Nora memperhatikan seluruh hutan tempan para Harpies berkembang biak. Makhluk bersayap elang tersebut terus berterbangan dari sarang mereka, menuju sarang Harpies lainnya.
"Mau dilihat berapa lama pun, mereka tetap keren bukan?" tanya Jenny pada Nora. Gadis tersebut menganggukkan kepalanya.
Jenny mulai melangkah maju, kemudian berlari untuk menemui salah satu Harpies. "Mereka jinak kok!" ucap Jenny sembari mengelus kepala salah satu makhluk mitologi tersebut.
Nora tersenyum dan menghampiri makhluk mitologi tersebut. Namun tak lama, sebuah erangan dari arah dalam hutan terdengar. Suara tersebut sangat kencang hingga membuat beberapa Harpies yang tadinya berdiri di tanah segera terbang kembali ke sarang mereka masing-masing.
"Itu pasti Werewolf liar," ucap Kepala Sekolah. Dia menyuruh Nora dan Jenny untuk mendekat, dan tidak terlalu masuk ke dalam hutan.
Nora menatap Cedric, Steven dan Risa. "Kalian kan juga bangsa Werewolf, terus kenapa kalian gak marah kalau kita mangsa ras mu?" tanya Nora pada Cedric, Steven, dan Risa yang berdiri di sampingnya saat ini.
"Kita beda, mereka itu Werewolf yang bukan memiliki darah murni. Mereka Werewolf yang tercipta saat kami para Werewolf memangsa mereka," jelas Risa.
Nora menatap mereka dengan tatapan yang sulit di artikan. Namun, tak lama dia mengalihkan pandangannya kembali ke hutan belantara tersebut.
"Itu dia!" teriak Kepala Sekolah sembari menunjuk ke arah sesosok makhluk menyerupai serigala namun dapat berdiri layaknya seorang manusia.
Seluruh anggota organisasi tersebut berlari mengejar sang Werewolf. Makhluk tersebut sontak berlari menghindari orang-orang yang mengejarnya. Dan tanpa sadar seluruh anggota organisasi terbawa makhluk tersebut masuk ke dalam hutan.
"Ergggghh," geramnya di depan sebuah pohon. Steven segera mengambil senjatanya, dia menekan sebuah pulpen yang kemudian berubah mejadi sebuah pedang tajam.
Nora yang melihat hal tersebut sedikit terpukau dengan pedangnya. Wujud pedang tersebut sangat elegan jika diperhatikan.
Namun, perhatiannya terhadap pedang tersebut seektika buyar saat sebuah suara bayi menangis terdengar di telinganya.
"Apa itu?" kaget Inanna yang juga mendengar suara bayi menangis.
Werewolf tersebut berjalan mendekati pohon tempat dia berhenti. Ia mengambil seorang bayi kecil dan memberikannya kepada Nora.
Nora menatap manik mata Werewolf tersebut. Mata merahnya terlihat sangat sendu, "Kumohon jangan bunuh dia," ucap Nora yang masih tak dapat mengalihkan matanya dari Werewolf tersebut.
Delapan orang yang mendengar perkataan Nora segera menatap gadis tersebut bingung. "Ada apa?" tanya Melvin pada Nora.
"Tampaknya dia adalah seorang Ibu, dan dia terinfeksi demi melindungi anaknya yang masih bayi," ucap Nora menatap bayi tersebut.
Steven menurunkan pedangnya. Ia mengembalikan pedang tersebut kembali menjadi pulpen. Nora menatapnya. "Ayo kita kembali," ucapnya yang kemudian berjalan keluar dari hutan tersebut.
Kesembilan orang tersebut kembali ke tempat awal mereka. Masing-masing mereka tersenyum melihat bayi mungil tersebut, kecuali Vince tentunya. Pria tersebut hanya kembali dengan wajah datarnya.
Mereka menghampiri Kepala Sekolah. Pria tersebut tersenyum melihat Nora yang menggendong seorang bayi kecil diikuti oleh sebuah Werewolf di belakangnya.
"Maaf pak, tapi kita gagal dalam misi pertama kita," ucap Adrian meminta maaf kepada Kepala Sekolah.
Pria tua tersebut menggelengkan kepalanya dan memasang senyum ramah si wajahnya. "Tidak, justru kalian sudah berhasil melaksanakan misi pertama kalian dengan baik dan benar," ucapnya.
Sontak mereka menatap Kepala Sekolah. "Misi kalian sebenarnya bukan menangkap Werewolf, tapi menyelamatkan bayi ini bersama dengan Werewolfnya."
.
.
Waktu berjalan sesuai dengan bagaimana seharusnya, matahari telah menghilang dan digantikan oleh cahaya sang ratu malam. Sudah menjadi kerutinan bagi semua makhluk untuk tidur, ya kecuali mereka para makhluk mitologi malam hari tentunya.
"Ayah, apa kau tau siapa pria yang memiliki nama Dios?" tanya Vince pada ayahnya yang saat ini sedang menyantap makanannya.
Pria dewasa dengan umur berkisar empat puluhan dalam usia manusia tersebut menoleh menatap anaknya. "Bagaimana kamu tau mengenai Dios?" ucapnya bertanya.
Vince mengunya makanannya kemudian menelannya. "Dia ada di sekolah tadi pagi, mengantarkan putrinya." Ayah Vince yang mendengarkan ucapan anaknya tersebut tiba-tiba saja tertawa hingga membuatnya tersedak. Dengan cepat istrinya memberika air.
Acardo, ayah Vince menerima minuman tersebut dan dengn cepat meneguknya. Setelah selesai meminum air tersebut ia kembali tertawa kencang dengan tidak elitnya, hingga membuat satu keluarga mereka menatap bingung sang pemimpin keluarga.
"Astaga! Aku gak nyangka kalau dia ternyata dapat bertemu dengan anaknya setelah sekian lama. Padahal, aku kira dia tidak akan bertemu putrinya selama-lamanya!" teriak Acardo kencang sembari terus tertawa. "Benar-benar gak kebayang gimana ekspresi bahagianya sekarang, pasti kelihatan bodoh banget astaga!"
Vince yang bosan dengan ketidak jelasan Ayahnya, memilih untuk kembali melanjutkan acara makannya, dan menyelesaikannya sebelum yang lainnya.
Ia mengelap bibirnya dengan sapu tangan yang sudah di sediakan, kemudian kembali menatap Ayahnya yang masih Setia tertawa sembari memegangi perutnya.
"Memangnya kenapa Ayah tidak percaya kalau dia akan bertemu putrinya?" tanya Vince.
Acardo mengacungkan jempolnya pada Vince. "Pertanyaan Bagus!" ucapnya yang akhirnya berhasil meredakan gelak tawanya.
"Dengarkan cerita ayah ya." Vince menganggukkan kepalanya. "Jadi dulu, Ayah dan Dios memiliki hubungan Sahabat/musuh, kita berdua bersahabat, dan juga saling bermusuhan di waktu yang sama. Nah, saat itu Dios menyukai seorang wanita yang sekarang menjadi istrinya. Dan sebelum dia menikah dengan istrinya tersebut, Dios sempat di anggap sebagai monster dan di musuhi oleh banyak oran karen kekuatannya," jelas Acardo.
Vince menatap Ayahnya bingung. "Lalu apa yang membuat ia tak berani menemui putrinya?" tanyanya.
"Semua itu bermula saat."