webnovel

Confusing Situation

Hari mulai gelap. Sesegera mungkin lelaki paling muda di menara pemantau itu kembali ke rumah singgahnya. Melihat keadaan kelinci yang diberi nama Dark Choco oleh Kimberly itu. Boleh dipanggil Dark ataupun Choco, itu katanya. Sesampainya di kamar, ternyata ia baik-baik saja satu sangkar bersama kelinci hitam.

"Akhirnya kau kembali!" Terdengar sahutan dari Choco alias Thomas.

"Jadi... Apa yang ingin kau bicarakan. Bagaimana kau bisa berubah kembali?" tanya Chip.

Thomas tidak menjawab. Ia tak tahu. Tapi terdengar suara gadis dari arah kelinci hitam itu. "Keluarkan kami dulu."

Chip nampak ragu. "Iya, Lizzie benar." Mendengar Thomas setuju, akhirnya ia mengeluarkan kelinci itu dan menaruhnya di lantai kayu. Hanya dengan Choco yang diangkat, otomatis kelinci hitam itu terbawa karena rantai yang mengikatnya.

Lizzie melepas cengkramannya. Yang dilihat Chip hanyalah rantai itu terlepas dari kaki depan Choco dan menghilang ditelan kaki depan kelinci hitam itu. Seketika terlihat kilatan hitam sesaat dan mereka ke bentuk semula.

"Jelaskan semuanya!" sahut Thomas tiba-tiba. Cukup membuat Chip tersentak.

"Apa?"

"Kimberly. Apa yang sudah terjadi padanya selama ini?"

"Kau kan bisa bertanya langsung padanya, Thomas," delik Lizzie.

Chip melihat sosok itu dengan perasaan sangat jengkel dan tidak suka. Namun ekspresinya terlihat biasa saja. Ia berusaha untuk lebih tenang dan berharap ia bisa berbicara 4 mata dengan Thomas.

"Aku bisa bertanya kapan-kapan dengannya. Dia akan membawaku, kan? Untuk jaga-jaga kalau Kimberly berbohong, lebih baik aku bertanya pada Chip dulu." Thomas mulai risih dengan Lizzie yang berusaha memisahkannya dari Chip.

"Ishh... terserah" desis Lizzie. Lalu ia berbalik badan, memperhatikan beberapa bingkai foto yang terpajang di sana.

"Kita mulai dari mana?"

"Apa yang kau tahu saja," jawab Thomas sambil duduk di kursi kayu di belakangnya dan mengambil posisi nyaman untuk mendengar cerita panjang. Ia melihat Lizzie di sampingnya. "Lizz, kau tidak duduk?"

"Hmm... tidak. Melihat foto-foto ini lebih menyenangkan dibanding mendengar obrolan kalian," kata Lizzie.

"Ok." Thomas kembali memandang Chip yang terlihat benar-benar muak dengan gadis itu. "Chip?"

Chip sedikit tersentak dari lamunannya dan kembali memandang Thomas.

"Mungkin dimulai dari kenapa matanya tidak hitam sepertiku?" usul Thomas. "Apa mungkin mata itu..." Ia tidak ingin melanjutkannya. Berharap Chip tahu maksudnya.

Chip menggeleng cepat.

"Dia memakai lensa kontak berwarna coklat. Bukan karena Mamanya, Nataline" jelasnya. Thomas meringis saat mendengar nama itu lagi.

"Lizz, kau dengar tadi? Matanya coklat karena lensa kontak! Dasar pembual" gerutu Thomas seraya menarik ujung dress Lizzie.

"Ouh aku kira mata orang lain," balasnya dengan nada datar tanpa dosa sambil menarik ujung dressnya dari cengkraman Thomas. Mata Lizzie menelaah foto-foto yang mendominan potret pemandangan alam, sampai ia berhenti di salah satu foto Chip bersama beberapa rekan kerjanya.

Thomas memutar bola matanya seraya berkata. "Lanjutkan, Chip."

"Kalau keadaan orangtuanya--maksudku orangtua angkatnya--sekarang, bisa dibilang mereka baik-baik saja. Tapi..." Chip menekankan kata tapi, membuatnya penasaran. "Itu keadaan fisiknya, bukan mentalnya. Saat itu, aku tidak tahu kapan, Nataline masuk rumah sakit jiwa karena stress berat dan Daryl masih menjadi seorang kurir," jelasnya.

Thomas tersenyum, merasa sangat lega mendengarnya. "Sudah sepantasnya dia masuk rumah sakit jiwa," gumamnya."Lalu, bagaimana ia bisa menjadi seorang ahli kelinci?"

Ia menggaruk pipinya ragu. "Sebenarnya dia dokter hewan yang senang dengan kelinci. Kimberly diundang ke sini dengan temannya sesama dokter oleh beberapa pengamat hewan. Selain digaji, ia juga bisa ikut-ikutan mengamati hewan-hewan selain kelinci yang ditangkap mereka sekalian juga berekspedisi," jelas Chip. "Dia sangat berterimakasih dengan Daryl yang berusaha mati-matian menyekolahkan dia sampai menjadi dokter hewan itu. Ia juga sering menjenguk Nataline."

Ucapan terakhirnya membuat Thomas kaget bukan kepalang. "Hah?! Kenapa bisa?" serunya.

"Aku tidak tahu. Dia tidak pernah memberi alasan kenapa dia sayang dengan Mamanya," kata Chip.

"Astaga," erang Thomas sambil mengacak rambutnya gusar. "Apa yang sudah terjadi dengannya?" cemasnya. Ia menoleh ke Lizzie yang seharusnya ikut mendengarkan mereka. Tapi ia hilang secara misterius. Membuat Thomas panik. "Bagaimana aku bisa kembali ke rumah singgah Kimberly dalam keadaan seperti ini?"

Bukannya saran yang keluar dari mulut Chip--untuk membantunya keluar dari masalahnya, malah helaan napas lega yang ia dengar. Ini membuat Thomas semakin jengkel. "Ada apa Chip?"

"Kali ini aku ingin bicara denganmu," kata Chip. "Tapi, tenangkan pikiranmu. Jangan coba-coba menggunakan batinmu untuk mengulang atau mencerna ucapan yang aku katakan nanti."

Melihat tatapan tajam dan mendengar nada serius itu keluar dari Chip yang sebenarnya berperangaian humoris, membuat Thomas bungkam dan mencoba mengikuti apa yang ia perintahkan.

"Kau bisa mendiamkan sejenak pikiran dan batinmu, kan? Kalau nanti ada yang ingin kau katakan, katakan saja," ulang Chip. "Kalau bisa, coba untuk memikirkan hal selain apa yang aku bicarakan."

"Baiklah. Aku coba. Tapi untuk apa kau sembunyikan ini dari Lizzie?" herannya.

Chip meraih sekantung keripik kentang di nakas lalu membukanya. "Kalau kau mau, ambil saja di belakangmu di dalam keranjang. Pilih dan ambil sesukamu," infonya sambil menggapai potongan keripik di dalam kantung itu. Ia seakan baru saja membaca pikiran Thomas yang sedang kelaparan.

Thomas memutar tubuhnya dan melihat kedalam keranjang. Ia terlihat biasa saja saat mengambil sekantung chips yang besar--mengingat ia belum makan dari pagi tadi--dari lusinan tumpukan chips yang beragam bentuk dan rasanya itu. Chip memang tidak berubah untuk selalu menyimpan lusinan keripik kentang dalam kamarnya.

"Aku coba ulangi sekali lagi," kata Chip sambil mengunyah makanan favoritnya. "Lizzie itu makhluk jahat."

Thomas hampir tersedak saat mendengarnya secara spontan. "Jangan sembarangan menuduhnya!" hardiknya tajam. "Ia sudah banyak menolongku dan berbuat baik padaku."

"Tapi apa kau tidak curiga dan bertanya alasannya kenapa ia berbuat baik hanya kepadamu?" balas Chip. "Apa kau tidak melihat sekelilingmu? Apa selama ini kau merasa tidak terhasut olehnya untuk membunuh seseorang hanya gara-gara kau cemburu dan iri pada orang yang kau bunuh itu?" Chip menghujaninya berbagai pertanyaan yang bisa menyudutkannya. "Kau mulai tertular kejahatannya, Thomas"

Beberapa saat Thomas terdiam dan lidahnya terasa kelu. "Apa... Apa maksudmu?" Ia berpura-pura tidak mengerti, menjadi satu-satunya jalan keluar dari pertanyaan-pertanyaan itu.

"Aku yakin kau masih mengenal Lindsey. Gadis kecil tanpa dosa yang kau dorong ke jurang dan tewas seketika," ujarnya tajam. "Aku tahu, karena dia memberitahuku tadi saat aku di menara. Tidak kusangka kau bisa membunuh gadis itu hanya karena iri semata."

Lagi-lagi Thomas merasa terpojok. Ia membuka mulutnya, tapi tidak ada ucapan yang keluar dari pikirannya bahkan pikirannya pun juga terasa hampa dan tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ia memasukkan jarinya ke dalam kantung untuk mengambil keripik lagi. "Li-Lindsey? Aku tidak--"

"Dia ada di sebelahmu tepat di depan pintu," sela Chip cepat. "Mengingat kau bisa melihat dan berkomunikasi dengan Lizzie, kau sudah termasuk indigo," tambahnya.

Thomas mulai menyadari kehadiran suatu sosok di sebelah kanannya. Sosok yang sedang berdiri dan menatapnya. Nafsu makannya mulai hilang. Rasa takut, resah dan cemas seakan menghilangkan rasa ayam panggang yang membekas di mulutnya. Jemarinya yang ia masukkan ke dalam kantung makanan, bergetar ketakutan. Ia tidak bisa membayangkan apa yang Lindsey lakukan padanya dan ia ragu apakah Lindsey akan menerima penyesalannya atau tidak.

"Dia akan baik padamu kalau kau minta maaf padanya," ucapan Chip membuatnya sedikit berani untuk menoleh ke kanan.

Perlahan tapi pasti, ia menoleh ke arah kanan sambil sedikit merunduk. Ia melihat sosok tanpa kaki yang menapak di lantai kayu, ia mengenali pakaian yang telah bersimbah darah itu, dan saat pandangannya berhenti di wajah pucat itu, ia mulai sadar. Ia telah membunuh gadis polos yang tidak berbuat jahat sekalipun padanya.

Lindsey tersenyum, membuat batin Thomas kembali berguncang hebat dan ia sangat menyesali perbuatannya itu. Lubang yang terpampang dan menembus lehernya juga darah yang terus mengucur dari lubang itu dan terus mengotori pakaiannya, memperbesar rasa penyesalan Thomas karena telah merenggut masa depannya yang masih panjang.

"Aku... Aku minta maaf," ucap Thomas sambil merunduk. "Aku benar-benar menyesal telah mendorongmu dan--"

"Sudah jangan diingat lagi, kata Lindsey," sela Chip. "Ia sudah memaafkanmu. Tapi ia tidak menjamin kalau kakaknya akan memaafkanmu dengan mudah," tambahnya. " Ia tidak bisa bersuara karena pita suaranya telah hancur. Jadi, ia telepati padaku," jelasnya tanpa diminta.

Thomas kembali mengangkat kepalanya dan tersenyum tulus pada Lindsey. "Terima kasih."

Lindsey mulai tembus pandang dan perlahan menghilang dengan senyum riang dan lambaian.

"Apa dia... sudah tenang di alamnya?"

"Mungkin," jawab Chip. "Sekarang kau percaya kalau Lizzie yang sudah menghasutmu untuk membunuh Lindsey itu jahat kan?"

Thomas mengangguk lemas.

"Berarti kau tidak perlu cemas kalau kemungkinan besar ia menjadi target dari arwah-arwah yang sudah dibunuh olehnya, kan?"

"Target?" bingung Thomas pada kata 'target' yang ditekankan itu.

"Kau beruntung Lindsey itu arwah baik. Satu-satunya manusia yang kau bunuh dengan kontak langsung. Bagaimana dengan Lizzie? Walaupun ia tidak melakukan kontak langsung, ia sudah membunuh banyak orang dengan sengaja menampakkan diri pada korbannya dan membuat korbannya terlihat seperti murni tewas dari kecelakaan," jelas Chip panjang lebar. Lalu ia berdiri dan menghampiri Thomas. Kedua tangan besarnya menggenggam pundak Thomas dan mengguncangnya. "Sadarlah Thomas! Kau sudah dimanfaatkan Lizzie! Kau makhluk beruntung yang bisa bereinkarnasi menjadi bentuk kelinci. Tapi karena makhluk itu, kau malah menjadi siluman yang tidak jelas kebenarannya kalau kau itu sudah mati atau tidak!" mata hijau Chip menatap lekat-lekat kedua bola mata hitam Thomas. Begitupun sebaliknya.

Lagi-lagi batinnya berguncang hebat. Tidak ada pegangan untuknya dalam situasi yang membingungkan ini. Pikirannya labil, jiwanya goyah. Satu sisi ia membenarkan peringatan Chip, namun sisi lainnya tetap kukuh membela Lizzie dengan alasan yang sama. Oh ayolah, Thomas hanya anak penggila bermain berumur 12 tahun yang belum bisa memutuskan dan mengerti apa yang sudah terjadi padanya. Pikiran, tubuh, dan mentalnya tidak sama dengan adik juga sahabatnya yang sudah tumbuh dewasa.

Ia sadar setelah melihat bukti kalau Lizzie itu jahat, tapi ada hal yang membuat ia tidak sepenuhnya beranggapan seperti itu. Ingin rasanya ia berlari dari tempat itu dan menyendiri. Satu-satunya jalan baginya untuk menenangkan diri dari tekanan dan mencoba menyelesaikan masalah secara perlahan.

"Tapi ada yang tidak kau mengerti Chip," kata Thomas dengan nada pelan dan merunduk semakin dalam.

"Apa yang tidak aku mengerti hah? Jelas-jelas dia sudah membuatmu menjadi penjahat kriminal seperti ini!" Chip mencengkram baju Thomas dan memakasanya menatap matanya.

Mata hijau yang menyiratkan amarah. Chip masih sama seperti dulu. Tampangnya boleh saja terlihat seperti orang yang selalu tersenyum dan tidak mudah marah. Ia memang penyabar, tapi kalau amarahnya sudah memuncak, ia akan menjadi Chip yang berbeda.

"Jawab aku, Thomas!" ujar Chip lambat dan dingin. "Aku mencoba menyelamatkanmu darinya, tapi kenapa kau bilang aku tidak mengerti?" Tangan kanan Chip mengepal dan bersiap untuk meninju. "Aku yakin, Thomas di depanku ini bukanlah Thomas yang aku kenal."

Thomas menutup matanya rapat-rapat saat Chip mulai melayangkan tinju di wajahnya. Tenaganya tidak mungkin cukup untuk melawan Chip yang sudah dewasa, bukan lagi Chip yang setahun lebih muda darinya lagi.

"Hey! Siapa--"

Tiba-tiba saja tangan Chip ditahan oleh sesuatu dengan tangan dinginnya. Thomas membuka sebelah matanya dan melihat apa yang sudah terjadi.

Mereka berdua kaget siapa yang sudah menahan pergelangan tangan Chip.

Sosok yang pernah Thomas lihat saat detik-detik ia tak sadarkan diri di atas ranjang tidur dalam mimpi panjangnya. Gadis berambut cokelat panjang dengan dress putih dan wajah seperti Lizzie. Tapi ia yakin, sosok itu bukanlah Lizzie yang ia kenal.

"Amarahmu tidak akan menyelesaikan masalah ini."

Next chapter