webnovel

You Are My Target

Ia terus berlari. Berlari menyusuri hutan lebat di bawah remangnya cahaya bulan purnama. Melawan arah angin yang sedang berhembus dengan kencangnya. Tidak terlihat sama sekali ketakutan di wajahnya. Ia merasa senang dan puas. Tawanya mengiringi setiap langkah cepatnya. Seakan meremehkan sosok-sosok di belakangnya yang terus melayang mengejarnya.

"Kalian payah! Kalian tidak mungkin menangkapku dengan mudah! Hahaha!" ledeknya sambil melihat ke belakang. Ke arah beberapa sosok mengerikan yang sedang mengejarnya dengan penuh amarah.

Tiba-tiba salah satu dari mereka sudah berdiri di depannya dan membentangkan tangannya--yang sudah berbentuk tak semestinya--untuk menangkapnya.

Ia tidak mungkin berhenti mendadak. Kalau berhenti pasti ia segera ditangkap. Ia pun langsung melompat tinggi dan melewati sosok itu dari atas. Sosok berkepala hancur itu tidak menyangka kalau targetnya bisa melompat setinggi itu.

Ia mendarat dengan mulus dan kembali berlari.

"Kalian sangat payah!" ledeknya pada sosok itu sambil tertawa lepas.

Setelah ia berlari cukup jauh, ia segera bersembunyi dibalik batang kayu besar yang telah roboh di tanah yang lebih tinggi dari tempat persembunyiannya. Ia beringsut mundur, merapat ke sela kecil di bawah batang pohon itu. Lalu ia mencoba untuk lebih tenang. Ia masih bisa merasakan makhluk-makhluk seperti mayat berjalan itu di sekitarnya. Lebih tepatnya di atasnya.

Mereka kehilangan jejaknya dan akhirnya mereka pun menghilang seketika dengan perasaan sangat kecewa. Beberapa saat ia terduduk di sana sampai mereka benar-benar menghilang dan tidak muncul secara mengagetkan. Setelah ia cukup lama bersembunyi, ia berdiri keluar dari lubang itu. Ia sedikit meregangkan tubuhnya dan kembali mengejek makhluk-makhluk itu karena tidak bisa menangkapnya.

Di depannya, terdapat sebuah jurang yang memisahkan dua daratan dan jauh dibawah jurang itu terdapat sungai yang mengalir deras. Ia melihat sekitar sampai matanya berhenti pada sebuah benda yang menempel di salah satu batang pohon dengan letaknya yang cukup tinggi. Benda itu memantulkan sedikit cahaya bulan.

"Tinggal sentuhan akhir," gumamnya seraya mengambil batu yang cukup besar di sekitarnya. Lalu ia melemparnya ke arah benda itu dan membuatnya hancur berkeping-keping.

"Tidak akan kubiarkan seorangpun mencampuri urusanku!"

•••

Sudah satu jam Chip berdiri di luar kamarnya. Ia membiarkan sosok berpakaian putih itu berbicara 4 mata dengan Thomas karena ia percaya dengan sosok yang terlihat baik itu. Ia menyangka kalau sosok itu adalah bagian baik dari Lizzie atau mungkin kembaran Lizzie yang baik atau teman arwah Thomas yang baik atau entahlah, yang penting baik.

"Dia Thomas yang masih berumur 12 tahun, aku rasa ia bingung dengan apa yang kau jelaskan tadi. Jadi biar aku saja yang menjelaskan padanya apa yang sudah terjadi secara privasi"

Ucapan yang keluar dari arwah gadis cantik namun pucat pasi itu terdengar meyakinkan dan ia membenarkan kalau Thomas dalam keadaan bingung. Ia pun juga tidak bisa memaksanya mengerti.

Karena merasa bosan, ia turun dari lantai kamarnya menuju ruang tamu. Tapi tiba-tiba saja ada suatu sosok duduk di sofa. Sosok lelaki dengan tubuh tak lengkap. Kedua tangannya hilang dan tubuhnya tercabik-cabik. Ia menoleh ke arah Chip dan memandang dengan mata merah yang mengeluarkan darah. Ia beranjak dari sofa dan menyeret kakinya ke arah Chip yang memandangnya datar.

"Sepertinya aku kedatangan tamu," ucap Chip. "Apa maumu?" Ekspresinya biasa saja, namun sebenarnya ia bersikap waspada dengan makhluk niatan jahat itu.

"Thomas...," mulutnya bergerak dan suara mengerikan terdengar. Ia terus mengulang-ulang nama itu sambil menyeret kakinya.

Dari balik kacamatanya, Chip mencoba melihat masa lalu yang ditampilkan sosok itu. Masa lalu penyebab kematiannya yang terlihat begitu tragis. Visual itu menampilkan secara terbalik. Thomas yang hanya berdiam diri memandangnya nanar dan Lizzie, ia tersenyum lebar ke arahnya sampai benang-benang jahit yang menghiasi pipinya hampir terputus. Lizzie berada di belakang Thomas dan menahannya untuk membantu pemuda itu. Tapi Thomas terlihat tidak menyadari keberadaannya. Visual itu mengabur dan darah mencuar ke berbagai arah bersamaan dengan teriakan menjelang kematian juga potongan tubuh yang terlempar kemana-mana oleh sebuah cakar cokelat yang sangat besar. Dan akhirnya visual itu hilang yang menandakan pemuda itu telah tewas.

Chip bisa mengetahui kalau pemuda itu tewas oleh tikaman beruang grizzly hanya dengan melihat cakram besarnya saja. Dan ia baru menyadari kalau seperti itulah Lizzie sebenarnya jika kain penutup wajahnya itu tidak menutupinya.

Chip menahan napas saat makhluk itu seketika sudah berhenti di depannya beberapa senti. Ia terlalu fokus dengan visual itu sampai tidak menyadarinya terus berjalan mendekat ke arahnya. Makhluk itu membuka mulutnya lebar-lebar. Menampilkan lubang hitam pekat yang tak tahu apa isi di dalamnya. Tapi tiba-tiba saja makhluk itu terhempas ke belakang oleh suatu hal.

"Sandy! Fiuh, kau datang tepat waktu" Chip menghela napas lega saat makhluk penghuni rumah singgahnya itu datang sebelum ia dirasuki oleh arwah pemuda itu.

"Hey, dengar Tuan," Kali ini Chip yang mendekat ke arah arwah pemuda yang ditahan oleh Sandy, "Thomas tidak bersalah. Dia ingin membantumu, tapi makhluk di belakangnya itu menahannya. Jadi ini bukan sepenuhnya salah Thomas," jelas Chip.

Arwah itu terdiam dan terlihat memikirkan sesuatu.

"Sandy, bisa tolong kau urusi dia? Aku perlu ke kamar mandi sekarang," kata Chip pada arwah wanita, dengan mata kanannya yang bolong, sedang memegangi pemuda itu dari belakang. Sandy pun mengangguk sebelum Chip berlalu memenuhi panggilan alam.

•••

"Akh kenapa disaat jam tugasku?" Tessa terus mengumpat selama ia berjalan menuju rumah singgahnya untuk mengambil beberapa peralatan sekalian memanggil rekan satu rumahnya yang juga bertugas di hari ini.

Tessa membuka pintu rumahnya dan disambut aura mencekam di ruang tamu itu yang menyebabkan bulu kuduknya berdiri. Bukannya merasa takut, Tessa malah menikmati sensasi itu. "Sandy? Apa kau di sini?" Tessa melihat sekeliling ruangan, namun ia tidak melihat sesuatu yang mengganjal. Bahkan ia juga tidak menyadari kalau makhluk jahat--yang masih ditahan Sandy--itu berada tak lebih dari 2 inchi di belakangnya dan meraih-raih Tessa untuk bisa merasukinya.

Tessa mengedikkan bahu dan ia menuju tangga di depannya. Ia menaiki tangga dan menghampiri pintu di kanannya. Ia mengetuk pintu sebelum membukanya. "Chip, apa kau di dalam?"

.

.

"Tch.. makhluk ini benar-benar keras kepala." Chip mendecih saat melihat pemuda itu masih meronta-ronta minta dilepaskan. Namun ia merasa heran dengan Sandy yang terus menunjuk ke depannya dengan ekspresi panik. "Kau lihat apa, Sandy?" Chip mengikuti arah tunjuk menuju tangga itu. Ia mengira ada makhluk jahat juga yang mengincarnya, tapi ia tidak melihat apapun.

"Tessa... datang," eja Sandy.

"Apa?!" Chip segera berlari ke arah tangga itu dan menaikinya. Ia khawatir kalau Tessa akan mencarinya di kamarnya dan bertemu dengan Thomas yang bisa dianggap pencuri olehnya.

Benar saja, Tessa sudah membuka pintu itu dan ia menggenggam pisau kecil di belakangnya. Saat ia mulai melangkah masuk dan menghampiri Thomas yang tidak tahu harus berbuat apa, Chip langsung menarik pundak Tessa dan memaksa menghadapnya.

"Hai Tess! Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Chip dan mencoba bersikap ramah seperti biasa.

"Chip? Habis darimana saja kau?" tanya Tessa.

"Hmm... Toilet," jawab Chip. "Kau mencariku kan?"

Tessa mengangguk dan mengeluarkan tangan dari balik tubuhnya. "Pisau?" Ia terheran-heran kenapa ia menggenggam pisau kecilnya itu. Sampai ia teringat sesuatu dan langsung berbalik badan sebelum Chip sempat menahannya.

"Sepertinya aku melihat sesuatu di kamarmu," kata Tessa lambat saat ia tidak menemukan apapun di dalam kamar.

Dalam hati, Chip menghela napas saat tahu Thomas langsung bersembunyi di suatu tempat. "Melihat sesuatu seperti apa? Ciri-cirinya?"

Beberapa saat Tessa terdiam. Ia nampak menerka-nerka. "Entahlah. Aku lupa." Tiba-tiba saja ia berbalik badan kembali dengan cepat sambil menyimpan kembali pisau kecilnya. "Chip! Ada CCTV yang rusak di hutan," infonya.

"Memang sekarang giliran kita?" heran Chip sambil melangkah masuk ke dalam kamarnya.

Tessa mengangguk. "Iya! Kalau tidak percaya, coba kau cek sendiri."

Chip melihat kertas yang tertempel di dinding bingkai-bingkai fotonya dan ternyata memang benar kalau malam Jumat ini adalah gilirannya untuk memperbaiki CCTV jika ada yang rusak di tengah hutan. Chip menghela napas berat.

"Bawa alat-alat mekanikmu, aku tunggu kau di kandang kuda," ucap Tessa sebelum ia meninggalkannya tanpa menunggu jawaban darinya.

Tiba-tiba mata hijau Chip menangkap sesuatu yang mengganjal dari foto-foto itu. Terutama fotonya bersama rekan-rekan kerjanya. Ada sebuah retakan kecil tepat di gambar wajahnya dan retakan itu sedikit menjalar ke wajah Tessa di sebelahnya. Retakan itu dilakukan sengaja seakan menunjuknya sebagai target yang entah untuk apa. Ia tidak ingat retakan itu ada sebelumnya, sampai ia menyadari siapa yang terakhir melihat foto-foto itu sebelum dirinya.

"Chip?"

Chip terkesiap dan langsung berbalik badan ke arah Thomas yang baru saja memanggilnya. "I-iya?" Ia terlihat agak kikuk karena perasaan tidak enaknya.

"Sebaiknya aku harus kembali ke tempat Kimberly," kata Thomas.

"Dengan rupa seperti ini?"

"Aku malah ingin seperti ini" timpal Thomas. "Lizzie selalu melarangku dengan alasan menunggu-waktu-yang-tepat. Jadi sebaiknya aku menggunakan kesempatanku ini."

"Lizz--Oh ya, di mana gadis bergaun putih itu?" Chip baru teringat dengan sosok itu.

"Dia sudah pergi entah kemana," jawabnya. Lalu ia melangkah melewati Chip menuju pintu keluar.

"Hey, apa yang kalian bicarakan tadi?" tanya Chip.

Thomas terdiam tanpa membalik badan. "Sebuah rencana."

"Rencana apa?" cecar Chip. Tapi Thomas tidak menggubrisnya, ia langsung melangkah cepat keluar dari kamar dan menuruni tangga. "Hey! Tunggu!" Chip pun langsung mengejar Thomas dan memperingatinya kalau ada sosok jahat yang menunggunya di ruang tamu.

"Menghilang?" Chip tertegun saat sosok itu sudah menghilang bersama Sandy. Thomas menuju pintu keluar dengan mudah lalu ia membuka pintunya dan melenggang keluar rumah.

Chip tidak bisa mengejarnya karena tuntutan CCTV yang rusak di tengah hutan. Ia berdecak sebal sambil kembali ke dalam kamarnya untuk mengambil peralatan dan tas selempangnya. Memendam rasa penasarannya dan berharap ia bisa bertemu lagi dengannya.

•••

Ia hampir saja salah masuk rumah singgah. Lantaran terlihat sama semua. Sampai ia melihat Kimberly dan ia pun mengikutinya masuk ke dalam rumah singgahnya.

"Hai Kim!" panggil Thomas dengan senyum sumringah lebar di wajanya. Ia benar-benar ingin melepas rindu yang ada.

Namun Kimberly terus melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan yang lain. Thomas tampak kecewa, ia pun langsung menghampiri Kimberly dan mencoba memanggilnya lagi.

"Kau berpura-pura tidak melihatku atau apa?" gerutu Thomas saat Kimberly masih sibuk dengan laporannya dan tidak menyadari Thomas yang sudah berada tepat di sebelahnya. Thomas mencoba kembali berinteraksi dengan menjatuhkan pulpen di sebelahnya.

Tapi Kimberly tidak terlalu meresponnya. Mata yang terpasang lensa coklat itu masih terfokus pada tulisan di lembaran-lembaran kertas. Walau ia tahu pulpen di sebelahnya terjatuh, namun ia tidak mencurigai kenapa pulpen itu bisa terjatuh padahal letaknya cukup jauh dari tepi meja. Perlahan ia mengambilnya kembali dengan tangan kanan tanpa melihatnya. Ia meraba-raba lantai kayu di bawahnya dan akhirnya ia bisa menggenggam pulpen itu kembali. Keningnya berkerut saat melihat hal yang aneh pada tulisan-tulisan itu dan ia pun menggunakan pulpennya untuk menandai apa yang kurang.

Kimberly juga masih sama seperti yang dulu. Selalu rajin dan fokus dengan apa yang dikerjakan. Tekun dan ulet dengan apa yang ia lakukan. Jadi wajar saja ia bisa mencapai cita-citanya sebagai dokter hewan.

Saat Thomas ingin kembali menyahutnya, tiba-tiba saja ada yang menepuk pundaknya di belakang.

"Alice?" Ternyata itu gadis bergaun putih tadi.

"Untuk saat ini dia tidak bisa menyadari keberadaanmu. Ia terlalu fokus dengan apa yang ia kerjakan," jelas Alice. "Kau juga seharusnya jangan ganggu dia dulu." tegurnya.

Thomas berdecak sebal.

"Jadi bagaimana ia bisa melihatku? Kenapa aku bisa dilihat Tessa, tapi Kimberly tidak?" heran Thomas.

"Kau itu seperti bayangan imajinasi yang tidak jelas keberadaannya. Kau bisa dilihat oleh orang-orang yang pikirannya kosong atau orang yang kenal denganmu dan selalu memikirkanmu, tapi saat pikiran mereka yang kosong teralihkan--walau sudah melihatmu--kau akan kembali tidak terlihat dan rupamu hilang dalam pikiran mereka. Namun ini tidak berpengaruh bagi para indigo," jawabnya.

Thomas mengangguk. "Berarti Kimberly sedang tidak memikirkanku?"

"Dia sibuk."

Thomas menghela napas karena ia tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Akhirnya ia memutuskan untuk memperhatikannya beraktifitas. Setelah ia merevisi kertas laporan itu, ia mengecek kondisi kelinci dan beberapa hewan aves di ruang terpisah, dan setelahnya ia beranjak tidur. Ia tidak mungkin melihatnya menyalin pakaian di kamar mandi. Thomas juga mendengar doanya sebelum tidur. Yang berharap Chip menjaga Dark Choconya, selalu diberi kesehatan dan esok akan berjalan lancar di hari perpisahan mereka.

Kimberly benar-benar tidak menyadari keberadaan Thomas. Berarti pikirannya sedang tidak fokus atau banyak pikiran.

Thomas memandang lembut ke arah Kimberly yang akan terlelap. Betapa rindunya ia pada adik kesayangannya itu. Sudah lama sekali ia tidak melihatnya. Sudah lama sekali ia tidak mengelus rambutnya. Juga sudah lama sekali ia tidak mengucapkan selamat malam padanya.

Thomas memang merasa seperti seminggu tidak bertemu dengan Kimberly. Tapi saat melihat sosok adiknya itu sudah dewasa dan bahkan sudah bertunangan, membuat Thomas berpikir dua kali kalau ia sudah tidak bertemu dengan adiknya selama seminggu.

"Seandainya aku masih hidup," gumam Thomas.

"Kimberly pasti akan lebih susah menemukan pasangan hidupnya," sambung Alice.

Suasana rindu yang diciptakan Thomas seketika hancur tak tersisa saat arwah gadis bermata biru itu menyambar gumamannya.

Ia langsung menatap tajam ke arahnya. "Apa maksudmu?" tanyanya lambat.

"Hmm..." Alice memandang Thomas sambil melipat tangan. "Mungkin saja kau yang memilih pasangannya. Atau kau mengetes dan menginterview pria yang akan meminangnya. Jika tidak sesuai dengan kemauanmu, kau langsung melarang Kimberly berhubungan dengannya dan tidak peduli jika mereka sudah saling jatuh cinta," kata Alice. "Mengingat kau sosok kakak protektif layaknya seorang--"

(Incest)

"Hey! Aku bukan incest!" hardik Thomas tajam. Ia tidak terima dengan sangkaan kalau ia mempunyai perasaan hubungan sedarah itu. Bukankah suatu hal yang lumrah jika rasa sayang sewajarnya dicurahkan pada saudara kandung? Apalagi jika adiknya itu hanya satu-satunya keluarga yang ada.

(Lagipula, aku juga sudah menyukai seseorang. Jadi untuk apa aku menyukai Kimberly lagi), batin Thomas.

"Incest? Aku tidak sebut incest," protes Alice. "Aku bilang kau seperti sosok ayah."

(Woah tidak kusangka ternyata seorang Thomas bisa mempunyai rasa suka. Siapa ya kira-kira?)

"Aku manusia biasa, bodoh! Wajar aku me--"

"Thomas!!" Alice langsung mengguncangkan tubuh Thomas saat ia melihat sesuatu yang aneh darinya. Kedua mata hitam itu mulai terlihat kemerahan saat ia terus berbicara sambil memandangnya seakan Alice adalah lawan bicaranya. Padahal Alice sama sekali tidak mengajaknya bicara.

"Kau bicara dengan siapa?"

"Bukannya tadi kau--"

Alice menggeleng cepat. "Bukan," potongnya. Tanda tanya besar muncul di atas kepala Thomas tentang suara siapa yang sudah didengarnya itu kalau bukan Alice.

Sampai Alice teringat sesuatu. "Apa kau baru saja mendengarnya?"

"Mendengar--Oh iya, aku mendengarnya." Thomas baru teringat hal itu setelah Alice menjelaskannya sebelumnya. Kalau ia juga bisa bertelepati dengan Lizzie. Dan ya, suara tadi adalah apa yang sedang dipikirkan Lizzie.

Lalu ia mencoba menenangkan pikirannya supaya tidak didengar Lizzie lagi.

"Tapi ingat, jangan terlalu sering mendengar pikirannya," peringat Alice. "Aku lupa satu hal. Kau bisa menemukan Lizzie dengan mengikuti arah suara pikirannya."

(Mereka akan datang)

"Mereka?" Lagi-lagi Thomas mendengarnya.

"Lebih baik kau mencarinya," saran Alice. Ia mulai merasa cemas.

"Aku coba," kata Thomas sambil menempelkan kedua tangannya di telinga untuk mempertajam pendengarannya. "Tapi ini tergantung seberapa banyak ia berpikir." Beberapa menit ia terfokus untuk mendengarnya lagi. "Sial. Lizzie berhenti berpikir." rutuknya saat ia tidak menemukan apapun.

"Hmm... mungkin kau harus lebih bersabar. Bahkan di pikiran pun Lizzie memang sangat pendiam. Dia sering melamun dan berpikiran kosong," kata Alice. "Sambil menunggu..." Alice menggenggam tangan Thomas dan menariknya ke sebuah sofa kecil di sudut kamar. Thomas bisa merasakan kalau tangan itu sedingin es kutub utara. "Ada baiknya kau duduk di sini dan dengar ceritaku lagi." Senyum Alice mengembang lebar dan menunjukkan deretan gigi putihnya. "Aku tahu situasi mengkhawatirkan ini sangat tidak pas untuk bercerita. Tapi kau mau mencarinya kemana lagi jika tidak ada petunjuk?"

Alice duduk di sebelahnya. Sofa kecil itu membuat mereka duduk berimpit namun tidak terasa sempit.

"Kau lebih cerewet dari Lizzie," komentar Thomas.

"Iya aku tahu." Alice mengangguk. "Tapi wajar saja kan sifatnya berbeda. Mengingat kami tidak terlahir 100% sebagai kembar identik"

Next chapter