Seminggu kemudian berlalu tanpa ada orang yang berani
masuk ke dalam toilet tersebut, gara-gara suatu peristi- wa yang menyebalkan. Ada seorang oknum, pasti bang- sat keparat yang kurang moral, dan dikutuk oleh hampir
semua pelanggan setia jasa-jasa toilet, yang bikin ulah menjijikkan. Entah hari apa dan jam berapa, ia masuk
toilet dan segera saja menghujani kakus dengan roket- roket yang keluar dari pantatnya. Gobloknya, ia kemu- dian keluar begitu saja tanpa membersihkan sampah- sampah keparatnya, yang menumpuk saling berpelukan
di lubang kakus. Siapa pun yang kemudian masuk setelah itu, bisa dipastikan kehilangan selera untuk apa pun di dalam toilet. Semua orang menghindarinya. Semua? Tidak! Ternyata ada juga anak sinting yang masuk ke toilet itu dengan sadar. Kejadiannya di saat jam-jam kuliah sedang
Corat-Coret di Toilet final.indd 26 3/14/2014 2:42:14 PM
27 berlangsung, dan anak itu meluncur dari ruang kuliah
sambil memegangi bagian depan celananya. Takut ke- bobolan. Ia masuk ke toilet pertama di lantai atas. Terisi.
Toilet kedua, juga terisi. Toilet pertama lantai bawah,
juga terisi. Kakinya mulai gemetaran, lompat sana lom- pat sini, mempertahankan diri jangan sampai jebol di
ruang dan waktu yang tidak semestinya. Karena sudah tidak tahan, maka masuklah juga ia ke toilet sialan itu. Dalam satu gerakan tergopoh, ia berdiri dengan pasrah, dan wussssh …. Selama itu ia tahan napas dan memejamkan mata. Namun kemudian, ia memutuskan untuk melakukan suatu tindakan heroik, guna mengakhiri sumber horor di
toilet ini. Masih sambil memejamkan mata, dan menu- tup hidung, ia mengguyur lubang kakus, menyerang
onggokan-onggokan yang nyaris sudah tanpa bentuk, hingga semuanya larut dan menghilang. Si bocah merasa lega, dan mulailah ia membaca pesan-pesan di dinding dengan kemarahan yang tersisa dari tragedi yang baru saja terjadi. Ia ambil spidolnya, warna biru, dan segera ikut menulis, "Ini dia reaksioner brengsek, yang ngebom tanpa dibanjur! Jangan-jangan tak pernah cebok pula. Hey, Kawan, aku memang PKI: Penggemar Komik Indonesia. Kau mau apa, heh?"
* * *
Semua orang tahu belaka, toilet itu dicat agar tampak bersih dan terasa nyaman. Sebelumnya, ia menampilkan
Corat-Coret di Toilet final.indd 27 3/14/2014 2:42:14 PM
28
wajahnya yang paling nyata: ruangan kecil yang marji- nal, tempat banyak orang berceloteh. Dindingnya penuh
dengan tulisan-tulisan konyol yang saling membalas,
tentang gagasan-gagasan radikal progresif, tentang ajak- an kencan mesum, dan
menjadi sebuah problem sosial. Lewat sudut pandangnya, persoalan-persoalan politik, tradisi, sejarah, dan kemanusiaan dikemas begitu singkat, padat, sekaligus tajam. Tema paling dominan dari kumpulan cerpen ini adalah kemanusiaan, khususnya kritik terhadapnya. Lewat cerpen pembuka misalnya, "Peter Pan", berbicara tentang politik. Cerpen itu berhasil mengkritik kegagalan reformasi 98. Perjuangan itu, akhirnya, hanya berhasil mengganti diktator tanpa perubahan yang berarti. "Kami mengangkat penguasa yang baru, tapi ia tak pernah dapat menyentuh kejahatan sang diktator," demikian kata Tuan Puteri sambil meratapi Peter Pan, kekasihnya, yang "hilang". Cerpen "Corat-Coret di Toilet" juga tak kalah pedas. Toilet digambarkan sebagai tempat kebebasan bersuara. Masyarakat dari kelas mana pun, bebas berbicara di toilet. Perbedaan pandangan politik disampaikan lewat coretan di dinding toilet. Namun, dibalik semua perbedaan pandangan politik itu, setidaknya memiliki kesamaan. "Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya pada dinding toilet," begitu dinding toilet itu berteriak, sambil disambung ratusan orang yang lainnya, "Aku juga." Ada juga cerita tentang kejamnya perang. Hanya tentara yang bisa bernyanyi sumbang di tengah kecamuk perang. Selebihnya, mahluk tak berdosa yang menderita. Bahkan, orang gila (yang tak lagi punya kesadaran) bisa mati akibat perang yang tak akan pernah bisa dimengertinya. Eka Kurniawan bertutur lewat cerpennya, "Hikayat si Orang Gilang". Kisah ironis tentang perang juga hadir lewat "Rayuan Dusta Untuk Marietje" dan "Siapa Kirim Aku Bunga?" Perang dan penjajahan hanya akan membuat rasa haus manusia pada cinta menjadi tak terpuaskan. Perang hanya akan menghadirkan derita. Siapa pun tak akan pernah bisa bahagia karena perang. Lewat caranya yang cerdik, Eka Kurniawan juga bicara tentang feminisme. "Pemujaan" terhadap keperawanan dan anggapan bahwa
Seminggu kemudian berlalu tanpa ada orang yang berani
masuk ke dalam toilet tersebut, gara-gara suatu peristi- wa yang menyebalkan. Ada seorang oknum, pasti bang- sat keparat yang kurang moral, dan dikutuk oleh hampir
semua pelanggan setia jasa-jasa toilet, yang bikin ulah menjijikkan. Entah hari apa dan jam berapa, ia masuk
toilet dan segera saja menghujani kakus dengan roket- roket yang keluar dari pantatnya. Gobloknya, ia kemu- dian keluar begitu saja tanpa membersihkan sampah- sampah keparatnya, yang menumpuk saling berpelukan
di lubang kakus. Siapa pun yang kemudian masuk setelah itu, bisa dipastikan kehilangan selera untuk apa pun di dalam toilet. Semua orang menghindarinya. Semua? Tidak! Ternyata ada juga anak sinting yang masuk ke toilet itu dengan sadar. Kejadiannya di saat jam-jam kuliah sedang
Toilet digambarkan sebagai tempat kebebasan bersuara. Masyarakat dari kelas mana pun, bebas berbicara di toilet. Perbedaan pandangan politik disampaikan lewat coretan di dinding toilet. Namun, dibalik semua perbedaan pandangan politik itu, setidaknya memiliki kesamaan. "Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya pada dinding toilet," begitu dinding toilet itu berteriak, sambil disambung ratusan orang yang lainnya, "Aku juga." Ada juga cerita tentang kejamnya perang. Hanya tentara yang bisa bernyanyi sumbang di tengah kecamuk perang. Selebihnya, mahluk tak berdosa yang menderita. Bahkan, orang gila (yang tak lagi punya kesadaran) bisa mati akibat perang yang tak akan pernah bisa dimengertinya. Eka Kurniawan bertutur lewat cerpennya, "Hikayat si Orang Gilang". Kisah ironis tentang perang juga hadir lewat "Rayuan Dusta Untuk Marietje" dan "Siapa Kirim Aku Bunga?" Perang dan penjajahan hanya akan membuat rasa haus manusia pada cinta menjadi tak terpuaskan. Perang hanya akan menghadirkan derita. Siapa pun tak akan pernah bisa bahagia karena perang. Lewat caranya yang cerdik, Eka Kurniawan juga bicara tentang feminisme. "Pemujaan" terhadap keperawanan dan anggapan bahwa perempuan adalah mahluk lemah yang harus terus dijaga, hadir lewat cerpen "Dongeng Sebelum Bercinta" dan "Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam". Keduanya mengambil perspektif dari perempuan yang dicurangi oleh tradisi patriarkis. Tradisi patriarkis memaksa perempuan tak bisa tumbuh jadi manusia mandiri. Mereka terpasung oleh tradisi, adat, norma, dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Gaya menulis Eka Kurniawan dalam kumpulan cerpen ini sangat menggelitik dan jauh dari kesan dramatisasi. Kalimatnya sederhana dan mudah dicerna. Alurnya pun mudah diikuti. Ciri khas novel Eka Kurniawan yang sering menggunakan alur maju-mundur, hampir tidak ditemukan dikumpulan cerpen ini. Setiap membaca cerpennya, saya dipaksa untuk tidak sabar mengetahui akhirnya karena pasti akan penuh kejutan. Eka tampaknya berhasil menyajikan akhir cerita yang tak mudah ditebak. Ibarat menonton film, kumpulan cerpen ini bisa disebut bergenre twist. Kejutan akan terlihat justru diakhir cerita. Salah satu kelemahan kumpulan cerpen ini adalah kurang kreatifnya Eka Kurniawan menamai tokoh-tokohnya. Beberapa nama tokoh dalam kumpulan cerpen, ini bisa dikatakan, "dicuplik" dari novelnya yang lain. Sebut saja misalnya nama Edi Idiot dalam cerpen "Kandang Babi" adalah nama preman dalam novel "Cantik Itu Luka". Ada juga nama Alamanda dalam "Dongeng Sebelum Bercinta" juga nama yang sama dalam novel "Cantik Itu Luka" sebagai anak putri dari Dewi Ayu. Ada
Seminggu kemudian berlalu tanpa ada orang yang berani
masuk ke dalam toilet tersebut, gara-gara suatu peristi- wa yang menyebalkan. Ada seorang oknum, pasti bang- sat keparat yang kurang moral, dan dikutuk oleh hampir
semua pelanggan setia jasa-jasa toilet, yang bikin ulah menjijikkan. Entah hari apa dan jam berapa, ia masuk
toilet dan segera saja menghujani kakus dengan roket- roket yang keluar dari pantatnya. Gobloknya, ia kemu- dian keluar begitu saja tanpa membersihkan sampah- sampah keparatnya, yang menumpuk saling berpelukan
di lubang kakus. Siapa pun yang kemudian masuk setelah itu, bisa dipastikan kehilangan selera untuk apa pun di dalam toilet. Semua orang menghindarinya. Semua? Tidak! Ternyata ada juga anak sinting yang masuk ke toilet itu dengan sadar. Kejadiannya di saat jam-jam kuliah sedang
Corat-Coret di Toilet final.indd 26 3/14/2014 2:42:14 PM
27 berlangsung, dan anak itu meluncur dari ruang kuliah
sambil memegangi bagian depan celananya. Takut ke- bobolan. Ia masuk ke toilet pertama di lantai atas. Terisi.
Toilet kedua, juga terisi. Toilet pertama lantai bawah,
juga terisi. Kakinya mulai gemetaran, lompat sana lom- pat sini, mempertahankan diri jangan sampai jebol di
ruang dan waktu yang tidak semestinya. Karena sudah tidak tahan, maka masuklah juga ia ke toilet sialan itu. Dalam satu gerakan tergopoh, ia berdiri dengan pasrah, dan wussssh …. Selama itu ia tahan napas dan memejamkan mata. Namun kemudian, ia memutuskan untuk melakukan suatu tindakan heroik, guna mengakhiri sumber horor di
toilet ini. Masih sambil memejamkan mata, dan menu- tup hidung, ia mengguyur lubang kakus, menyerang
onggokan-onggokan yang nyaris sudah tanpa bentuk, hingga semuanya larut dan menghilang. Si bocah merasa lega, dan mulailah ia membaca pesan-pesan di dinding dengan kemarahan yang tersisa dari tragedi yang baru saja terjadi. Ia ambil spidolnya, warna biru, dan segera ikut menulis, "Ini dia reaksioner brengsek, yang ngebom tanpa dibanjur! Jangan-jangan tak pernah cebok pula. Hey, Kawan, aku memang PKI: Penggemar Komik Indonesia. Kau mau apa, heh?"
* * *
Semua orang tahu belaka, toilet itu dicat agar tampak bersih dan terasa nyaman. Sebelumnya, ia menampilkan
Corat-Coret di Toilet final.indd 27 3/14/2014 2:42:14 PM
28
wajahnya yang paling nyata: ruangan kecil yang marji- nal, tempat banyak orang berceloteh. Dindingnya penuh
dengan tulisan-tulisan konyol yang saling membalas,
tentang gagasan-gagasan radikal progresif, tentang ajak- an kencan mesum, dan
menjadi sebuah problem sosial. Lewat sudut pandangnya, persoalan-persoalan politik, tradisi, sejarah, dan kemanusiaan dikemas begitu singkat, padat, sekaligus tajam. Tema paling dominan dari kumpulan cerpen ini adalah kemanusiaan, khususnya kritik terhadapnya. Lewat cerpen pembuka misalnya, "Peter Pan", berbicara tentang politik. Cerpen itu berhasil mengkritik kegagalan reformasi 98. Perjuangan itu, akhirnya, hanya berhasil mengganti diktator tanpa perubahan yang berarti. "Kami mengangkat penguasa yang baru, tapi ia tak pernah dapat menyentuh kejahatan sang diktator," demikian kata Tuan Puteri sambil meratapi Peter Pan, kekasihnya, yang "hilang". Cerpen "Corat-Coret di Toilet" juga tak kalah pedas. Toilet digambarkan sebagai tempat kebebasan bersuara. Masyarakat dari kelas mana pun, bebas berbicara di toilet. Perbedaan pandangan politik disampaikan lewat coretan di dinding toilet. Namun, dibalik semua perbedaan pandangan politik itu, setidaknya memiliki kesamaan. "Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya pada dinding toilet," begitu dinding toilet itu berteriak, sambil disambung ratusan orang yang lainnya, "Aku juga." Ada juga cerita tentang kejamnya perang. Hanya tentara yang bisa bernyanyi sumbang di tengah kecamuk perang. Selebihnya, mahluk tak berdosa yang menderita. Bahkan, orang gila (yang tak lagi punya kesadaran) bisa mati akibat perang yang tak akan pernah bisa dimengertinya. Eka Kurniawan bertutur lewat cerpennya, "Hikayat si Orang Gilang". Kisah ironis tentang perang juga hadir lewat "Rayuan Dusta Untuk Marietje" dan "Siapa Kirim Aku Bunga?" Perang dan penjajahan hanya akan membuat rasa haus manusia pada cinta menjadi tak terpuaskan. Perang hanya akan menghadirkan derita. Siapa pun tak akan pernah bisa bahagia karena perang. Lewat caranya yang cerdik, Eka Kurniawan juga bicara tentang feminisme. "Pemujaan" terhadap keperawanan dan anggapan bahwa
Seminggu kemudian berlalu tanpa ada orang yang berani
masuk ke dalam toilet tersebut, gara-gara suatu peristi- wa yang menyebalkan. Ada seorang oknum, pasti bang- sat keparat yang kurang moral, dan dikutuk oleh hampir
semua pelanggan setia jasa-jasa toilet, yang bikin ulah menjijikkan. Entah hari apa dan jam berapa, ia masuk
toilet dan segera saja menghujani kakus dengan roket- roket yang keluar dari pantatnya. Gobloknya, ia kemu- dian keluar begitu saja tanpa membersihkan sampah- sampah keparatnya, yang menumpuk saling berpelukan
di lubang kakus. Siapa pun yang kemudian masuk setelah itu, bisa dipastikan kehilangan selera untuk apa pun di dalam toilet. Semua orang menghindarinya. Semua? Tidak! Ternyata ada juga anak sinting yang masuk ke toilet itu dengan sadar. Kejadiannya di saat jam-jam kuliah sedang
Toilet digambarkan sebagai tempat kebebasan bersuara. Masyarakat dari kelas mana pun, bebas berbicara di toilet. Perbedaan pandangan politik disampaikan lewat coretan di dinding toilet. Namun, dibalik semua perbedaan pandangan politik itu, setidaknya memiliki kesamaan. "Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya pada dinding toilet," begitu dinding toilet itu berteriak, sambil disambung ratusan orang yang lainnya, "Aku juga." Ada juga cerita tentang kejamnya perang. Hanya tentara yang bisa bernyanyi sumbang di tengah kecamuk perang. Selebihnya, mahluk tak berdosa yang menderita. Bahkan, orang gila (yang tak lagi punya kesadaran) bisa mati akibat perang yang tak akan pernah bisa dimengertinya. Eka Kurniawan bertutur lewat cerpennya, "Hikayat si Orang Gilang". Kisah ironis tentang perang juga hadir lewat "Rayuan Dusta Untuk Marietje" dan "Siapa Kirim Aku Bunga?" Perang dan penjajahan hanya akan membuat rasa haus manusia pada cinta menjadi tak terpuaskan. Perang hanya akan menghadirkan derita. Siapa pun tak akan pernah bisa bahagia karena perang. Lewat caranya yang cerdik, Eka Kurniawan juga bicara tentang feminisme. "Pemujaan" terhadap keperawanan dan anggapan bahwa perempuan adalah mahluk lemah yang harus terus dijaga, hadir lewat cerpen "Dongeng Sebelum Bercinta" dan "Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam". Keduanya mengambil perspektif dari perempuan yang dicurangi oleh tradisi patriarkis. Tradisi patriarkis memaksa perempuan tak bisa tumbuh jadi manusia mandiri. Mereka terpasung oleh tradisi, adat, norma, dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Gaya menulis Eka Kurniawan dalam kumpulan cerpen ini sangat menggelitik dan jauh dari kesan dramatisasi. Kalimatnya sederhana dan mudah dicerna. Alurnya pun mudah diikuti. Ciri khas novel Eka Kurniawan yang sering menggunakan alur maju-mundur, hampir tidak ditemukan dikumpulan cerpen ini. Setiap membaca cerpennya, saya dipaksa untuk tidak sabar mengetahui akhirnya karena pasti akan penuh kejutan. Eka tampaknya berhasil menyajikan akhir cerita yang tak mudah ditebak. Ibarat menonton film, kumpulan cerpen ini bisa disebut bergenre twist. Kejutan akan terlihat justru diakhir cerita. Salah satu kelemahan kumpulan cerpen ini adalah kurang kreatifnya Eka Kurniawan menamai tokoh-tokohnya. Beberapa nama tokoh dalam kumpulan cerpen, ini bisa dikatakan, "dicuplik" dari novelnya yang lain. Sebut saja misalnya nama Edi Idiot dalam cerpen "Kandang Babi" adalah nama preman dalam novel "Cantik Itu Luka". Ada juga nama Alamanda dalam "Dongeng Sebelum Bercinta" juga nama yang sama dalam novel "Cantik Itu Luka" sebagai anak putri dari Dewi Ayu. Ada
Seminggu kemudian berlalu tanpa ada orang yang berani
masuk ke dalam toilet tersebut, gara-gara suatu peristi- wa yang menyebalkan. Ada seorang oknum, pasti bang- sat keparat yang kurang moral, dan dikutuk oleh hampir
semua pelanggan setia jasa-jasa toilet, yang bikin ulah menjijikkan. Entah hari apa dan jam berapa, ia masuk
toilet dan segera saja menghujani kakus dengan roket- roket yang keluar dari pantatnya. Gobloknya, ia kemu- dian keluar begitu saja tanpa membersihkan sampah- sampah keparatnya, yang menumpuk saling berpelukan
di lubang kakus. Siapa pun yang kemudian masuk setelah itu, bisa dipastikan kehilangan selera untuk apa pun di dalam toilet. Semua orang menghindarinya. Semua? Tidak! Ternyata ada juga anak sinting yang masuk ke toilet itu dengan sadar. Kejadiannya di saat jam-jam kuliah sedang
Corat-Coret di Toilet final.indd 26 3/14/2014 2:42:14 PM
27 berlangsung, dan anak itu meluncur dari ruang kuliah
sambil memegangi bagian depan celananya. Takut ke- bobolan. Ia masuk ke toilet pertama di lantai atas. Terisi.
Toilet kedua, juga terisi. Toilet pertama lantai bawah,
juga terisi. Kakinya mulai gemetaran, lompat sana lom- pat sini, mempertahankan diri jangan sampai jebol di
ruang dan waktu yang tidak semestinya. Karena sudah tidak tahan, maka masuklah juga ia ke toilet sialan itu. Dalam satu gerakan tergopoh, ia berdiri dengan pasrah, dan wussssh …. Selama itu ia tahan napas dan memejamkan mata. Namun kemudian, ia memutuskan untuk melakukan suatu tindakan heroik, guna mengakhiri sumber horor di
toilet ini. Masih sambil memejamkan mata, dan menu- tup hidung, ia mengguyur lubang kakus, menyerang
onggokan-onggokan yang nyaris sudah tanpa bentuk, hingga semuanya larut dan menghilang. Si bocah merasa lega, dan mulailah ia membaca pesan-pesan di dinding dengan kemarahan yang tersisa dari tragedi yang baru saja terjadi. Ia ambil spidolnya, warna biru, dan segera ikut menulis, "Ini dia reaksioner brengsek, yang ngebom tanpa dibanjur! Jangan-jangan tak pernah cebok pula. Hey, Kawan, aku memang PKI: Penggemar Komik Indonesia. Kau mau apa, heh?"
* * *
Semua orang tahu belaka, toilet itu dicat agar tampak bersih dan terasa nyaman. Sebelumnya, ia menampilkan
Corat-Coret di Toilet final.indd 27 3/14/2014 2:42:14 PM
28
wajahnya yang paling nyata: ruangan kecil yang marji- nal, tempat banyak orang berceloteh. Dindingnya penuh
dengan tulisan-tulisan konyol yang saling membalas,
tentang gagasan-gagasan radikal progresif, tentang ajak- an kencan mesum, dan
menjadi sebuah problem sosial. Lewat sudut pandangnya, persoalan-persoalan politik, tradisi, sejarah, dan kemanusiaan dikemas begitu singkat, padat, sekaligus tajam. Tema paling dominan dari kumpulan cerpen ini adalah kemanusiaan, khususnya kritik terhadapnya. Lewat cerpen pembuka misalnya, "Peter Pan", berbicara tentang politik. Cerpen itu berhasil mengkritik kegagalan reformasi 98. Perjuangan itu, akhirnya, hanya berhasil mengganti diktator tanpa perubahan yang berarti. "Kami mengangkat penguasa yang baru, tapi ia tak pernah dapat menyentuh kejahatan sang diktator," demikian kata Tuan Puteri sambil meratapi Peter Pan, kekasihnya, yang "hilang". Cerpen "Corat-Coret di Toilet" juga tak kalah pedas. Toilet digambarkan sebagai tempat kebebasan bersuara. Masyarakat dari kelas mana pun, bebas berbicara di toilet. Perbedaan pandangan politik disampaikan lewat coretan di dinding toilet. Namun, dibalik semua perbedaan pandangan politik itu, setidaknya memiliki kesamaan. "Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya pada dinding toilet," begitu dinding toilet itu berteriak, sambil disambung ratusan orang yang lainnya, "Aku juga." Ada juga cerita tentang kejamnya perang. Hanya tentara yang bisa bernyanyi sumbang di tengah kecamuk perang. Selebihnya, mahluk tak berdosa yang menderita. Bahkan, orang gila (yang tak lagi punya kesadaran) bisa mati akibat perang yang tak akan pernah bisa dimengertinya. Eka Kurniawan bertutur lewat cerpennya, "Hikayat si Orang Gilang". Kisah ironis tentang perang juga hadir lewat "Rayuan Dusta Untuk Marietje" dan "Siapa Kirim Aku Bunga?" Perang dan penjajahan hanya akan membuat rasa haus manusia pada cinta menjadi tak terpuaskan. Perang hanya akan menghadirkan derita. Siapa pun tak akan pernah bisa bahagia karena perang. Lewat caranya yang cerdik, Eka Kurniawan juga bicara tentang feminisme. "Pemujaan" terhadap keperawanan dan anggapan bahwa
Seminggu kemudian berlalu tanpa ada orang yang berani
masuk ke dalam toilet tersebut, gara-gara suatu peristi- wa yang menyebalkan. Ada seorang oknum, pasti bang- sat keparat yang kurang moral, dan dikutuk oleh hampir
semua pelanggan setia jasa-jasa toilet, yang bikin ulah menjijikkan. Entah hari apa dan jam berapa, ia masuk
toilet dan segera saja menghujani kakus dengan roket- roket yang keluar dari pantatnya. Gobloknya, ia kemu- dian keluar begitu saja tanpa membersihkan sampah- sampah keparatnya, yang menumpuk saling berpelukan
di lubang kakus. Siapa pun yang kemudian masuk setelah itu, bisa dipastikan kehilangan selera untuk apa pun di dalam toilet. Semua orang menghindarinya. Semua? Tidak! Ternyata ada juga anak sinting yang masuk ke toilet itu dengan sadar. Kejadiannya di saat jam-jam kuliah sedang
Toilet digambarkan sebagai tempat kebebasan bersuara. Masyarakat dari kelas mana pun, bebas berbicara di toilet. Perbedaan pandangan politik disampaikan lewat coretan di dinding toilet. Namun, dibalik semua perbedaan pandangan politik itu, setidaknya memiliki kesamaan. "Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya pada dinding toilet," begitu dinding toilet itu berteriak, sambil disambung ratusan orang yang lainnya, "Aku juga." Ada juga cerita tentang kejamnya perang. Hanya tentara yang bisa bernyanyi sumbang di tengah kecamuk perang. Selebihnya, mahluk tak berdosa yang menderita. Bahkan, orang gila (yang tak lagi punya kesadaran) bisa mati akibat perang yang tak akan pernah bisa dimengertinya. Eka Kurniawan bertutur lewat cerpennya, "Hikayat si Orang Gilang". Kisah ironis tentang perang juga hadir lewat "Rayuan Dusta Untuk Marietje" dan "Siapa Kirim Aku Bunga?" Perang dan penjajahan hanya akan membuat rasa haus manusia pada cinta menjadi tak terpuaskan. Perang hanya akan menghadirkan derita. Siapa pun tak akan pernah bisa bahagia karena perang. Lewat caranya yang cerdik, Eka Kurniawan juga bicara tentang feminisme. "Pemujaan" terhadap keperawanan dan anggapan bahwa perempuan adalah mahluk lemah yang harus terus dijaga, hadir lewat cerpen "Dongeng Sebelum Bercinta" dan "Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam". Keduanya mengambil perspektif dari perempuan yang dicurangi oleh tradisi patriarkis. Tradisi patriarkis memaksa perempuan tak bisa tumbuh jadi manusia mandiri. Mereka terpasung oleh tradisi, adat, norma, dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Gaya menulis Eka Kurniawan dalam kumpulan cerpen ini sangat menggelitik dan jauh dari kesan dramatisasi. Kalimatnya sederhana dan mudah dicerna. Alurnya pun mudah diikuti. Ciri khas novel Eka Kurniawan yang sering menggunakan alur maju-mundur, hampir tidak ditemukan dikumpulan cerpen ini. Setiap membaca cerpennya, saya dipaksa untuk tidak sabar mengetahui akhirnya karena pasti akan penuh kejutan. Eka tampaknya berhasil menyajikan akhir cerita yang tak mudah ditebak. Ibarat menonton film, kumpulan cerpen ini bisa disebut bergenre twist. Kejutan akan terlihat justru diakhir cerita. Salah satu kelemahan kumpulan cerpen ini adalah kurang kreatifnya Eka Kurniawan menamai tokoh-tokohnya. Beberapa nama tokoh dalam kumpulan cerpen, ini bisa dikatakan, "dicuplik" dari novelnya yang lain. Sebut saja misalnya nama Edi Idiot dalam cerpen "Kandang Babi" adalah nama preman dalam novel "Cantik Itu Luka". Ada juga nama Alamanda dalam "Dongeng Sebelum Bercinta" juga nama yang sama dalam novel "Cantik Itu Luka" sebagai anak putri dari Dewi Ayu. Ada
Seminggu kemudian berlalu tanpa ada orang yang berani
masuk ke dalam toilet tersebut, gara-gara suatu peristi- wa yang menyebalkan. Ada seorang oknum, pasti bang- sat keparat yang kurang moral, dan dikutuk oleh hampir
semua pelanggan setia jasa-jasa toilet, yang bikin ulah menjijikkan. Entah hari apa dan jam berapa, ia masuk
toilet dan segera saja menghujani kakus dengan roket- roket yang keluar dari pantatnya. Gobloknya, ia kemu- dian keluar begitu saja tanpa membersihkan sampah- sampah keparatnya, yang menumpuk saling berpelukan
di lubang kakus. Siapa pun yang kemudian masuk setelah itu, bisa dipastikan kehilangan selera untuk apa pun di dalam toilet. Semua orang menghindarinya. Semua? Tidak! Ternyata ada juga anak sinting yang masuk ke toilet itu dengan sadar. Kejadiannya di saat jam-jam kuliah sedang
Corat-Coret di Toilet final.indd 26 3/14/2014 2:42:14 PM
27 berlangsung, dan anak itu meluncur dari ruang kuliah
sambil memegangi bagian depan celananya. Takut ke- bobolan. Ia masuk ke toilet pertama di lantai atas. Terisi.
Toilet kedua, juga terisi. Toilet pertama lantai bawah,
juga terisi. Kakinya mulai gemetaran, lompat sana lom- pat sini, mempertahankan diri jangan sampai jebol di
ruang dan waktu yang tidak semestinya. Karena sudah tidak tahan, maka masuklah juga ia ke toilet sialan itu. Dalam satu gerakan tergopoh, ia berdiri dengan pasrah, dan wussssh …. Selama itu ia tahan napas dan memejamkan mata. Namun kemudian, ia memutuskan untuk melakukan suatu tindakan heroik, guna mengakhiri sumber horor di
toilet ini. Masih sambil memejamkan mata, dan menu- tup hidung, ia mengguyur lubang kakus, menyerang
onggokan-onggokan yang nyaris sudah tanpa bentuk, hingga semuanya larut dan menghilang. Si bocah merasa lega, dan mulailah ia membaca pesan-pesan di dinding dengan kemarahan yang tersisa dari tragedi yang baru saja terjadi. Ia ambil spidolnya, warna biru, dan segera ikut menulis, "Ini dia reaksioner brengsek, yang ngebom tanpa dibanjur! Jangan-jangan tak pernah cebok pula. Hey, Kawan, aku memang PKI: Penggemar Komik Indonesia. Kau mau apa, heh?"
* * *
Semua orang tahu belaka, toilet itu dicat agar tampak bersih dan terasa nyaman. Sebelumnya, ia menampilkan
Corat-Coret di Toilet final.indd 27 3/14/2014 2:42:14 PM
28
wajahnya yang paling nyata: ruangan kecil yang marji- nal, tempat banyak orang berceloteh. Dindingnya penuh
dengan tulisan-tulisan konyol yang saling membalas,
tentang gagasan-gagasan radikal progresif, tentang ajak- an kencan mesum, dan
menjadi sebuah problem sosial. Lewat sudut pandangnya, persoalan-persoalan politik, tradisi, sejarah, dan kemanusiaan dikemas begitu singkat, padat, sekaligus tajam. Tema paling dominan dari kumpulan cerpen ini adalah kemanusiaan, khususnya kritik terhadapnya. Lewat cerpen pembuka misalnya, "Peter Pan", berbicara tentang politik. Cerpen itu berhasil mengkritik kegagalan reformasi 98. Perjuangan itu, akhirnya, hanya berhasil mengganti diktator tanpa perubahan yang berarti. "Kami mengangkat penguasa yang baru, tapi ia tak pernah dapat menyentuh kejahatan sang diktator," demikian kata Tuan Puteri sambil meratapi Peter Pan, kekasihnya, yang "hilang". Cerpen "Corat-Coret di Toilet" juga tak kalah pedas. Toilet digambarkan sebagai tempat kebebasan bersuara. Masyarakat dari kelas mana pun, bebas berbicara di toilet. Perbedaan pandangan politik disampaikan lewat coretan di dinding toilet. Namun, dibalik semua perbedaan pandangan politik itu, setidaknya memiliki kesamaan. "Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya pada dinding toilet," begitu dinding toilet itu berteriak, sambil disambung ratusan orang yang lainnya, "Aku juga." Ada juga cerita tentang kejamnya perang. Hanya tentara yang bisa bernyanyi sumbang di tengah kecamuk perang. Selebihnya, mahluk tak berdosa yang menderita. Bahkan, orang gila (yang tak lagi punya kesadaran) bisa mati akibat perang yang tak akan pernah bisa dimengertinya. Eka Kurniawan bertutur lewat cerpennya, "Hikayat si Orang Gilang". Kisah ironis tentang perang juga hadir lewat "Rayuan Dusta Untuk Marietje" dan "Siapa Kirim Aku Bunga?" Perang dan penjajahan hanya akan membuat rasa haus manusia pada cinta menjadi tak terpuaskan. Perang hanya akan menghadirkan derita. Siapa pun tak akan pernah bisa bahagia karena perang. Lewat caranya yang cerdik, Eka Kurniawan juga bicara tentang feminisme. "Pemujaan" terhadap keperawanan dan anggapan bahwa
Seminggu kemudian berlalu tanpa ada orang yang berani
masuk ke dalam toilet tersebut, gara-gara suatu peristi- wa yang menyebalkan. Ada seorang oknum, pasti bang- sat keparat yang kurang moral, dan dikutuk oleh hampir
semua pelanggan setia jasa-jasa toilet, yang bikin ulah menjijikkan. Entah hari apa dan jam berapa, ia masuk
toilet dan segera saja menghujani kakus dengan roket- roket yang keluar dari pantatnya. Gobloknya, ia kemu- dian keluar begitu saja tanpa membersihkan sampah- sampah keparatnya, yang menumpuk saling berpelukan
di lubang kakus. Siapa pun yang kemudian masuk setelah itu, bisa dipastikan kehilangan selera untuk apa pun di dalam toilet. Semua orang menghindarinya. Semua? Tidak! Ternyata ada juga anak sinting yang masuk ke toilet itu dengan sadar. Kejadiannya di saat jam-jam kuliah sedang
Toilet digambarkan sebagai tempat kebebasan bersuara. Masyarakat dari kelas mana pun, bebas berbicara di toilet. Perbedaan pandangan politik disampaikan lewat coretan di dinding toilet. Namun, dibalik semua perbedaan pandangan politik itu, setidaknya memiliki kesamaan. "Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya pada dinding toilet," begitu dinding toilet itu berteriak, sambil disambung ratusan orang yang lainnya, "Aku juga." Ada juga cerita tentang kejamnya perang. Hanya tentara yang bisa bernyanyi sumbang di tengah kecamuk perang. Selebihnya, mahluk tak berdosa yang menderita. Bahkan, orang gila (yang tak lagi punya kesadaran) bisa mati akibat perang yang tak akan pernah bisa dimengertinya. Eka Kurniawan bertutur lewat cerpennya, "Hikayat si Orang Gilang". Kisah ironis tentang perang juga hadir lewat "Rayuan Dusta Untuk Marietje" dan "Siapa Kirim Aku Bunga?" Perang dan penjajahan hanya akan membuat rasa haus manusia pada cinta menjadi tak terpuaskan. Perang hanya akan menghadirkan derita. Siapa pun tak akan pernah bisa bahagia karena perang. Lewat caranya yang cerdik, Eka Kurniawan juga bicara tentang feminisme. "Pemujaan" terhadap keperawanan dan anggapan bahwa perempuan adalah mahluk lemah yang harus terus dijaga, hadir lewat cerpen "Dongeng Sebelum Bercinta" dan "Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam". Keduanya mengambil perspektif dari perempuan yang dicurangi oleh tradisi patriarkis. Tradisi patriarkis memaksa perempuan tak bisa tumbuh jadi manusia mandiri. Mereka terpasung oleh tradisi, adat, norma, dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Gaya menulis Eka Kurniawan dalam kumpulan cerpen ini sangat menggelitik dan jauh dari kesan dramatisasi. Kalimatnya sederhana dan mudah dicerna. Alurnya pun mudah diikuti. Ciri khas novel Eka Kurniawan yang sering menggunakan alur maju-mundur, hampir tidak ditemukan dikumpulan cerpen ini. Setiap membaca cerpennya, saya dipaksa untuk tidak sabar mengetahui akhirnya karena pasti akan penuh kejutan. Eka tampaknya berhasil menyajikan akhir cerita yang tak mudah ditebak. Ibarat menonton film, kumpulan cerpen ini bisa disebut bergenre twist. Kejutan akan terlihat justru diakhir cerita. Salah satu kelemahan kumpulan cerpen ini adalah kurang kreatifnya Eka Kurniawan menamai tokoh-tokohnya. Beberapa nama tokoh dalam kumpulan cerpen, ini bisa dikatakan, "dicuplik" dari novelnya yang lain. Sebut saja misalnya nama Edi Idiot dalam cerpen "Kandang Babi" adalah nama preman dalam novel "Cantik Itu Luka". Ada juga nama Alamanda dalam "Dongeng Sebelum Bercinta" juga nama yang sama dalam novel "Cantik Itu Luka" sebagai anak putri dari Dewi Ayu. Ada
Seminggu kemudian berlalu tanpa ada orang yang berani
masuk ke dalam toilet tersebut, gara-gara suatu peristi- wa yang menyebalkan. Ada seorang oknum, pasti bang- sat keparat yang kurang moral, dan dikutuk oleh hampir
semua pelanggan setia jasa-jasa toilet, yang bikin ulah menjijikkan. Entah hari apa dan jam berapa, ia masuk
toilet dan segera saja menghujani kakus dengan roket- roket yang keluar dari pantatnya. Gobloknya, ia kemu- dian keluar begitu saja tanpa membersihkan sampah- sampah keparatnya, yang menumpuk saling berpelukan
di lubang kakus. Siapa pun yang kemudian masuk setelah itu, bisa dipastikan kehilangan selera untuk apa pun di dalam toilet. Semua orang menghindarinya. Semua? Tidak! Ternyata ada juga anak sinting yang masuk ke toilet itu dengan sadar. Kejadiannya di saat jam-jam kuliah sedang
Corat-Coret di Toilet final.indd 26 3/14/2014 2:42:14 PM
27 berlangsung, dan anak itu meluncur dari ruang kuliah
sambil memegangi bagian depan celananya. Takut ke- bobolan. Ia masuk ke toilet pertama di lantai atas. Terisi.
Toilet kedua, juga terisi. Toilet pertama lantai bawah,
juga terisi. Kakinya mulai gemetaran, lompat sana lom- pat sini, mempertahankan diri jangan sampai jebol di
ruang dan waktu yang tidak semestinya. Karena sudah tidak tahan, maka masuklah juga ia ke toilet sialan itu. Dalam satu gerakan tergopoh, ia berdiri dengan pasrah, dan wussssh …. Selama itu ia tahan napas dan memejamkan mata. Namun kemudian, ia memutuskan untuk melakukan suatu tindakan heroik, guna mengakhiri sumber horor di
toilet ini. Masih sambil memejamkan mata, dan menu- tup hidung, ia mengguyur lubang kakus, menyerang
onggokan-onggokan yang nyaris sudah tanpa bentuk, hingga semuanya larut dan menghilang. Si bocah merasa lega, dan mulailah ia membaca pesan-pesan di dinding dengan kemarahan yang tersisa dari tragedi yang baru saja terjadi. Ia ambil spidolnya, warna biru, dan segera ikut menulis, "Ini dia reaksioner brengsek, yang ngebom tanpa dibanjur! Jangan-jangan tak pernah cebok pula. Hey, Kawan, aku memang PKI: Penggemar Komik Indonesia. Kau mau apa, heh?"
* * *
Semua orang tahu belaka, toilet itu dicat agar tampak bersih dan terasa nyaman. Sebelumnya, ia menampilkan
Corat-Coret di Toilet final.indd 27 3/14/2014 2:42:14 PM
28
wajahnya yang paling nyata: ruangan kecil yang marji- nal, tempat banyak orang berceloteh. Dindingnya penuh
dengan tulisan-tulisan konyol yang saling membalas,
tentang gagasan-gagasan radikal progresif, tentang ajak- an kencan mesum, dan
menjadi sebuah problem sosial. Lewat sudut pandangnya, persoalan-persoalan politik, tradisi, sejarah, dan kemanusiaan dikemas begitu singkat, padat, sekaligus tajam. Tema paling dominan dari kumpulan cerpen ini adalah kemanusiaan, khususnya kritik terhadapnya. Lewat cerpen pembuka misalnya, "Peter Pan", berbicara tentang politik. Cerpen itu berhasil mengkritik kegagalan reformasi 98. Perjuangan itu, akhirnya, hanya berhasil mengganti diktator tanpa perubahan yang berarti. "Kami mengangkat penguasa yang baru, tapi ia tak pernah dapat menyentuh kejahatan sang diktator," demikian kata Tuan Puteri sambil meratapi Peter Pan, kekasihnya, yang "hilang". Cerpen "Corat-Coret di Toilet" juga tak kalah pedas. Toilet digambarkan sebagai tempat kebebasan bersuara. Masyarakat dari kelas mana pun, bebas berbicara di toilet. Perbedaan pandangan politik disampaikan lewat coretan di dinding toilet. Namun, dibalik semua perbedaan pandangan politik itu, setidaknya memiliki kesamaan. "Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya pada dinding toilet," begitu dinding toilet itu berteriak, sambil disambung ratusan orang yang lainnya, "Aku juga." Ada juga cerita tentang kejamnya perang. Hanya tentara yang bisa bernyanyi sumbang di tengah kecamuk perang. Selebihnya, mahluk tak berdosa yang menderita. Bahkan, orang gila (yang tak lagi punya kesadaran) bisa mati akibat perang yang tak akan pernah bisa dimengertinya. Eka Kurniawan bertutur lewat cerpennya, "Hikayat si Orang Gilang". Kisah ironis tentang perang juga hadir lewat "Rayuan Dusta Untuk Marietje" dan "Siapa Kirim Aku Bunga?" Perang dan penjajahan hanya akan membuat rasa haus manusia pada cinta menjadi tak terpuaskan. Perang hanya akan menghadirkan derita. Siapa pun tak akan pernah bisa bahagia karena perang. Lewat caranya yang cerdik, Eka Kurniawan juga bicara tentang feminisme. "Pemujaan" terhadap keperawanan dan anggapan bahwa
Seminggu kemudian berlalu tanpa ada orang yang berani
masuk ke dalam toilet tersebut, gara-gara suatu peristi- wa yang menyebalkan. Ada seorang oknum, pasti bang- sat keparat yang kurang moral, dan dikutuk oleh hampir
semua pelanggan setia jasa-jasa toilet, yang bikin ulah menjijikkan. Entah hari apa dan jam berapa, ia masuk
toilet dan segera saja menghujani kakus dengan roket- roket yang keluar dari pantatnya. Gobloknya, ia kemu- dian keluar begitu saja tanpa membersihkan sampah- sampah keparatnya, yang menumpuk saling berpelukan
di lubang kakus. Siapa pun yang kemudian masuk setelah itu, bisa dipastikan kehilangan selera untuk apa pun di dalam toilet. Semua orang menghindarinya. Semua? Tidak! Ternyata ada juga anak sinting yang masuk ke toilet itu dengan sadar. Kejadiannya di saat jam-jam kuliah sedang
Toilet digambarkan sebagai tempat kebebasan bersuara. Masyarakat dari kelas mana pun, bebas berbicara di toilet. Perbedaan pandangan politik disampaikan lewat coretan di dinding toilet. Namun, dibalik semua perbedaan pandangan politik itu, setidaknya memiliki kesamaan. "Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya pada dinding toilet," begitu dinding toilet itu berteriak, sambil disambung ratusan orang yang lainnya, "Aku juga." Ada juga cerita tentang kejamnya perang. Hanya tentara yang bisa bernyanyi sumbang di tengah kecamuk perang. Selebihnya, mahluk tak berdosa yang menderita. Bahkan, orang gila (yang tak lagi punya kesadaran) bisa mati akibat perang yang tak akan pernah bisa dimengertinya. Eka Kurniawan bertutur lewat cerpennya, "Hikayat si Orang Gilang". Kisah ironis tentang perang juga hadir lewat "Rayuan Dusta Untuk Marietje" dan "Siapa Kirim Aku Bunga?" Perang dan penjajahan hanya akan membuat rasa haus manusia pada cinta menjadi tak terpuaskan. Perang hanya akan menghadirkan derita. Siapa pun tak akan pernah bisa bahagia karena perang. Lewat caranya yang cerdik, Eka Kurniawan juga bicara tentang feminisme. "Pemujaan" terhadap keperawanan dan anggapan bahwa perempuan adalah mahluk lemah yang harus terus dijaga, hadir lewat cerpen "Dongeng Sebelum Bercinta" dan "Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam". Keduanya mengambil perspektif dari perempuan yang dicurangi oleh tradisi patriarkis. Tradisi patriarkis memaksa perempuan tak bisa tumbuh jadi manusia mandiri. Mereka terpasung oleh tradisi, adat, norma, dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Gaya menulis Eka Kurniawan dalam kumpulan cerpen ini sangat menggelitik dan jauh dari kesan dramatisasi. Kalimatnya sederhana dan mudah dicerna. Alurnya pun mudah diikuti. Ciri khas novel Eka Kurniawan yang sering menggunakan alur maju-mundur, hampir tidak ditemukan dikumpulan cerpen ini. Setiap membaca cerpennya, saya dipaksa untuk tidak sabar mengetahui akhirnya karena pasti akan penuh kejutan. Eka tampaknya berhasil menyajikan akhir cerita yang tak mudah ditebak. Ibarat menonton film, kumpulan cerpen ini bisa disebut bergenre twist. Kejutan akan terlihat justru diakhir cerita. Salah satu kelemahan kumpulan cerpen ini adalah kurang kreatifnya Eka Kurniawan menamai tokoh-tokohnya. Beberapa nama tokoh dalam kumpulan cerpen, ini bisa dikatakan, "dicuplik" dari novelnya yang lain. Sebut saja misalnya nama Edi Idiot dalam cerpen "Kandang Babi" adalah nama preman dalam novel "Cantik Itu Luka". Ada juga nama Alamanda dalam "Dongeng Sebelum Bercinta" juga nama yang sama dalam novel "Cantik Itu Luka" sebagai anak putri dari Dewi Ayu. Ada
Seminggu kemudian berlalu tanpa ada orang yang berani
masuk ke dalam toilet tersebut, gara-gara suatu peristi- wa yang menyebalkan. Ada seorang oknum, pasti bang- sat keparat yang kurang moral, dan dikutuk oleh hampir
semua pelanggan setia jasa-jasa toilet, yang bikin ulah menjijikkan. Entah hari apa dan jam berapa, ia masuk
toilet dan segera saja menghujani kakus dengan roket- roket yang keluar dari pantatnya. Gobloknya, ia kemu- dian keluar begitu saja tanpa membersihkan sampah- sampah keparatnya, yang menumpuk saling berpelukan
di lubang kakus. Siapa pun yang kemudian masuk setelah itu, bisa dipastikan kehilangan selera untuk apa pun di dalam toilet. Semua orang menghindarinya. Semua? Tidak! Ternyata ada juga anak sinting yang masuk ke toilet itu dengan sadar. Kejadiannya di saat jam-jam kuliah sedang
Corat-Coret di Toilet final.indd 26 3/14/2014 2:42:14 PM
27 berlangsung, dan anak itu meluncur dari ruang kuliah
sambil memegangi bagian depan celananya. Takut ke- bobolan. Ia masuk ke toilet pertama di lantai atas. Terisi.
Toilet kedua, juga terisi. Toilet pertama lantai bawah,
juga terisi. Kakinya mulai gemetaran, lompat sana lom- pat sini, mempertahankan diri jangan sampai jebol di
ruang dan waktu yang tidak semestinya. Karena sudah tidak tahan, maka masuklah juga ia ke toilet sialan itu. Dalam satu gerakan tergopoh, ia berdiri dengan pasrah, dan wussssh …. Selama itu ia tahan napas dan memejamkan mata. Namun kemudian, ia memutuskan untuk melakukan suatu tindakan heroik, guna mengakhiri sumber horor di
toilet ini. Masih sambil memejamkan mata, dan menu- tup hidung, ia mengguyur lubang kakus, menyerang
onggokan-onggokan yang nyaris sudah tanpa bentuk, hingga semuanya larut dan menghilang. Si bocah merasa lega, dan mulailah ia membaca pesan-pesan di dinding dengan kemarahan yang tersisa dari tragedi yang baru saja terjadi. Ia ambil spidolnya, warna biru, dan segera ikut menulis, "Ini dia reaksioner brengsek, yang ngebom tanpa dibanjur! Jangan-jangan tak pernah cebok pula. Hey, Kawan, aku memang PKI: Penggemar Komik Indonesia. Kau mau apa, heh?"
* * *
Semua orang tahu belaka, toilet itu dicat agar tampak bersih dan terasa nyaman. Sebelumnya, ia menampilkan
Corat-Coret di Toilet final.indd 27 3/14/2014 2:42:14 PM
28
wajahnya yang paling nyata: ruangan kecil yang marji- nal, tempat banyak orang berceloteh. Dindingnya penuh
dengan tulisan-tulisan konyol yang saling membalas,
tentang gagasan-gagasan radikal progresif, tentang ajak- an kencan mesum, dan
menjadi sebuah problem sosial. Lewat sudut pandangnya, persoalan-persoalan politik, tradisi, sejarah, dan kemanusiaan dikemas begitu singkat, padat, sekaligus tajam. Tema paling dominan dari kumpulan cerpen ini adalah kemanusiaan, khususnya kritik terhadapnya. Lewat cerpen pembuka misalnya, "Peter Pan", berbicara tentang politik. Cerpen itu berhasil mengkritik kegagalan reformasi 98. Perjuangan itu, akhirnya, hanya berhasil mengganti diktator tanpa perubahan yang berarti. "Kami mengangkat penguasa yang baru, tapi ia tak pernah dapat menyentuh kejahatan sang diktator," demikian kata Tuan Puteri sambil meratapi Peter Pan, kekasihnya, yang "hilang". Cerpen "Corat-Coret di Toilet" juga tak kalah pedas. Toilet digambarkan sebagai tempat kebebasan bersuara. Masyarakat dari kelas mana pun, bebas berbicara di toilet. Perbedaan pandangan politik disampaikan lewat coretan di dinding toilet. Namun, dibalik semua perbedaan pandangan politik itu, setidaknya memiliki kesamaan. "Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya pada dinding toilet," begitu dinding toilet itu berteriak, sambil disambung ratusan orang yang lainnya, "Aku juga." Ada juga cerita tentang kejamnya perang. Hanya tentara yang bisa bernyanyi sumbang di tengah kecamuk perang. Selebihnya, mahluk tak berdosa yang menderita. Bahkan, orang gila (yang tak lagi punya kesadaran) bisa mati akibat perang yang tak akan pernah bisa dimengertinya. Eka Kurniawan bertutur lewat cerpennya, "Hikayat si Orang Gilang". Kisah ironis tentang perang juga hadir lewat "Rayuan Dusta Untuk Marietje" dan "Siapa Kirim Aku Bunga?" Perang dan penjajahan hanya akan membuat rasa haus manusia pada cinta menjadi tak terpuaskan. Perang hanya akan menghadirkan derita. Siapa pun tak akan pernah bisa bahagia karena perang. Lewat caranya yang cerdik, Eka Kurniawan juga bicara tentang feminisme. "Pemujaan" terhadap keperawanan dan anggapan bahwa
Seminggu kemudian berlalu tanpa ada orang yang berani
masuk ke dalam toilet tersebut, gara-gara suatu peristi- wa yang menyebalkan. Ada seorang oknum, pasti bang- sat keparat yang kurang moral, dan dikutuk oleh hampir
semua pelanggan setia jasa-jasa toilet, yang bikin ulah menjijikkan. Entah hari apa dan jam berapa, ia masuk
toilet dan segera saja menghujani kakus dengan roket- roket yang keluar dari pantatnya. Gobloknya, ia kemu- dian keluar begitu saja tanpa membersihkan sampah- sampah keparatnya, yang menumpuk saling berpelukan
di lubang kakus. Siapa pun yang kemudian masuk setelah itu, bisa dipastikan kehilangan selera untuk apa pun di dalam toilet. Semua orang menghindarinya. Semua? Tidak! Ternyata ada juga anak sinting yang masuk ke toilet itu dengan sadar. Kejadiannya di saat jam-jam kuliah sedang
Toilet digambarkan sebagai tempat kebebasan bersuara. Masyarakat dari kelas mana pun, bebas berbicara di toilet. Perbedaan pandangan politik disampaikan lewat coretan di dinding toilet. Namun, dibalik semua perbedaan pandangan politik itu, setidaknya memiliki kesamaan. "Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya pada dinding toilet," begitu dinding toilet itu berteriak, sambil disambung ratusan orang yang lainnya, "Aku juga." Ada juga cerita tentang kejamnya perang. Hanya tentara yang bisa bernyanyi sumbang di tengah kecamuk perang. Selebihnya, mahluk tak berdosa yang menderita. Bahkan, orang gila (yang tak lagi punya kesadaran) bisa mati akibat perang yang tak akan pernah bisa dimengertinya. Eka Kurniawan bertutur lewat cerpennya, "Hikayat si Orang Gilang". Kisah ironis tentang perang juga hadir lewat "Rayuan Dusta Untuk Marietje" dan "Siapa Kirim Aku Bunga?" Perang dan penjajahan hanya akan membuat rasa haus manusia pada cinta menjadi tak terpuaskan. Perang hanya akan menghadirkan derita. Siapa pun tak akan pernah bisa bahagia karena perang. Lewat caranya yang cerdik, Eka Kurniawan juga bicara tentang feminisme. "Pemujaan" terhadap keperawanan dan anggapan bahwa perempuan adalah mahluk lemah yang harus terus dijaga, hadir lewat cerpen "Dongeng Sebelum Bercinta" dan "Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam". Keduanya mengambil perspektif dari perempuan yang dicurangi oleh tradisi patriarkis. Tradisi patriarkis memaksa perempuan tak bisa tumbuh jadi manusia mandiri. Mereka terpasung oleh tradisi, adat, norma, dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Gaya menulis Eka Kurniawan dalam kumpulan cerpen ini sangat menggelitik dan jauh dari kesan dramatisasi. Kalimatnya sederhana dan mudah dicerna. Alurnya pun mudah diikuti. Ciri khas novel Eka Kurniawan yang sering menggunakan alur maju-mundur, hampir tidak ditemukan dikumpulan cerpen ini. Setiap membaca cerpennya, saya dipaksa untuk tidak sabar mengetahui akhirnya karena pasti akan penuh kejutan. Eka tampaknya berhasil menyajikan akhir cerita yang tak mudah ditebak. Ibarat menonton film, kumpulan cerpen ini bisa disebut bergenre twist. Kejutan akan terlihat justru diakhir cerita. Salah satu kelemahan kumpulan cerpen ini adalah kurang kreatifnya Eka Kurniawan menamai tokoh-tokohnya. Beberapa nama tokoh dalam kumpulan cerpen, ini bisa dikatakan, "dicuplik" dari novelnya yang lain. Sebut saja misalnya nama Edi Idiot dalam cerpen "Kandang Babi" adalah nama preman dalam novel "Cantik Itu Luka". Ada juga nama Alamanda dalam "Dongeng Sebelum Bercinta" juga nama yang sama dalam novel "Cantik Itu Luka" sebagai anak putri dari Dewi Ayu. Ada
Seminggu kemudian berlalu tanpa ada orang yang berani
masuk ke dalam toilet tersebut, gara-gara suatu peristi- wa yang menyebalkan. Ada seorang oknum, pasti bang- sat keparat yang kurang moral, dan dikutuk oleh hampir
semua pelanggan setia jasa-jasa toilet, yang bikin ulah menjijikkan. Entah hari apa dan jam berapa, ia masuk
toilet dan segera saja menghujani kakus dengan roket- roket yang keluar dari pantatnya. Gobloknya, ia kemu- dian keluar begitu saja tanpa membersihkan sampah- sampah keparatnya, yang menumpuk saling berpelukan
di lubang kakus. Siapa pun yang kemudian masuk setelah itu, bisa dipastikan kehilangan selera untuk apa pun di dalam toilet. Semua orang menghindarinya. Semua? Tidak! Ternyata ada juga anak sinting yang masuk ke toilet itu dengan sadar. Kejadiannya di saat jam-jam kuliah sedang
Corat-Coret di Toilet final.indd 26 3/14/2014 2:42:14 PM
27 berlangsung, dan anak itu meluncur dari ruang kuliah
sambil memegangi bagian depan celananya. Takut ke- bobolan. Ia masuk ke toilet pertama di lantai atas. Terisi.
Toilet kedua, juga terisi. Toilet pertama lantai bawah,
juga terisi. Kakinya mulai gemetaran, lompat sana lom- pat sini, mempertahankan diri jangan sampai jebol di
ruang dan waktu yang tidak semestinya. Karena sudah tidak tahan, maka masuklah juga ia ke toilet sialan itu. Dalam satu gerakan tergopoh, ia berdiri dengan pasrah, dan wussssh …. Selama itu ia tahan napas dan memejamkan mata. Namun kemudian, ia memutuskan untuk melakukan suatu tindakan heroik, guna mengakhiri sumber horor di
toilet ini. Masih sambil memejamkan mata, dan menu- tup hidung, ia mengguyur lubang kakus, menyerang
onggokan-onggokan yang nyaris sudah tanpa bentuk, hingga semuanya larut dan menghilang. Si bocah merasa lega, dan mulailah ia membaca pesan-pesan di dinding dengan kemarahan yang tersisa dari tragedi yang baru saja terjadi. Ia ambil spidolnya, warna biru, dan segera ikut menulis, "Ini dia reaksioner brengsek, yang ngebom tanpa dibanjur! Jangan-jangan tak pernah cebok pula. Hey, Kawan, aku memang PKI: Penggemar Komik Indonesia. Kau mau apa, heh?"
* * *
Semua orang tahu belaka, toilet itu dicat agar tampak bersih dan terasa nyaman. Sebelumnya, ia menampilkan
Corat-Coret di Toilet final.indd 27 3/14/2014 2:42:14 PM
28
wajahnya yang paling nyata: ruangan kecil yang marji- nal, tempat banyak orang berceloteh. Dindingnya penuh
dengan tulisan-tulisan konyol yang saling membalas,
tentang gagasan-gagasan radikal progresif, tentang ajak- an kencan mesum, dan
menjadi sebuah problem sosial. Lewat sudut pandangnya, persoalan-persoalan politik, tradisi, sejarah, dan kemanusiaan dikemas begitu singkat, padat, sekaligus tajam. Tema paling dominan dari kumpulan cerpen ini adalah kemanusiaan, khususnya kritik terhadapnya. Lewat cerpen pembuka misalnya, "Peter Pan", berbicara tentang politik. Cerpen itu berhasil mengkritik kegagalan reformasi 98. Perjuangan itu, akhirnya, hanya berhasil mengganti diktator tanpa perubahan yang berarti. "Kami mengangkat penguasa yang baru, tapi ia tak pernah dapat menyentuh kejahatan sang diktator," demikian kata Tuan Puteri sambil meratapi Peter Pan, kekasihnya, yang "hilang". Cerpen "Corat-Coret di Toilet" juga tak kalah pedas. Toilet digambarkan sebagai tempat kebebasan bersuara. Masyarakat dari kelas mana pun, bebas berbicara di toilet. Perbedaan pandangan politik disampaikan lewat coretan di dinding toilet. Namun, dibalik semua perbedaan pandangan politik itu, setidaknya memiliki kesamaan. "Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya pada dinding toilet," begitu dinding toilet itu berteriak, sambil disambung ratusan orang yang lainnya, "Aku juga." Ada juga cerita tentang kejamnya perang. Hanya tentara yang bisa bernyanyi sumbang di tengah kecamuk perang. Selebihnya, mahluk tak berdosa yang menderita. Bahkan, orang gila (yang tak lagi punya kesadaran) bisa mati akibat perang yang tak akan pernah bisa dimengertinya. Eka Kurniawan bertutur lewat cerpennya, "Hikayat si Orang Gilang". Kisah ironis tentang perang juga hadir lewat "Rayuan Dusta Untuk Marietje" dan "Siapa Kirim Aku Bunga?" Perang dan penjajahan hanya akan membuat rasa haus manusia pada cinta menjadi tak terpuaskan. Perang hanya akan menghadirkan derita. Siapa pun tak akan pernah bisa bahagia karena perang. Lewat caranya yang cerdik, Eka Kurniawan juga bicara tentang feminisme. "Pemujaan" terhadap keperawanan dan anggapan bahwa
Seminggu kemudian berlalu tanpa ada orang yang berani
masuk ke dalam toilet tersebut, gara-gara suatu peristi- wa yang menyebalkan. Ada seorang oknum, pasti bang- sat keparat yang kurang moral, dan dikutuk oleh hampir
semua pelanggan setia jasa-jasa toilet, yang bikin ulah menjijikkan. Entah hari apa dan jam berapa, ia masuk
toilet dan segera saja menghujani kakus dengan roket- roket yang keluar dari pantatnya. Gobloknya, ia kemu- dian keluar begitu saja tanpa membersihkan sampah- sampah keparatnya, yang menumpuk saling berpelukan
di lubang kakus. Siapa pun yang kemudian masuk setelah itu, bisa dipastikan kehilangan selera untuk apa pun di dalam toilet. Semua orang menghindarinya. Semua? Tidak! Ternyata ada juga anak sinting yang masuk ke toilet itu dengan sadar. Kejadiannya di saat jam-jam kuliah sedang
Toilet digambarkan sebagai tempat kebebasan bersuara. Masyarakat dari kelas mana pun, bebas berbicara di toilet. Perbedaan pandangan politik disampaikan lewat coretan di dinding toilet. Namun, dibalik semua perbedaan pandangan politik itu, setidaknya memiliki kesamaan. "Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya pada dinding toilet," begitu dinding toilet itu berteriak, sambil disambung ratusan orang yang lainnya, "Aku juga." Ada juga cerita tentang kejamnya perang. Hanya tentara yang bisa bernyanyi sumbang di tengah kecamuk perang. Selebihnya, mahluk tak berdosa yang menderita. Bahkan, orang gila (yang tak lagi punya kesadaran) bisa mati akibat perang yang tak akan pernah bisa dimengertinya. Eka Kurniawan bertutur lewat cerpennya, "Hikayat si Orang Gilang". Kisah ironis tentang perang juga hadir lewat "Rayuan Dusta Untuk Marietje" dan "Siapa Kirim Aku Bunga?" Perang dan penjajahan hanya akan membuat rasa haus manusia pada cinta menjadi tak terpuaskan. Perang hanya akan menghadirkan derita. Siapa pun tak akan pernah bisa bahagia karena perang. Lewat caranya yang cerdik, Eka Kurniawan juga bicara tentang feminisme. "Pemujaan" terhadap keperawanan dan anggapan bahwa perempuan adalah mahluk lemah yang harus terus dijaga, hadir lewat cerpen "Dongeng Sebelum Bercinta" dan "Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam". Keduanya mengambil perspektif dari perempuan yang dicurangi oleh tradisi patriarkis. Tradisi patriarkis memaksa perempuan tak bisa tumbuh jadi manusia mandiri. Mereka terpasung oleh tradisi, adat, norma, dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Gaya menulis Eka Kurniawan dalam kumpulan cerpen ini sangat menggelitik dan jauh dari kesan dramatisasi. Kalimatnya sederhana dan mudah dicerna. Alurnya pun mudah diikuti. Ciri khas novel Eka Kurniawan yang sering menggunakan alur maju-mundur, hampir tidak ditemukan dikumpulan cerpen ini. Setiap membaca cerpennya, saya dipaksa untuk tidak sabar mengetahui akhirnya karena pasti akan penuh kejutan. Eka tampaknya berhasil menyajikan akhir cerita yang tak mudah ditebak. Ibarat menonton film, kumpulan cerpen ini bisa disebut bergenre twist. Kejutan akan terlihat justru diakhir cerita. Salah satu kelemahan kumpulan cerpen ini adalah kurang kreatifnya Eka Kurniawan menamai tokoh-tokohnya. Beberapa nama tokoh dalam kumpulan cerpen, ini bisa dikatakan, "dicuplik" dari novelnya yang lain. Sebut saja misalnya nama Edi Idiot dalam cerpen "Kandang Babi" adalah nama preman dalam novel "Cantik Itu Luka". Ada juga nama Alamanda dalam "Dongeng Sebelum Bercinta" juga nama yang sama dalam novel "Cantik Itu Luka" sebagai anak putri dari Dewi Ayu. Ada
Seminggu kemudian berlalu tanpa ada orang yang berani
masuk ke dalam toilet tersebut, gara-gara suatu peristi- wa yang menyebalkan. Ada seorang oknum, pasti bang- sat keparat yang kurang moral, dan dikutuk oleh hampir
semua pelanggan setia jasa-jasa toilet, yang bikin ulah menjijikkan. Entah hari apa dan jam berapa, ia masuk
toilet dan segera saja menghujani kakus dengan roket- roket yang keluar dari pantatnya. Gobloknya, ia kemu- dian keluar begitu saja tanpa membersihkan sampah- sampah keparatnya, yang menumpuk saling berpelukan
di lubang kakus. Siapa pun yang kemudian masuk setelah itu, bisa dipastikan kehilangan selera untuk apa pun di dalam toilet. Semua orang menghindarinya. Semua? Tidak! Ternyata ada juga anak sinting yang masuk ke toilet itu dengan sadar. Kejadiannya di saat jam-jam kuliah sedang
Corat-Coret di Toilet final.indd 26 3/14/2014 2:42:14 PM
27 berlangsung, dan anak itu meluncur dari ruang kuliah
sambil memegangi bagian depan celananya. Takut ke- bobolan. Ia masuk ke toilet pertama di lantai atas. Terisi.
Toilet kedua, juga terisi. Toilet pertama lantai bawah,
juga terisi. Kakinya mulai gemetaran, lompat sana lom- pat sini, mempertahankan diri jangan sampai jebol di
ruang dan waktu yang tidak semestinya. Karena sudah tidak tahan, maka masuklah juga ia ke toilet sialan itu. Dalam satu gerakan tergopoh, ia berdiri dengan pasrah, dan wussssh …. Selama itu ia tahan napas dan memejamkan mata. Namun kemudian, ia memutuskan untuk melakukan suatu tindakan heroik, guna mengakhiri sumber horor di
toilet ini. Masih sambil memejamkan mata, dan menu- tup hidung, ia mengguyur lubang kakus, menyerang
onggokan-onggokan yang nyaris sudah tanpa bentuk, hingga semuanya larut dan menghilang. Si bocah merasa lega, dan mulailah ia membaca pesan-pesan di dinding dengan kemarahan yang tersisa dari tragedi yang baru saja terjadi. Ia ambil spidolnya, warna biru, dan segera ikut menulis, "Ini dia reaksioner brengsek, yang ngebom tanpa dibanjur! Jangan-jangan tak pernah cebok pula. Hey, Kawan, aku memang PKI: Penggemar Komik Indonesia. Kau mau apa, heh?"
* * *
Semua orang tahu belaka, toilet itu dicat agar tampak bersih dan terasa nyaman. Sebelumnya, ia menampilkan
Corat-Coret di Toilet final.indd 27 3/14/2014 2:42:14 PM
28
wajahnya yang paling nyata: ruangan kecil yang marji- nal, tempat banyak orang berceloteh. Dindingnya penuh
dengan tulisan-tulisan konyol yang saling membalas,
tentang gagasan-gagasan radikal progresif, tentang ajak- an kencan mesum, dan
menjadi sebuah problem sosial. Lewat sudut pandangnya, persoalan-persoalan politik, tradisi, sejarah, dan kemanusiaan dikemas begitu singkat, padat, sekaligus tajam. Tema paling dominan dari kumpulan cerpen ini adalah kemanusiaan, khususnya kritik terhadapnya. Lewat cerpen pembuka misalnya, "Peter Pan", berbicara tentang politik. Cerpen itu berhasil mengkritik kegagalan reformasi 98. Perjuangan itu, akhirnya, hanya berhasil mengganti diktator tanpa perubahan yang berarti. "Kami mengangkat penguasa yang baru, tapi ia tak pernah dapat menyentuh kejahatan sang diktator," demikian kata Tuan Puteri sambil meratapi Peter Pan, kekasihnya, yang "hilang". Cerpen "Corat-Coret di Toilet" juga tak kalah pedas. Toilet digambarkan sebagai tempat kebebasan bersuara. Masyarakat dari kelas mana pun, bebas berbicara di toilet. Perbedaan pandangan politik disampaikan lewat coretan di dinding toilet. Namun, dibalik semua perbedaan pandangan politik itu, setidaknya memiliki kesamaan. "Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya pada dinding toilet," begitu dinding toilet itu berteriak, sambil disambung ratusan orang yang lainnya, "Aku juga." Ada juga cerita tentang kejamnya perang. Hanya tentara yang bisa bernyanyi sumbang di tengah kecamuk perang. Selebihnya, mahluk tak berdosa yang menderita. Bahkan, orang gila (yang tak lagi punya kesadaran) bisa mati akibat perang yang tak akan pernah bisa dimengertinya. Eka Kurniawan bertutur lewat cerpennya, "Hikayat si Orang Gilang". Kisah ironis tentang perang juga hadir lewat "Rayuan Dusta Untuk Marietje" dan "Siapa Kirim Aku Bunga?" Perang dan penjajahan hanya akan membuat rasa haus manusia pada cinta menjadi tak terpuaskan. Perang hanya akan menghadirkan derita. Siapa pun tak akan pernah bisa bahagia karena perang. Lewat caranya yang cerdik, Eka Kurniawan juga bicara tentang feminisme. "Pemujaan" terhadap keperawanan dan anggapan bahwa
Seminggu kemudian berlalu tanpa ada orang yang berani
masuk ke dalam toilet tersebut, gara-gara suatu peristi- wa yang menyebalkan. Ada seorang oknum, pasti bang- sat keparat yang kurang moral, dan dikutuk oleh hampir
semua pelanggan setia jasa-jasa toilet, yang bikin ulah menjijikkan. Entah hari apa dan jam berapa, ia masuk
toilet dan segera saja menghujani kakus dengan roket- roket yang keluar dari pantatnya. Gobloknya, ia kemu- dian keluar begitu saja tanpa membersihkan sampah- sampah keparatnya, yang menumpuk saling berpelukan
di lubang kakus. Siapa pun yang kemudian masuk setelah itu, bisa dipastikan kehilangan selera untuk apa pun di dalam toilet. Semua orang menghindarinya. Semua? Tidak! Ternyata ada juga anak sinting yang masuk ke toilet itu dengan sadar. Kejadiannya di saat jam-jam kuliah sedang
Toilet digambarkan sebagai tempat kebebasan bersuara. Masyarakat dari kelas mana pun, bebas berbicara di toilet. Perbedaan pandangan politik disampaikan lewat coretan di dinding toilet. Namun, dibalik semua perbedaan pandangan politik itu, setidaknya memiliki kesamaan. "Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya pada dinding toilet," begitu dinding toilet itu berteriak, sambil disambung ratusan orang yang lainnya, "Aku juga." Ada juga cerita tentang kejamnya perang. Hanya tentara yang bisa bernyanyi sumbang di tengah kecamuk perang. Selebihnya, mahluk tak berdosa yang menderita. Bahkan, orang gila (yang tak lagi punya kesadaran) bisa mati akibat perang yang tak akan pernah bisa dimengertinya. Eka Kurniawan bertutur lewat cerpennya, "Hikayat si Orang Gilang". Kisah ironis tentang perang juga hadir lewat "Rayuan Dusta Untuk Marietje" dan "Siapa Kirim Aku Bunga?" Perang dan penjajahan hanya akan membuat rasa haus manusia pada cinta menjadi tak terpuaskan. Perang hanya akan menghadirkan derita. Siapa pun tak akan pernah bisa bahagia karena perang. Lewat caranya yang cerdik, Eka Kurniawan juga bicara tentang feminisme. "Pemujaan" terhadap keperawanan dan anggapan bahwa perempuan adalah mahluk lemah yang harus terus dijaga, hadir lewat cerpen "Dongeng Sebelum Bercinta" dan "Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam". Keduanya mengambil perspektif dari perempuan yang dicurangi oleh tradisi patriarkis. Tradisi patriarkis memaksa perempuan tak bisa tumbuh jadi manusia mandiri. Mereka terpasung oleh tradisi, adat, norma, dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Gaya menulis Eka Kurniawan dalam kumpulan cerpen ini sangat menggelitik dan jauh dari kesan dramatisasi. Kalimatnya sederhana dan mudah dicerna. Alurnya pun mudah diikuti. Ciri khas novel Eka Kurniawan yang sering menggunakan alur maju-mundur, hampir tidak ditemukan dikumpulan cerpen ini. Setiap membaca cerpennya, saya dipaksa untuk tidak sabar mengetahui akhirnya karena pasti akan penuh kejutan. Eka tampaknya berhasil menyajikan akhir cerita yang tak mudah ditebak. Ibarat menonton film, kumpulan cerpen ini bisa disebut bergenre twist. Kejutan akan terlihat justru diakhir cerita. Salah satu kelemahan kumpulan cerpen ini adalah kurang kreatifnya Eka Kurniawan menamai tokoh-tokohnya. Beberapa nama tokoh dalam kumpulan cerpen, ini bisa dikatakan, "dicuplik" dari novelnya yang lain. Sebut saja misalnya nama Edi Idiot dalam cerpen "Kandang Babi" adalah nama preman dalam novel "Cantik Itu Luka". Ada juga nama Alamanda dalam "Dongeng Sebelum Bercinta" juga nama yang sama dalam novel "Cantik Itu Luka" sebagai anak putri dari Dewi Ayu. Ada
Seminggu kemudian berlalu tanpa ada orang yang berani
masuk ke dalam toilet tersebut, gara-gara suatu peristi- wa yang menyebalkan. Ada seorang oknum, pasti bang- sat keparat yang kurang moral, dan dikutuk oleh hampir
semua pelanggan setia jasa-jasa toilet, yang bikin ulah menjijikkan. Entah hari apa dan jam berapa, ia masuk
toilet dan segera saja menghujani kakus dengan roket- roket yang keluar dari pantatnya. Gobloknya, ia kemu- dian keluar begitu saja tanpa membersihkan sampah- sampah keparatnya, yang menumpuk saling berpelukan
di lubang kakus. Siapa pun yang kemudian masuk setelah itu, bisa dipastikan kehilangan selera untuk apa pun di dalam toilet. Semua orang menghindarinya. Semua? Tidak! Ternyata ada juga anak sinting yang masuk ke toilet itu dengan sadar. Kejadiannya di saat jam-jam kuliah sedang
Corat-Coret di Toilet final.indd 26 3/14/2014 2:42:14 PM
27 berlangsung, dan anak itu meluncur dari ruang kuliah
sambil memegangi bagian depan celananya. Takut ke- bobolan. Ia masuk ke toilet pertama di lantai atas. Terisi.
Toilet kedua, juga terisi. Toilet pertama lantai bawah,
juga terisi. Kakinya mulai gemetaran, lompat sana lom- pat sini, mempertahankan diri jangan sampai jebol di
ruang dan waktu yang tidak semestinya. Karena sudah tidak tahan, maka masuklah juga ia ke toilet sialan itu. Dalam satu gerakan tergopoh, ia berdiri dengan pasrah, dan wussssh …. Selama itu ia tahan napas dan memejamkan mata. Namun kemudian, ia memutuskan untuk melakukan suatu tindakan heroik, guna mengakhiri sumber horor di
toilet ini. Masih sambil memejamkan mata, dan menu- tup hidung, ia mengguyur lubang kakus, menyerang
onggokan-onggokan yang nyaris sudah tanpa bentuk, hingga semuanya larut dan menghilang. Si bocah merasa lega, dan mulailah ia membaca pesan-pesan di dinding dengan kemarahan yang tersisa dari tragedi yang baru saja terjadi. Ia ambil spidolnya, warna biru, dan segera ikut menulis, "Ini dia reaksioner brengsek, yang ngebom tanpa dibanjur! Jangan-jangan tak pernah cebok pula. Hey, Kawan, aku memang PKI: Penggemar Komik Indonesia. Kau mau apa, heh?"
* * *
Semua orang tahu belaka, toilet itu dicat agar tampak bersih dan terasa nyaman. Sebelumnya, ia menampilkan
Corat-Coret di Toilet final.indd 27 3/14/2014 2:42:14 PM
28
wajahnya yang paling nyata: ruangan kecil yang marji- nal, tempat banyak orang berceloteh. Dindingnya penuh
dengan tulisan-tulisan konyol yang saling membalas,
tentang gagasan-gagasan radikal progresif, tentang aja