"Dios, ia dijauhi dan di jadikan buronan sekitar dua puluh tahun yang lalu, kemudian orang-orang terdekatnya di bantai oleh para makhluk mitologi jahat. Namun, meski begitu ayah masih tetap bersahabat dengannya. Tapi ia mulai menjauhi ayah, dan semua teman-temannya. Bahkan istrinya sendiri." Seluruh orang yang berada di meja makan tersebut bahkan tampak seperti tidak dapat berkedip lagi saat membayangkan betapa brutalnya para makhluk mitologi pada jaman itu.
"Tiga tahun kemudian, istrinya melahirkan putrinya dan di berikan nama Nora Leone dengan marga Eugene. Namun Dios menghapuskan marga tersebut demi keselamatan mereka. Dan sepuluh tahun kemudian, semua berita tentangnya menghilang, dan malah merubah statusnya menjadi seorang legenda," ucap Acardo menyelesaikan ceritanya.
Vince menganggukkan kepalanya mengerti, kemudian bangkit dari tempat duduknya. "Terima kasih atas makanannya," ucap Vince yang kemudian pergi kembali ke kamarnya.
Sementara ayahnya? Masih saja terkekeh pelan, dan satu hal yang masih bikin Vince bingung.
Bagian mananya yang bikin cerita itu jadi lucu di otak Ayah? Apa otaknya konslet? Ucap batin Vince.
.
.
Dios bersin bersin di ruang keluarga, raut wajah malasnya menatap televisi dengan tatapan bosan dan tangan kanannya mengusap hidungnya yang gatal. "Tampaknya sedari tadi ada yang sedang membicarakan ku," ucapnya.
Nora menapakkan kakinya di karpet ruang keluarga kemudian duduk di sofa sembari memperhatikan tampang ayahnya yang memiliki tampang-tampang pengangguran.
Mungkin jika kita diminta untuk membayangkan tampang seorang legenda, yang akan tampil di otak kita adalah wajah tegas, bijak, dan sebagainya, hal tersebut juga berlaku pada Nora. Otaknya sedari tadi memikirkan hal yang sama berulang kali.
"Ayah gak punya ciri khas wajah seorang legenda sama sekali, bahkan malah terlihat seperti seorang buronan atau gak pengangguran," ucap Nora yang meluncurkan sebuah serangan kritikal yang mengarah langsung dan menancap tepat di jantung Ayahnya.
Pria yang sedang menggaruk punggungnya tersebut segera terbatuk-batuk ketika mendengar ucapan kejam anaknya sendiri. Sementara itu ibunya tertawa kencang sembari menunjuk ke raut wajah Dios yang sudah sangat terkejut.
"Oi oi, Ilona si Nora kamu kasih ajaran apa selama ini, pasti kmau selalu ceritain banyak hal buruk tentang aku ke dia," ucap Dios kesal. Dia menatap kesal istrinya yang masih asik tertawa terbahak-bahak.
"Lagi pula salah siapa yang memiliki sikap dan tampang kayak begitu, bukan salah ku ataupun Nora 'kan," ucap Ilona masih dengan tawanya.
Dios mengerucutkan bibirnya, jari kelingkingnya mengorek isi telinganya. "Terserah kalian," ucapnya acuh tak acuh.
Ilona segera mengelus surai hitam klimis milik Dios dengan lembut dan perlahan, senyum manis nan tulus terpatri di bibirnya. "Cup cup, jangan ngambek," ucap Ilona menggoda Dios sembari terkekeh pelan.
Nora berdiri dari sofa tersebut dan beranjak pergi. Lagipula tampaknya saat ini dirinya sudah tak di butuhkan lagi dan keberadaannya hanya akan menganggu dua sosok manusia di depannya ini. Gadis tersebut pun pergi dan membiarkan kedua orang tuanya menghabiskan waktu mereka bersama.
Setidaknya, Nora merasa sangat lega melihat sosok ayahnya walaupun agak sedikit aneh. Ternyata hasil kesabaran Nora dari ejekan teman-temannya dulu berhasil membuahkan hasil yang sudah lebih dari cukup di kehidupan gadis tersebut.
Ayahnya, walau bertampang pemalas tersebut ia masih memiliki sisi tegas nan baik.
Gadis kecil itu menatap rak di samping tempat tidurnya dan tersenyum sekilas. "Terima kasih," ucapnya pelan sebelum jarinya menekan sebuah tombol yang mematikan lampu tidur tersebut.
Cahaya bulan di malam hari sangatlah Indah nan menawan, kilau gemerlapnya menyinari tidur nyenyak gadis tersebut. Bahkan, saat tidur seperti ini senyum tenang masih terpatri dengan sangat manis di bibirnya.
Pemandangan langit biru gelap dengan beberapa awan dan bintang bertaburan di atasnya sudah dapat menggambarkan ketenangan yang luar biasa adanya.
.
.
"Hah! Tolong, jangan!"
Sosok bersurai merah itu menatap gelisah ke arah bayangan hitam di hadapannya. Pria bertudung hitam menyeringai sekilas, jari-jarinya mengeluarkan cakar tajam yang telah siap untuk mengoyak isi perut dari manusia di hadapannya.
"Nora berada di kawasan ini?" tanya Pria bertudung hitam tersebut pada seseorang yang sedang mengawasinya sedari tadi dari atas ranting pepohonan.
Suara gemersik rumput terdengar, pertanda bahwa makhluk yang sedari tadi berdiri di atas pohon tersebut telah turun dan keluar dari persembunyiannya. Ia mengenakan masker hitam dan menampakkan jelas kedua manik hijau safirnya yang tampak berkilau di bantu dengan pencahayaan dari sang ratu malam.
"Dia anak dari dewa perang Ares bukan? Dan ibunya adalah sesosok burung Phoenix," ucap pria tersebut sembari berjalan menghampiri makhluk yang sedari tadi diintainya.
Sebuah tebasan cakar membuat pria bersurai merah tadi kehilangan nyawanya dalam kurun waktu satu detik. Cakar tajamnya tersebut menghunus ke arah dada pria mati tersebut dan memakan jantung korbannya.
"Hm, dewa perang terkuat di Olympus ditambah dengan sesosok makhluk roh burung api terkuat Phoenix? Tampaknya gabungan itu benar-benar menghasilkan seorang monster yang lebih dari mengerikan, dan dia bahkan bisa jauh lebih kuat dibanding ayahnya," ucapnya.
"Yah, tak terduga sekali melihat makhluk gabungan ras Minotaur dengan Werewolf seperti mu, tampaknya kamu juga dapat dikatakan sebagai monster."
"Tak ada yang tahu apa aku akan menjadi monster atau tidak. Hey, kembalilah dan laporkan pada nyonyamu Medusa. Aku ingin beraliansi dengannya dan menekuk lututkan seluruh makhluk mitologi, kemudian sampaikan juga bahwa sasaran utama kita akan menjadi Nora. Ia bahkan lebih menarik di bandingkan Dewi Athena yang dibencinya," ucap makhluk tersebut dengan seringai di wajahnya. Lidahnya terjulur untuk menjilati sisa-sisa darah di tangannya.
"Dengan senang hati."