Lily menutup pintu kamar mandi seperti sebelumnya setelah merapikan lipstik sekaligus mencuci tangannya. Sekarang Lily harus bagaimana jika bertemu Angkasa? Pasti akan sangat canggung.
Kenapa sekarang Lily hanya bisa mendengar alunan lagu yang memiliki nada semangat. Lily ingin bernyanyi, mengikuti lagu yang muncul di fikirannya sendiri. Hebat, seolah hanya Lily yang bisa mendengar lagu itu.
Saat ini dikepalanya mungkin sudah banyak kembang api yang meletus.
Lily terkejut dikala sosok yang ditunggunya ada di ujung lorong ini sembari menatap Lily datar. Lily segera menetralkan sikapnya.
Pria paruh baya itu mengatakan lewat tatapan matanya, mengajak Lily untuk mengikutinya. Tak menunggu waktu lama, Lily segera mengikutinya.
Lily harus tahu alasan papa Angkasa memaksanya untuk menjauh dari Angkasa malam ini. Papa Angkasa tidak akan memintanya melakukan ini kecuali ada alasan khusus dibaliknya, karena Lily tahu papa Angkasa bukanlah seorang yang tidak profesional bahkan dalam hal sekecil apapun.
Lily berhenti sebentar sebelum membuka pintu yang sebelumnya papa Angkasa masuk kedalamnya, menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya melalui mulutnya. Berusaha menghilangkan rasa gugupnya.
Lily masuk kedalam sebuah ruang kerja yang didalamnya penuh dengan dokumen-dokumen yang tertata rapi di rak dan terdapat sebuah komputer di meja yang terletak di tengah ruangan.
Ditempatnya berdiri, Lily bisa melihat dokumen yang terletak tepat disampingnya. Samar-samar Lily membaca nama perusahaan yang ada disetiap cover dokumen itu.
PT. Permadani Jaya Abadi.
Entah mengapa, Lily merasa tidak asing dengan perusahaan ini. Hanya saja Lily lupa pernah melihat atau membacanya dimana. Fikirannya terlalu kalut, jika harus mengingat dimana Lily pernah melihatnya.
"Semua keluarga menyambutmu dengan baik?"
Lily tersadar dari lamunannya, butuh proses kedalam otaknya untuk menyaring pertanyaan papa Angkasa sebelum Lily menjawabnya. "Ah iya."
Entah mengapa fokus Lily lebih tertarik dengan nama perusahaan yang ada di dokumen-dokumen yang dilihatnya.
"Ada apa?"
"A.. aku hanya merasa tidak asing saja dengan nama perusahaan ini."
"Tentu saja, perusahaanku termasuk perusahaan berpengaruh di negara ini." Perusaan berpengaruh? Pasti ini adalah perusahaan yang sudah besar dan sangat maju. Pantas saja jika papa Angkasa memaksa Angkasa untuk meneruskannya, pasti papa Angkasa merasa tidak rela jika perusahaan sebesar itu diberikan kepada orang lain.
"Jadi aku akan langsung ke intinya saja, kamu pasti ingin tahu kenapa aku memaksamu menjauhi Angkasa."
"Ya, harus ada alasan yang jelas."
"Baiklah kalau begitu, lihat saja foto ini." Lily membulatkan matanya sempurna ketika melihat gambar yang tercetak jelas di foto itu. Lily semakin terkejut dikala membalik foto pertama untuk melihat foto lainnya.
Nafas Lily tercekat ketika papa Angkasa membiarkannya membaca sebuah salinan kasus kematian Keila. Lily mulai kehilangan bagaimana caranya bernafas. Lily berusaha mengendalikan dirinya mati-matian agar papa Angkasa tidak melihatnya kesakitan.
"Ini cukup meyakinkan." Ujar Lily kesulitan mengatur nafasnya. Wajahnya mulai memerah, keningnya berkerut menahan gejolak yang ada di hatinya.
"Bukan hanya cukup. Ini sangat meyakinkan, jadi saya yakin kamu cukup pintar untuk memilih menjauhi Angkasa."
"Kenapa om gak bilang langsung ke Angkasa? Angkasa..." Lily menarik nafasnya dalam-dalam sebelum melanjutkan perkataannya. "Angkasa selama ini menyalahkan dirinya sendiri karena kematian Keila. Mengira om yang melakukan ini semua."
"Itu karena Angkasa tidak ingat, dia tidak ingat persis bagaimana hari itu terjadi karena mengalami syok berkepanjangan."
"Makanya kenapa om gak bilang langsung pada Angkasa? Kenapa bilang ke aku?"
"Om hanya tidak ingin Angkasa terluka lagi, cukup lama baginya untuk sembuh dari luka itu." Lily menitikkan air matanya, bahkan Lily juga memiliki luka. Hanya untuk melindungi anaknya, papa Angkasa melukai teman anaknya?
"Saya pamit pulang." Lily masih berusaha sopan kepada papa Angkasa, bahkan setelah papa Angkasa membuka lebar lukanya yang sempat terkubur.
Lily berhenti melangkah di halaman depan rumah Angkasa. Merogoh saku gaunnya, meraih hpnya dengan cepat.
Lily akui, sekarang Lily sangat cemburu akan kasih sayang papa Edy kepada anaknya, Angkasa. Mengingat papanya dulu sangat menyayanginya dan semua berubah karena papanya tertarik oleh wanita gila yang merusak keluarganya.
Tanpa ragu, Lily menekan panggilan telfon ke papanya sembari berjalan keluar dari halaman rumah Angkasa. Lily memang tidak mengetahui area ini, tapi Lily tidak bisa tinggal disana lebih lama lagi.
"Papa."
"Lily? Ada apa?" Lily menghentikan langkahnya, mendengar suara yang selama ini dirindukannya. Lily menangis sekeras mungkin, hingga nafasnya yang sulit menjadi semakin sulit karena isakannya.
"Ly, kenapa nangis?"
"Jemput Lily pa. Bawa Lily pergi." Ucap Lily disela tangisnya.
"Kamu dimana Ly?" Lily menatap sekitarnya. Lily tidak tahu ini daerah mana, walaupun masih satu kota.
"Lily gak tahu pa."
"Ya udah kamu share lokasi kamu ya? Papa jemput sekarang." Lily mengangguk dan segera beralih pada papan obrolan, mengirim tautan lokasi pada papanya.
*
Lily terbangun dari tidur nyenyaknya, Lily hampir berteriak ketika tidak segera ingat bahwa dirinya berada ditempat ayahnya.
Lily menghidupkan hpnya, setelah itu ada banyak pesan masuk dari Angkasa, Mamanya, Aster dan Kak Sean. Beberapa panggilan tak terjawab dari Angkasa juga menghiasi layarnya. Lily belum siap menghadapi mereka, kembali mematikan hpnya.
Lily senang karena semalam papanya tidak bertanya apa yang terjadi dan sibuk menghibur Lily dengan es krim dan banyak camilan. Apa Lily sudah memaafkan kesalahan papanya? Tentu sudah, hanya saja Lily belum bisa melupakannya. Walaupun begitu, papa tetap saja seorang papa bagi Lily.
Lily tidak bisa abaikan begitu saja hubungan yang tidak bisa terputus itu. Bahkan jika nanti papa dan mamanya resmi bercerai, papa tetap seorang papa bagi Lily, begitu juga mama. Ini hanya pemutusan hubungan antara kedua orang tuanya, bukan hubungan antara orang tua dan anak.
Untung hari ini adalah hari minggu, Lily jadi punya alasan untuk tetap berada di kasur selama seharian.
Dengan cepat Lily membuka pintu kamar yang ditempatinya ketika pintunya diketuk dari luar. Sekarang Lily harus menjawab apa jika papanya bertanya tentang apa yang terjadi semalam?
Lily meringis mendapati papanya berdiri didepan pintu.
"Sudah bangun rupanya, ayo makan."
"Lily cuci muka dulu."
"Papa tunggu di meja makan." Lily mengangguk, sebelum akhirnya mencuci mukanya di kamar mandi.
Lily berjalan keluar dari kamar yang ditempatinya, melihat kesekeliling rumah ini yang tidak kalah mewah dengan rumah Angkasa semalam.
Lily terpaku melihat seorang wanita gila yang membuat keluarganya berantakan duduk disana bersama papanya.
"Lily, ayo duduk." Lily tak punya alasan untuk menolak dikala wanita itu menarik tangannya untuk duduk disampingnya.
"Bibi tahu hubungan kita diawali dengan hal kurang baik. Tapi aku harap kita bisa akur kedepannya."
"Ya, lagipula kita sama-sama dewasa untuk saling memaafkan."
"Bagus, aku suka. Kalau gitu ayo kita makan."
Entah mengapa nafsu makan Lily tiba-tiba menurun secara drastis.