengingat bagaimana Kasus #3 saat masih sadar, bagaimana ia sama sekali tidak tampak seperti seseorang yang akan menyerah pada penderitaannya.
Kasus #3 telah mencapai tahap akhir penyakitnya, sehingga obat baru yang dikembangkan di Amerika Serikat tidak bisa lagi meringankan kondisinya.
Namun, Xie Qingcheng masih memiliki pilihan… ia masih memiliki kesempatan.
Pada akhirnya, pada hari pemakaman Kasus #3 dan ayahnya berakhir, Xie Qingcheng menemui Qin Ciyan dan berkata:
"Laoshi, aku bersedia mengambil obat baru itu."
Segalanya seharusnya bisa kembali ke jalur yang benar. Segalanya masih bisa kembali ke jalur yang benar—dan hal ini sendiri adalah anugerah yang diberikan oleh takdir kepadanya.
Setelah Xie Qingcheng mulai mengonsumsi obat yang sangat efektif itu, ia bisa merasakan bahwa pikirannya memang tidak lagi setajam sebelumnya.
Namun, kesehatan dan kekuatannya perlahan-lahan kembali ke tubuhnya.
Suatu hari, setelah menyelesaikan lari lintas alam sejauh lima kilometer dengan karung pasir terikat di punggungnya, ia akhirnya menyadari bahwa dirinya bukan lagi pasien nol.
Ia adalah Xie Qingcheng.
Bertahun-tahun yang lalu, ia pernah membayangkan bahwa suatu hari di masa depan, ia akan dapat bergabung dengan kepolisian dan mengenakan seragam sebagai Xie Qingcheng.
Namun sayangnya, meskipun ia telah mendapatkan kembali kekuatannya, ia tidak bisa mengembalikan waktu yang telah berlalu.
Impian pertamanya telah selamanya berlalu dari genggamannya. Dalam kenyataan saat ini, ia akan menyelesaikan studinya, lulus, dan menjadi seorang psikiater, lalu menjalani hidupnya dengan tenang dan damai.
Saat itu tiba, ia tidak ingin menimbulkan terlalu banyak masalah, dan ia juga tidak memiliki stamina mental untuk menjalankan terlalu banyak hal sekaligus.
Xie Qingcheng berencana untuk mencurahkan seluruh sisa energinya untuk memberantas penyakit mental.
Ia mengingat seperti apa neraka itu.
Karena itu, ia tidak ingin ada lagi orang yang jatuh ke dalam kegelapan tersebut.
Inilah alasan mengapa ia tidak langsung menjawab ketika He Jiwei memintanya untuk menjadi dokter pribadi He Yu. Sebab, ia tidak memiliki cukup tenaga untuk mengabdikan dirinya sepenuhnya.
Tentu saja, menyelamatkan satu orang itu penting, tetapi masih ada banyak masalah lain yang harus ia dalami dan atasi—misalnya, masih ada banyak orang lain yang menderita depresi, gangguan bipolar, autisme...
Dan lain sebagainya.
Jika saja ia tidak melihat bagaimana Lü Zhishu memperlakukan anaknya, jika saja ia tidak menyaksikan dengan matanya sendiri betapa He Yu menderita bahkan lebih dalam daripada yang pernah ia alami…
Maka awalnya, ia tidak akan pernah bertahan.
He Yu adalah sesuatu yang tak terduga dalam hidupnya—sebuah kecelakaan yang tidak pernah ia perkirakan.
Xie Qingcheng tidak bisa memberi tahu siapa pun bahwa ia juga pernah menjadi subjek RN-13, bahwa ia adalah Kaisar Pertama yang sering dibicarakan orang-orang.
Namun, pada akhirnya, ia memilih untuk tetap berada di sisi Kasus #4. Untuk tetap berada di sisi anak yang kesepian itu.
Pada hari ketika bunga hydrangea musim panas bermekaran dengan harum, ketika naga muda yang baru tumbuh itu meringkuk tanpa daya dan memanggil dengan penuh kepedihan, berharap ada seseorang di dunia ini yang bisa memahami penderitaannya dan merasakan apa yang ia rasakan.
Xie Qingcheng mendengar jeritan kesepiannya, tetapi ia tidak bisa merespons—ia hanya bisa menatapnya dengan tenang, lalu mengulurkan tangannya kepada pemuda itu, sebagaimana Qin Ciyan pernah melakukannya untuknya.
Dan bertanya, "Bukankah itu menyakitkan?"
Segalanya seharusnya berjalan dengan damai, seperti ini.
Sesuai dengan kontrak yang telah ia tandatangani dengan He Jiwei, ia akan tetap bersama He Yu selama sepuluh tahun. Karena He Yu benar-benar terlalu kekurangan kasih sayang dan perhatian, hidupnya jauh lebih sepi dan menyedihkan dibandingkan pasien Psychological Ebola lainnya.
Ia berkata, "Tak satu pun dari kalian memahami aku," tetapi ia tidak tahu bahwa ada pasien lain di dunia ini yang hampir sepenuhnya menaklukkan penyakitnya dan kembali menjadi manusia normal.
Meskipun Xie Qingcheng terus memberinya dorongan, ia tidak bisa banyak bicara. Oleh karena itu, di masa lalu, ia sering khawatir bahwa kata-katanya tidak akan mampu meninggalkan kesan mendalam dalam diri He Yu.
Namun, untungnya, He Yu tidak terlalu memberontak; pada akhirnya, ia sebenarnya sangat patuh.
Ia mengingat dengan baik semua ajaran Xie Qingcheng, dengan membabi buta meniru ketenangan Xie Qingcheng dan mengikuti jejaknya.
Awalnya, Xie Qingcheng seharusnya bisa membimbingnya keluar dari kubangan penyakit yang dalam dengan cara ini.
Itu adalah rencana yang seharusnya berjalan, jika saja Qin Ciyan tidak mengalami kemalangan...
"Lao-Qin, terkadang kau benar-benar terlalu ceroboh."
Siapa yang tahu sudah berapa kali terjadi—karena kebaikannya sendiri, karena kepeduliannya terhadap pasien, Qin Ciyan menjadi sasaran gangguan medis, laporan, dan keluhan.
Xie Qingcheng berdiri di dekat jendela kantornya, menatap hujan deras yang turun di luar sambil berbicara.
Saat itu, Qin Ciyan sudah berusia enam puluhan. Setelah pensiun dari jabatannya di Yanzhou, ia kembali dipekerjakan oleh sekolah kedokteran di Huzhou.
Sedangkan Xie Qingcheng, ia telah lulus dan menjadi dokter di Rumah Sakit Pertama Huzhou.
Seperti sebelumnya, mereka berdua tidak pernah menunjukkan hubungan dekat mereka di depan orang lain.
Akibatnya, tidak ada satu pun murid Qin Ciyan yang tahu bahwa Dokter Xie dari departemen psikiatri sebenarnya adalah da-shixiong (kakak senior) mereka. Xie Qingcheng adalah seseorang yang tersembunyi dalam bayang-bayang, tak pernah dikenali oleh orang lain.
"Lihat dirimu, bertindak begitu nekat. Bukankah aku juga pernah melakukan hal-hal seperti ini sebelumnya? Jadi bagaimana jika mereka membuat keributan medis—ketika pasien sedang dalam suasana hati yang buruk dan tidak memahami situasi, terkadang mereka bisa merasa sangat frustrasi. Tetapi aku seorang dokter, bukan? Bagaimanapun juga, dokter tidak boleh membiarkan pasien mengendalikan mereka, atau membiarkan pasien menentukan jalannya pengobatan, bukan? Jika aku tahu bagaimana cara membantu pasien, tidak peduli seberapa besar mereka tidak memahami, aku tetap harus melakukan tugas sesuai keyakinanku. Itu adalah tanggung jawabku. Aku sudah melewati usia enam puluh, aku harus mengikuti kata hatiku."
Xie Qingcheng mengernyit dan menghela napas, "Lao-Qin, beberapa hal telah berubah. Masyarakat saat ini semakin kompleks. Tidak sesederhana yang kau pikirkan."
"Ya, kau adalah seorang dokter senior, sekaligus cendekiawan terkemuka di negeri ini."
Melihat ekspresi Qin Ciyan, Xie Qingcheng tahu bahwa pria itu ingin menyela, jadi ia segera melanjutkan perkataannya.
"Tapi ini tidak ada hubungannya dengan seberapa tinggi jabatan atau prestise yang kau miliki. Memang benar, tidak masalah jika mereka mengajukan keluhan atau laporan terhadapmu, itu tidak akan memengaruhimu secara langsung. Namun, saat ini gangguan medis bukan hanya sekadar masalah administrasi—pria yang terakhir kali itu—dia hampir menyerangmu."
"Pria yang mana?"
"Yang istrinya mengalami cedera kepala akibat benda jatuh—kasus di mana pelakunya belum ditemukan sampai sekarang."
"Oh…" Qin Ciyan mengingatnya, "Ah, pria itu."
"Kalau saja petugas keamanan tidak kebetulan melewati tempat itu dan menangkapnya tepat waktu, siapa yang tahu seberapa buruk keadaannya bisa menjadi." Xie Qingcheng mengingatkannya dengan serius. "Bajingan itu membawa pisau dapur. Jangan lupakan itu."
Qin Ciyan merasa malu dan tidak berbicara lagi.
Saat masih muda, dialah yang sering menasihati Xie Qingcheng. Namun, seiring bertambahnya usia, pikirannya menjadi lebih terbuka, hatinya lebih lembut, dan temperamennya jauh lebih tenang dibandingkan sebelumnya.
Karena itu, belakangan ini, justru Xie Qingcheng yang sering menegurnya.
Qin Ciyan mendengarkan banyak nasihat tulus dari Xie Qingcheng—semuanya bermuara pada satu hal: bahwa ia tidak bisa lagi mengabaikan aturan seperti dulu dan mempertaruhkan nyawanya demi melakukan sesuatu.
Setelah mendengarkan hingga akhir, Qin Ciyan tiba-tiba tersenyum.
Senyuman lelaki tua itu memang tidak begitu indah, tetapi Xie Qingcheng berharap bisa melihatnya seperti itu hingga usianya mencapai seratus tahun—penuh vitalitas, dengan kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya.
Orang tua itu berkata, "Xiao-Xie. Kau tahu apa yang sedang kupikirkan?"
"..."
"Aku berpikir bahwa jika Zhouzhou masih hidup, dia pasti akan menasihatiku tentang bagaimana menyesuaikan diri dengan generasimu, sama seperti yang kau lakukan sekarang."
Xie Qingcheng menghentikan khotbahnya.
Qin Ciyan tersenyum lebar saat ia berdiri dengan jas dokternya, kedua tangan disilangkan di belakang punggung, menatap Xie Qingcheng, yang juga mengenakan jas putihnya sendiri.
"Lalu, kau tahu apa yang sedang kupikirkan?"
"Apa yang kau pikirkan?"
"Aku berpikir bahwa jika ayahku masih hidup, usianya kira-kira akan sebaya denganmu. Dan jika aku mengatakan hal-hal seperti ini kepadanya, kemungkinan besar dia akan merespons dengan sikap santai yang sama seperti yang kau tunjukkan sekarang."
Qin Ciyan tertawa terbahak-bahak lalu melangkah maju dan menepuk bahu Xie Qingcheng.
"Aku sudah mendengar, aku sudah mendengar."
"Tenang saja, Xiao-Xie, aku yakin hati manusia tidak sekejam itu… berhentilah menatapku seperti itu, aku akan lebih berhati-hati di masa depan, cukup, bukan?"
Namun, Xie Qingcheng tahu bahwa sebenarnya Qin Ciyan tidak benar-benar mendengarkannya.
Qin Ciyan tidak benar-benar mendengar, dia hanya menenangkan Xie Qingcheng.
Setelah percakapan ini, terlepas dari apakah tindakannya melanggar peraturan rumah sakit atau tidak, Qin Ciyan tetap bersikeras untuk selalu mengutamakan pasien dalam pekerjaannya.
Baginya, ia adalah seorang dokter, dan sebagai dokter, dogma, aturan, serta reputasi bukanlah hal yang paling penting—ia menjadi dokter karena ia ingin menyelamatkan nyawa.
Jika laporan, keluhan, dan gangguan medis begitu menakutkan hingga menghalanginya untuk melakukan tugasnya, maka apa gunanya menjadi dokter?
Seseorang yang memiliki idealisme bisa saja terluka, disiksa, atau bahkan dibunuh, tetapi hatinya tidak akan pernah bisa dikalahkan.
Jika itu yang dikatakan lelaki tua itu, maka Xie Qingcheng tidak bisa lagi membujuknya.
Satu-satunya hal yang bisa disyukurinya adalah bahwa setelah putri Tabib Agung Qin pindah ke luar negeri dan menikah, ia tidak lagi mengambil terlalu banyak shift lembur seperti sebelumnya—mungkin karena ia akhirnya ingin menghabiskan lebih banyak waktu di rumah bersama istrinya.
Namun, sepanjang hidupnya, ia selalu sibuk dan tidak terbiasa memiliki waktu luang untuk dirinya sendiri. Jadi, ketika ia beristirahat di rumah, Qin Ciyan mulai menyusun tulisannya.
Qin Ciyan telah mengumpulkan banyak pengalaman selama bertahun-tahun. Jika ia dapat mengorganisir dan menuliskannya, lalu menyunting dan menyusunnya menjadi satu buku, maka itu akan menjadi sebuah karya besar yang dapat memberi manfaat bagi banyak orang yang terperangkap dalam jerat penyakit.
Namun sebelum Lao-Qin dapat menyelesaikan bukunya, bayangan gelap menyelimuti langit Huzhou.
Pembunuhan yang dilakukan oleh Yi Beihai merenggut nyawa lelaki tua ini, yang telah mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk memberikan lebih dari yang seharusnya bagi para pasiennya.
Terlebih lagi, pada hari itu, jika bukan karena Yi Beihai, lelaki tua itu sebenarnya berencana untuk pulang dan merayakan ulang tahun istrinya.
Di dalam sakunya, masih tersimpan hadiah yang Xie Qingcheng tinggalkan di kantornya pagi itu.
Hadiah itu adalah saputangan sutra buatan tangan oleh seniman bordir terbaik di Suzhou—karena banyak orang dari generasi lama masih memiliki kebiasaan membawa saputangan.
Saputangan itu dibuat khusus, dengan sulaman ubur-ubur bulan berukuran kecil menggunakan benang perak pucat. Keahlian sang seniman begitu luar biasa hingga, saat terkena sinar matahari, ubur-ubur itu tampak seolah-olah benar-benar melayang di atas kain.
Kemudian, Xie Qingcheng melihat saputangan itu di antara barang-barang pribadi yang didokumentasikan oleh polisi.
Saputangan itu sudah berlumuran darah.
Semua keindahannya telah lenyap, tak lagi terlihat jelas.
Ternyata, kebajikan yang telah bertahan selama 650 juta tahun dapat layu begitu saja di tangan seorang pembunuh berusia tiga puluhan.
Saat itulah Xie Qingcheng mulai kecanduan merokok.
Seolah-olah rokok yang dulu milik Qin Ciyan telah kembali ke tangannya.
Setiap kali ia menghisap rokok dan mencium aroma yang begitu familiar itu, ia merasa seolah-olah lelaki tua itu tidak pernah pergi.
Pada hari upacara peringatan Qin Ciyan, banyak orang dari rumah sakit menghadiri acara tersebut.
Xie Qingcheng juga mengajukan permohonan untuk hadir, tetapi ditolak oleh pihak rumah sakit.
Alasan yang diberikan adalah karena ia bukan murid Qin Ciyan, juga bukan rekan dari departemen Profesor Qin yang telah berjuang bersamanya.
Departemen mereka telah menunjuk perwakilan untuk menghadiri pemakaman. Meskipun kematian seorang kolega adalah hal yang menyedihkan, rumah sakit tetap harus beroperasi seperti biasa, sehingga tidak semua orang dapat mengambil cuti untuk mengantarkan Guru Besar Qin dalam perjalanan terakhirnya.
Hanya orang-orang terpenting di sekitarnya yang diberikan hak istimewa itu.
Dan Xie Qingcheng bukan siapa-siapa.
Tak seorang pun akan pernah tahu identitas orang yang telah menghadiahkan Qin Ciyan saputangan yang ditemukan di antara barang-barangnya.
Orang yang telah meminta pengrajin bordir untuk menyulam tulisan: Untuk Laoshi.
Dulu, ketika Xie Qingcheng nyaris kehilangan nyawanya dalam pencarian kebenaran atas kematian orang tuanya, Qin Ciyan-lah yang memberinya kesempatan kedua untuk hidup.
Pada tahun itu, jalan hidup seorang pria yang telah kehilangan putra tercintanya untuk selamanya dan seorang pemuda yang telah ditinggalkan oleh orang tuanya bertemu di suatu hari bersalju di Yanzhou.
Dua dekade berikutnya, mereka menjalani sebuah hubungan yang tak diketahui oleh siapa pun. Seiring berjalannya waktu, sang pria menjadi seorang sesepuh, dan sang pemuda bergegas menuju usia empat puluh. Mereka seperti guru dan murid, seperti ayah dan anak, seperti sepasang saudara, seperti rekan seperjuangan. Dalam rentang waktu jutaan tahun, mungkin sebuah persahabatan akan lenyap dalam sekejap mata, tetapi itu tidak pernah berarti sia-sia.
Karena setiap emosi yang tulus, setiap ideal yang luhur, dan setiap kebaikan yang murni mengandung kekuatan paling mendalam dan agung di dunia ini.
Ini adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa dipahami oleh mayat hidup seperti Yi Beihai, yang menjalani hidup dalam kehampaan dan keterpurukan.
Pada hari kremasi gurunya, si bukan siapa-siapa Xie Qingcheng tetap tinggal di ruang konsultasi, menerima pasien yang datang dengan berbagai keluhan, satu per satu.
Pukul sepuluh tiga puluh, ia menekan tombol untuk menghentikan sementara pemanggilan nomor pasien baru.
Ia berdiri, berjalan menuju jendela—celah kecil itu menjadi jembatan terakhir antara dirinya dan gurunya.
Sudah tak terhitung berapa kali Qin Ciyan sengaja mencari alasan untuk berjalan-jalan ke departemennya, tersenyum sambil mengobrol beberapa kata dengan Xie Qingcheng, dan mengisap sebatang rokok di depan jendela ini.
Dulu, Xie Qingcheng akan merasa kesal dan menegurnya, "Bisakah kau berhenti merokok? Di usiamu sekarang, dan sebagai seorang dokter pula—sungguh tidak masuk akal."
Qin Ciyan hanya akan tertawa dan membalas, "Dasar bocah, kau selalu saja mengatur-atur laoshi-mu."
Di luar, hujan turun dengan deras, persis seperti saat Qin Ciyan pernah mengulurkan tangan padanya ketika ia duduk kelelahan di tangga tanpa kata-kata.
Sirene meraung saat mobil-mobil polisi membuka jalan. Bahkan dari lantai atas gedung rumah sakit, ia masih bisa mendengar suara tangis pilu orang-orang yang mengucapkan selamat tinggal kepada Profesor Qin yang terhormat.
Mereka memandangi mobil jenazah yang bergerak perlahan dan penuh hormat di sepanjang jalan, menggenggam krisan putih di tangan mereka, sementara kata-kata seperti "dokter yang agung dan penuh belas kasih" serta "cendekiawan terkemuka negara" mengalir serempak dari mulut mereka sebagai penghormatan terakhir.
Namun, ketika Xie Qingcheng berdiri di balik jendela kecil itu dan memandangi mobil jenazah yang melewati tirai hujan, satu-satunya yang terlintas dalam benaknya hanyalah senyum Qin Ciyan yang berkata:
"Xiao-Xie, kau sedang menguliahi aku lagi."
"Jika Zhouzhou masih hidup, usianya pasti sudah hampir seumuran denganmu. Mungkin dia juga akan memberi ceramah panjang lebar pada ayah tuanya, seperti yang kau lakukan sekarang."
Sudah lebih dari dua dekade sejak Zhouzhou meninggalkan dunia ini.
Begitu banyak waktu telah berlalu hingga ayah yang pernah mengubur putranya lebih awal dari seharusnya kini bisa membicarakannya dengan begitu tenang dan lembut kepada Xie Qingcheng, di bawah cahaya sore yang cemerlang.
Dan kini, saat Xie Qingcheng menyaksikan kepergiannya untuk terakhir kali, ia menyalakan sebatang rokok.
Lalu, ia meletakkannya di ambang jendela—tempat Qin Ciyan sering berdiri, merokok sambil melontarkan candaan kepada Xie Qingcheng.
Abu jatuh perlahan, berbisik halus saat terbawa angin.
Di tengah hujan yang terus mengguyur, kabut samar berubah menjadi ubur-ubur Brooklyn, melayang datang dari masa lalu—dari saat Qin Ciyan masih menuntut ilmu di Amerika, ketika cendekiawan terhormat itu masih seorang mahasiswa muda—seakan datang untuk mengucapkan selamat tinggal kepada pria tua yang begitu suci dan murni ini.
"Ini rokok yang terakhir, Lao-Qin."
Xie Qingcheng berdiri dalam kepulan asap, berbisik pelan sambil menutup matanya.
Saat itu, bau asap rokok memberinya ketenangan.
Seolah-olah Qin Ciyan belum benar-benar pergi. Seolah-olah peristiwa mengerikan itu belum terjadi.
Seolah-olah pria tua itu masih berdiri di sana, dengan punggungnya yang sedikit membungkuk, di sisinya. Sebentar lagi, dia akan kembali ke kantornya yang bersebelahan, lalu menutup pintunya dengan lembut saat pergi.
Xie Qingcheng bahkan merasa seakan bisa mendengar suara klik samar itu.
Namun, ia tahu bahwa semua itu hanyalah bayangan semata.
Gurunya. Figur ayahnya. Dokter terbaik yang pernah ia kenal.
Seorang pengajar yang bijaksana, seorang sosok penuh kasih yang tak akan pernah ia temui lagi.
Yang tak akan pernah kembali.
Di luar, iring-iringan mobil jenazah perlahan menjauh, suara petasan berbunyi dengan khidmat, dan di dalam ruangan, rokok itu pun padam.
Di dalam kantor Xie Qingcheng, terdapat seikat bunga lili—dengan lembut, ia melemparkan bunga-bunga putih itu dari atas gedung.
Ia tahu bahwa Qin Ciyan tidak menyukai krisan. Pria tua itu pasti lebih senang diantar pergi dengan harum lili yang semerbak.
Pada saat itu, air mata Xie Qingcheng akhirnya mengalir deras, seperti hujan.
Seolah-olah ia kembali menjadi pemuda dari lebih dari satu dekade yang lalu—dan hanya pada hari ini, saat ia mengucapkan selamat tinggal kepada gurunya, ia menengok kembali masa mudanya untuk terakhir kalinya.
Footnote :
1. kekerasan terhadap praktisi medis, terutama dokter (wikipedia)
2. saudara magang senior yang lebih tua
3. 老 lao digunakan sebagai akhiran dan bukan awalan di sini, menunjukkan rasa hormat kepada seseorang yang berkedudukan tinggi (pertukaran tumpukan )