Penasaran dengan isi buku bersampul coklat gelap usang itu, Liza pun membuka lembar per lembarnya.
Disitu tertulis bahwa pada zaman abad pertengahan, manusia yang mempelajari ilmu sihir atau keturunan dari manusia penyihir akan dibantai karena dianggap mendatangkan bala.
Juga ada beberapa halaman yang menjelaskan banyak macam penyiksaan yang dilakukan oleh penyihir jika tertangkap oleh manusia. Ada yang dipancung, digantung, diracun, dan masih banyak lagi bentuk hukuman yang sangat mengerikan.
Isu soal pembantaian penyihir di tanah Eropa memang sudah pernah Liza temukan di internet, tapi tidak sedetail yang ada di buku ini. Karena bagaimanapun, internet hanya menjelaskan desas-desus yang kurang jelas dan tidak berdasar. Kebanyakan isu itu hanya berasal dari opini masyarakat yang diceritakan turun-temurun.
"Baiklah ... Sebaiknya aku cepat keluar dari sini ... Aku akan membaca buku ini nanti ..." Liza lantas memasukkan buku tua itu ke dalam tas ransel bawaannya.
Alih-alih beranjak pergi, sekali lagi Liza tertarik untuk melihat puluhan buku usang yang lain. Namun yang Liza temukan hanyalah buku-buku dengan tema peradaban dan teknologi manusia abad pertengahan saja.
"Apa tidak ada buku tentang penyihir lagi? Aku butuh lebih banyak informasi!" geram Liza seraya menjejakkan kakinya ke lantai.
DUK!
Tidak disangka hujaman kaki Liza menimbulkan suara aneh. Hal itulah yang membuat Liza seketika menyadari kejanggalan pada lantai itu. Ia menduga kalau di bawah lantai ada sesuatu.
Sesaat setelah Liza mengamati lantai itu, baru ia sadari kalau lantai tersebut memiliki corak yang sangat unik. Mirip corak bunga matahari dengan titik hitam di tengah tiap ubin lantai.
Diantara lantai itu, Liza menyadari ada satu titik ubin yang ternyata merupakan lubang. Yang mana ubin berlubang itu adalah ubin yang diinjak Liza tadi.
Sejurus kemudian, Liza pun menggerakkan telunjuknya, menuruti insting untuk memasukkan telunjuknya ke lubang itu.
Dan ketika Liza mencoba menarik jarinya, ubin itu terlepas bersamaan dengan telunjuknya yang ikut menarik ubin. Terkejutlah Liza saat ia menemukan sebuah buku tua yang ternyata terkubur di bawah ubin itu.
Dibukalah buku usang penuh debu itu. Tidak ada judul atau apapun yang tertera pada sampul buku abu-abu tersebut. Namun saat melihat isi bukunya, bola mata Liza langsung membulat.
"Ini ..."
Sekilas saat Liza membolak-balikkan halaman buku, ia melihat ada beberapa gambar anatomi manusia dengan keterangan warna di setiap bagian tubuh, juga gambar-gambar gerakan manusia yang hampir mirip dengan gaya bela diri. Ada juga gaya-gaya seperti yoga kundalini. Fungsi dan tujuan dari tiap gerakan tersebut juga dicantumkan.
Membaca keterangan tiap-tiap gerakan disitu, Liza pun dapat mengambil kesimpulan, kalau buku ini mengajarkan tentang beberapa gerakan dasar untuk membuka jalur energi dalam tubuh. Yang pastinya ini ada kaitannya dengan penyihir.
Dan dugaan Liza pun semakin menguat karena di setiap gerakan bela diri, selalu disertakan ada keterangan dan pengucapan mantra dengan pelafalan yang sulit diucapkan.
Liza pun seperti tertantang untuk membuka lembar di buku itu hingga paling akhir. Melihat satu panduan gerakan yang sangat menarik perhatian, Liza langsung memulai untuk mempraktekan gerakan itu tanpa membaca dulu fungsi dari gerakan dan mantra itu untuk apa.
"Otkponte bopota ..." Liza menggumamkan pelan mantra itu.
Di detik selanjutnya Liza membuka mata, tampaknya tidak terjadi apapun. Ia pun kecewa.
"Apa aku salah membaca mantranya?"
Lagi, Liza mencoba mengamati tulisan mantra itu. "Ah! Apakah bacanya ... Otkroyte ... vorota?"
Tidak sampai setengah detik setelah Liza mengucapkan itu, muncul semburat cahaya putih menyilaukan dari lantai tempat Liza berdiri. Liza pun langsung kabur dan bersembunyi di balik salah satu rak buku.
"Hallo? Ada orang??" Terdengar sahutan dari arah tempat kemunculan cahaya itu.
Betapa terkejutnya Liza saat tahu ada sosok arwah laki-laki muda berpakaian jubah putih, dengan rambut pendek amber--persis seperti warna rambut Liza. Warna bola matanya juga ungu, tapi lebih muda. Dan yang mengejutkan, laki-laki itu punya garis wajah yang mirip Liza.
Menyadari keberadaan seseorang yang memanggilnya itu sedang bersembunyi di rak buku, laki-laki muda itu segera melayang menghampiri Liza.
"Kakak??" pekik laki-laki muda itu saat melihat wajah Liza
"Apa? Siapa?" Liza yang melihat laki-laki itu tiba-tiba muncul di belakangnya tentu saja kaget.
"Kau ... Kak Adera? Kukira kau sudah mati! Apa kakak yang memanggilku?" tanya laki-laki itu histeris.
"A--aku bukan ..."
"Kau hidup kembali? Bagaimana bisa?" Laki-laki itu menatap Liza dengan takjub, tapi juga bingung.
Liza yang mendapat sapaan kakak oleh arwah itu juga sama bingungnya. Ini kedua kalinya Liza dipanggil dengan nama itu. Adera. Kalau sudah begini, jelas kalau ini bukan sekedar salah sebut.
Liza memejamkan mata sejenak lalu menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya.
Membuka mata, Liza pun menjawab, "Oke. Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, biarkan aku bertanya terlebih dahulu. Siapa kau? Mengapa memanggilku kakak?"
Laki-laki itu justru terkekeh. "Oh ayolah! Jangan bercanda, Kak! Aku ini Raul, adikmu satu-satunya! Kau yang memanggilku dari dimensi astral, kan?"
"Me--memanggil ...?"
Bola mata Liza membulat. Buru-buru ia membuka buku coklat itu tadi. Liza pun batu menyadari kalau mantra yang Liza gunakan itu ternyata adalah mantra pembuka gerbang antar dunia fana dan astral. Astaga ...
"Baiklah ... Sepertinya aku tidak sengaja memanggilmu kesini. Aku baru saja menemukan buku ini, lalu mencoba gerakan dan mantranya."
Laki-laki muda itu tertegun sejenak. Merasa janggal dengan semua ini. Dimulai dari Adera yang tidak mengenalinya, dan fakta mengejutkan kalau Adera ternyata masih hidup, namun tidak mengenali Raul sama sekali. Itu aneh.
"Biar kuceritakan padamu. Beberapa waktu lalu, aku sempat tertarik ke dimensi astral dan bertemu kakek tua bermata biru laut di hutan Arlberg. Beliau juga memanggilku Adera, keturunan keturunan penyihir putih legendaris. Karena aku terus penasaran, aku berusaha mencari informasi soal penyihir di abad pertengahan. Hingga akhirnya aku menemukan buku ini dan tidak sengaja memanggilmu," terang Liza menjelaskan.
"Bermata biru laut? Itu pasti kakek Fausto dari keluarga penyihir putih bermata biru. Aku dengar arwah mereka berkumpul di dimensi astral di gunung tersebut. Karena terakhir mereka dibunuh tidak jauh dari tempat itu--"
"Tunggu!" Liza tiba-tiba memotong ucapan Raul untuk mengambil satu buku lagi di ranselnya.
"Aku menemukan buku ini di salah satu rak ini. Tertulis di buku itu mengatakan terjadi pembantaian para penyihir di tanah Eropa pada zaman abad pertengahan. Apa ini penyebab mereka dibunuh?"
Sorot mata Raul mendadak berubah sayu. "Itu benar. Dulu, manusia yang memiliki kemampuan sihir dan keturunan penyihir, semuanya dibantai tanpa pandang bulu. Entah itu penyihir putih maupun hitam. Bahkan ... Keluarga kita ... Termasuk Kak Adera ... Aku bahkan melihat sendiri mayat kak Adera ..."
DEG!
"Ma--mayat?"
Sontak tubuh Liza merinding. Ngeri membayangkan mayat itu.
"Manusia terlanjur menganggap bahwa semua penyihir adalah pembawa bencana. Padahal sesungguhnya, penyihir hitam lah yang suka berbuat kerusakan. Sedangkan kita, para penyihir putih hanya menjalankan tugas di dunia sesuai kekuatan sihir masing-masing untuk menjaga perdamaian."
Raul lantas mengubah mimik wajahnya menjadi senyuman, bersamaan dengan bola matanya yang bergerak menatap Liza.
"Tapi sekarang ... Aku menemukan kakak yang ternyata masih hidup, namun sayangnya kakak tidak bisa mengingat apapun. Itu cukup mengejutkanku ... Dan membuatku sedih ..."
Seketika Liza merasa bersalah. "Raul ... Aku ..."
Di tengah pembicaraan itu, tiba-tiba ponsel Liza berbunyi. Itu dari Mina, sahabatnya. Liza memang sudah cukup lama di dalam ruangan pengap itu. Teman-temannya pasti sedang mencari keberadaan Liza. Tapi Liza pilih mengabaikan panggilan telepon itu dan menekan tombol silent.
Bersamaan dengan itu, wujud arwah Raul perlahan memudar. Sontak Liza panik.
"Apa yang terjadi pada tubuhmu?"
Raul tersenyum nanar. "Para arwah yang sudah meninggal memang tidak bisa bertahan lama saat menyebrang ke dunia fana. Jadi sepertinya kita tidak bisa mengobrol lebih lama lagi."
"Tidak! Jangan pergi dulu! Aku masih punya banyak pertanyaan! Tentang kekuatan sihir Adera! Apa dia juga bisa ... melihat kristal aneh di tubuh manusia sepertiku?" tanya Liza dengan cepat.
Raul menyentuh kedua pundak Liza dengan lembut. Walau sentuhan itu tidak terasa secara fisik, tapi Liza merasakan kehangatannya.
Dan entah bagaimana, sentuhan itu membuat air mata Liza mengalir dengan sendirinya. Tiba-tiba saja Liza merasakan rindu keluarga. Rasa rindunya persis ketika Liza merindukan keluarga panti asuhannya di Bradenbergh, Tyrol.
"Ah ... Soal kekuatan Kak Adera itu ... Sebenarnya aku ingin sekali menceritakan semuanya pada kakak. Sayangnya aku tidak bisa bertahan lama lagi disini, karena kita tidak akan bisa menentang hukum alam, Kak ..."
Tangis Liza pun makin deras. "Ta--tapi ..."
"Kalau beruntung, kita akan bertemu lagi. Selamat tinggal ..." pamit Raul seraya melambaikan tangannya.
Wujud arwah Raul semakin memudar. Lalu menghilang begitu saja seperti sapuan debu yang berhamburan di udara.
**
To be continued.