"Tuan Muda, Ketua Dough sudah datang."
Sahutan pelayan rumah pria itu terdengar setelah pintu kamar diketuk dengan sopan. Christ yang pada saat itu tengah tidur terlentang di ranjangnya itu pun langsung membuka mata dengan cepat. Manik mata merahnya melirik tajam ke arah daun pintu.
"Ya. Aku akan turun," balas Christ lantang dengan ekspresi yang sangat datar, namun masih dengan sorot matanya yang menakutkan.
Christ segera bangkit. Mengganti pakaian santainya dengan pakaian casual stelan kameja dan jeans biru yang tadinya terlipat rapi di lemari pakaian dekat ranjangnya. Sambil berjalan keluar kamar, jemarinya menyugarkan dark brown hairnya hingga tampak rapi dan keren.
Hingga saat ini, Christ memang masih berada di tempat persinggahannya di salah satu resort megah di wilayah Nordkette, sebelah utara kota Innsbruck. Tidak begitu jauh dari wilayah St. Anton am Arlberg.
Keluar kamar menyusuri indoor resort, Christ pun sampai di ruangan yang biasa digunakan Christ untuk bertemu dengan tamu.
Dan begitu Christ masuk ruangan itu, sudah ada sosok pria tambun perawakan 40 tahunan, berpenampilan resmi dengan busana tuxedo hitam, lengkap dengan topi fedora hitam. Pria itu duduk di salah satu sofa disana.
"Bagaimana? Apa kau sudah mengumpulkan perempuan dengan ciri-ciri yang kuminta?" tanya Christ to the point seraya duduk di sofa lain.
"Kami menemukan beberapa perempuan dengan ciri-ciri serupa dan akan segera mengirimkannya kepada Anda hari ini," jawab pria tambun itu dengan sangat sopan.
Bibir Christ lantas menyeringai. "Apa itu sudah semua, Dough?"
"Maaf?"
"Semua perempuan berambut amber di Negara ini." Christ mempertegas ucapannya lagi.
"Ah, itu--"
"Bukankah aku bilang kalau kalian harus menangkap semuanya, hum?" Nada bicara Christ mulai meninggi.
Glek!
Pria tambun yang dipanggil Dough itu mendadak gentar, apalagi saat Christ menatapnya dengan begitu bengis seperti ingin membunuh.
Tatapan itu ... Tatapan mengerikan yang selalu sukses mengingatkan Dough ketika bertemu dengan Christ untuk pertama kali.
Pertemuan mereka terjadi sekitar sebulan yang lalu. Saat itu Dough masih merajai beberapa wilayah di negara ini. Menjadi ketua perampok yang bermarkas di Innsbruck. Tapi setelah Christ datang ke Negara ini dan menghabisi semua pasukan Dough seorang diri, Dough pun kini hanya menjadi kacung suruhan Christ.
Kekuatan Christ bisa dibilang sangat tidak masuk akal untuk ukuran manusia biasa. Isu tentang kekuatan seorang "Christone Bergman" yang disebut-sebut sebagai "titisan Iblis" memang bukan isapan jempol belaka. Terbukti, setiap kelompok penjahat menguasai suatu wilayah atau Negara yang pernah didatangi oleh Christ, mereka akan tunduk padanya. Direktur perusahaan AWA yang bergerak di bidang SDM dan teknologi nomor satu di Inggris itu benar-benar mengerikan.
"Ba--baiklah ... Kami akan kembali mencari lagi sampai semua perempuan berambut amber terkumpul," jawab Dough dengan nada bergetar sambil menundukkan kepala.
"Cari di setiap sudut Negara ini. Kalau perlu, kalian pantau semua akses pintu masuk Negara. Terminal, stasiun, sampai bandara. Siapapun perempuan yang berambut amber yang keluar dari Negara ini, harus kalian tangkap!" cetus Christ tanpa ampun.
'Orang ini benar-benar gila! Setelah membunuh semua kelompok perampokku, dia meminta hal yang aneh! Menangkap semua perempuan berambut amber di Negeri ini? Apa untuk dibunuh juga? Yang benar saja!' batin Dough menggumam ketakutan.
"Ya sudah! Cepat pergi sana! Kalau aku memanggilmu lagi, kau sudah harus menangkap semua perempuan berambut amber di Negeri ini! Lalu bawa mereka kepadaku. Kau mengerti?"
"Ba--baik, Tuan." Dough mengangguk hormat seraya bangkit dari tempat duduknya. Lalu segera meninggalkan ruangan itu.
"Jeremy!!"
Christ memanggil dengan lantang agar orang tangan kanannya itu masuk ke ruangan. Christ tahu kalau Jeremy sudah stand by di depan pintu ruang tamu.
"Ya, Tuan."
Tampak seorang pria berambut pirang nan tampan dengan freckless di pipinya, berbadan tegap yang mengenakan busana resmi dengan jas abu-abu itu datang dengan langkah tegas setelah membungkuk hormat pada Christ.
"Saya kemari ingin mengingatkan jadwal meeting Anda dengan client dari perusahaan Zwerm pukul empat sore nanti."
"Ah, ya ..." Christ mengangguk kikuk. Dia baru ingat kalau punya jadwal meeting sore ini.
Belakangan ini fokus Christ teralihkan pada Liza, perempuan berambut amber yang memiliki energi jiwa besar yang sangat menggoda dirinya. Saking terobsesinya Christ terhadap perempuan itu, ia sempat melupakan tujuannya datang ke Negara ini. Kedatangan Christ sebulan yang lalu ke Negara ini hanya untuk menjalin hubungan kerjasama dengan tim engineering sensor robot di perusahaan Zwerm yang bertempat di pusat kota Innsbruck.
"Tuan?" Panggilan Jeremy itu seketika membuyarkan lamunan Christ.
"Ya. Segera siapkan semua dokumennya lalu kita berangkat. Pastikan kau sudah melakukan reservasi hotel disana."
Jeremy mengangguk tegas. "Lalu apa Anda butuh teman wanita juga untuk malam ini?"
Christ tertawa pelan. "Tawaran yang bagus. Lagipula aku juga penasaran, ingin mencicipi tubuh perempuan disini."
Ya. Christ butuh menyalurkan hasratnya malam ini. Agar pikirannya teralihkan dari perempuan berambut amber yang ia cari itu.
**
Christ tidak mengetahui kalau kota tempat tujuannya untuk perjalanan bisnis itu malah mengantarnya ke tempat yang sama dimana perempuan yang ia cari itu berada.
Liza, perempuan cantik berambut amber bergelombang itu sudah sampai di kawasan gedung-gedung sejarah abad pertengahan di kota Innsbruck. Bersama timnya--Ken, Mina juga beberapa rekan lain, Liza memasuki kastil peninggalan abad pertengahan yang paling terkenal, kastil Ambrass.
"Perutmu sudah baikan, Liz?" Mina pun bertanya untuk memastikan kondisi Liza betul-betul sudah baik.
Liza mengangguk semangat. "Ya! Saranmu ternyata sangat membantu. Yoga kundalini membuat tubuhku menghangat. Terimakasih."
Yoga kundalini ternyata sangat ampuh untuk Liza. Ketika Liza mencoba beberapa gerakan relaksasi, ia seperti merasakan aliran energi yang sangat hangat diseluruh tubuhnya. Entah bagaimana bisa seperti itu.
"Bagus!" sahut Mina senang.
"Lebih baik kita segera berpencar untuk meneliti dan mengambil gambar di tempat ini. Kastil ini terlalu besar kalau kita menelusurinya dengan berjalan bersama." Tiba-tiba Ken menyela pembicaraan mereka.
Liza dengan cepat menganggukan kepala mantap. "Boleh saja. Sebaiknya kita harus cepat sebelum hari mulai gelap."
"Baikah ... Kalau ada informasi apapun, kita saling mengabari lewat telepon," ucap Mina sembari menempelkan headset di telinganya.
Setelah menentukan titik kumpul di aula kastil, mereka pun berpencar. Tentu tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena kastil ini dijaga oleh beberapa puluhan penjaga yang stand by di tiap titik di ruangan kastil. Dan lagipula, kastil Ambass ini juga masih ramai pengunjung. Karena sejak di renovasi ulang dan dibuka untuk wisata sejarah, tempat ini tidak seseram dulu.
Liza sendiri merasa tertantang dengan petualangannya sendiri di kastil itu. Karena selain mencari sejarah, Liza juga membuktikan kebenarannya soal penyihir yang bernama Adera.
Apalagi, menurut keterangan beberapa pengunjung yang sempat Liza dengar, ada beberapa penampakan roh dan hantu yang kadang sering berseliweran di kastil ini. Walaupun Liza itu agak takut, tapi rasa penasarannya sangat tinggi. Liza malah berharap kalau dia bertemu dengan salah satu roh penampakan dan menangkap gambarnya. Itu akan menjadi berita viral yang pastinya menggemparkan.
Cukup lama Liza berjalan menyusuri lorong-lorong dan memasuki beberapa ruangan, namun Liza masih belum menemukan petunjuk apapun selain cerita tentang peradaban abad pertengahan yang membosankan.
Tapi itu tidak berlangsung lama, sampai Liza menjumpai satu ruangan paling ujung dan sepi. Pintunya terbuat dari kayu jati yang tertutup rapat. Tapi tidak ada kunci atau apapun. Hanya ada satu lubang kecil di tengah pintu itu.
"Aneh. Di denah kastil tidak ada keterangan untuk ruangan ini," gumam Liza sambil mengecek denah kastil di ponselnya.
Iseng-iseng Liza memasukkan satu jari telunjuk ke lubang itu. Bersamaan dengan itulah seberkas cahaya putih pun keluar dari lubang itu. Kontan saja Liza memekik tertahan.
"Wah!"
Dan saat Liza mengeluarkan jarinya dengan cepat, tidak terduga pintu itu malah terbuka dengan sendirinya. Seolah jarinya itu adalah kunci sensor pintu itu.
"Waw ..."
Bukannya takut dengan pintu yang terbuka sendiri. Justru Liza tertegun melihat isi ruangan. Dan tanpa Liza sadari, ia pun melangkah masuk ke ruangan tersebut. Bersamaan dengan itulah pintu itu langsung tertutup sendiri.
Liza tidak begitu mempedulikan keanehan pintu itu, karena apa yang dilihatnya di dalam ruangan jauh lebih menarik perhatiannya.
Di dalam ruangan temaram itu, ada beberapa rak buku tua yang sudah berdebu dan cukup berantakan. Nampaknya tempat ini sudah lama sekali tidak dijamah oleh manusia. Dan hanya ada cahaya matahari dari celah atap sebagai satu-satunya sumber penerangan. Kondisi ruangan juga sangat lembab dan dingin. Bahkan, Liza kesulitan bernapas karena merasakan kelembaban bercampur debu di ruangan itu.
Masih penasaran, entah bagaimana tangan Liza tiba-tiba tergerak untuk mengambil salah satu buku di rak yang paling dekat dengannya.
"Sejarah pembantaian penyihir di tanah Eropa."
Judul buku itu sontak membuat napas Liza tercekat. Jadi benar kalau di zaman abad pertengahan pernah ada penyihir? Lalu bagaimana mereka bisa dibantai?
**
To be continued