Lily sudah bebersih diri setelah sarapan yang tidak nyaman itu, Lily sudah berganti pakaian bersih yang baru saja papanya belikan. Awalnya Lily ragu melihat label baju yang angkanya sangat fantastis itu, bisa saja papanya membeli dengan uang dari wanita itu.
Tapi begitu Lily tahu papanya membuka sebuah bisnis dari uang pesangonnya tanpa bantuan wanita itu, keraguan Lily menghilang. Lily menyukai baju yang papanya belikan.
Jika boleh jujur, Lily sangat merindukan masa-masa dimana keluarganya masih utuh, tapi Lily harus tetap bersyukur dengan keadaannya sekarang.
Orang tuanya hanya memilih hidup sendiri-sendiri, tanpa bergantung satu sama lain lagi. Mereka masih ada dan masih bisa menyayangi Lily juga Aster, hanya dilakukan secara terpisah.
Lily menghampiri papanya yang sedang membaca koran ditemani secangkir kopi hitam. Lily sengaja berdiri berlama-lama agar papanya menyadari kehadirannya sendiri.
"Eh anak papa udah cantik. Pake baju baru lagi." Lily beralih duduk disamping papanya.
"Cantik ya pa bajunya? Lily suka."
"Suka? Mau papa beliin lagi?"
"Eh, gak usah pa. Usaha papakan baru aja dibuka nih. Nanti aja kalau papa udah punya duit banyak Lily beliin yang banyak ya?"
"Iya, doain aja ya." Papa Lily kembali fokus pada korannya. Untuk sesaat Lily hanyut dalam suasana tenang pagi yang cerah ini.
"Pa, papa gak kerja?"
"Papakan pengusaha, bebas menentukan hari libur papa, hebatkan?" Lily mengangguk antusias.
"Terus tante kok gak kelihatan?"
"Dia kerja dengan waktu yang sudah ditentukan. Tidak seperti papa." Lily meringis, kemudian masuk kedalam pelukan papanya.
"Bahkan di hari minggu?" Papa Lily mengangguk.
"Ly, semalam kamu minta papa bawa kamu pergi, apa yang kamu maksud kamu akan ikut papa ke Malaysia?" Ujar Arya melipat korannya dan membalas pelukan anaknya.
Lily berfikir sejenak. "Untuk itu Lily masih harus berfikir yang panjaaang banget. Papa punya tante yang selalu ada buat papa. Kalau mama cuma punya aku sama Aster." Papa Lily tersenyum lembut.
"Maafin papa ya Ly, sempat melukai kamu, mama dan Aster. Semalam melihat kamu menangis seperti itu membuat papa sadar, kalau papa bersalah."
"Papa gak tanya semalam Lily kenapa?" Lily melihat sebuah senyuman terbit di wajah ayahnya.
"Buat apa? Kamu sudah besar dan mandiri. Papa rasa kamu bisa selesaikan masalahmu sendiri. Papa hanya perlu menghiburmu sampai kamu lupa masalah kamu."
"Terima kasih, pa." Lily bersyukur Papanya sangat pengertian kepadanya.
Tidak ada yang lebih indah daripada memaafkan kesalahan orang lain bukan? Terlebih kasih sayang orang tua tidak akan bisa dibandingkan dengan satu kesalahan yang mereka buat.
"Ly, papa dengar kamu berhenti menemui psikiater akhir-akhir ini."
"Lily baik-baik aja pa. Papa gak usah khawatir. Keadaan Lily udah gak sesakit dulu sampe perlu bantuan dokter." Lily melepas pelukan papanya, menyakinkan papanya bahwa Lily baik-baik saja dan bisa mengontrol emosinya dengan baik akhir-akhir ini.
"Hm. Papa rasa kamu gak mungkin bisa pulih secepat itu. Kamu punya pacar ya?"
"Ha? Enggak kok."
"Jangan bohong, papa gak percaya sama kamu loh."
"Beneran gak ada pa. Kalau deket ada."
"Hey, sama aja."
"Bedalah pa. Ini tu cuma temen."
"Iya deh temen. Papa sangat berterima kasih sama dia karena bikin kamu pulih dari trauma."
"Iya pa. Lily juga bersyukur ketemu sama dia."
"Tapi Ly, papa gak tenang. Apalagi setelah melihat kamu nangis seperti itu tadi malam. Kamu pergi ke psikiater ya? Papa sudah buat janji dengan dokter yang lebih ahli." Lily menganguk, tidak ada salahnya untuk menuruti permintaan papanya, agar papanya lebih tenang.
"Kalau bisa papa jadwalin aja pas pulang sekolah, jadi Lily bisa buat alasan pulang telat gara-gara main, kalau mama tanya."
"Mama suka marahin kamu?" Lily mengangguk, tapi segera memberi penjelasan sebelum papanya salah paham.
"Papa gak usah khawatir, mama marah juga pasti akhir-akhir ini stres, lagi banyak fikiran aja. Penyebab mama stres juga sebagian besar dari papa."
"Maafin papa Ly, Papa berlebihan tentang kejadian malam itu."
"Iya pa. Udah kelewat juga. Lily juga udah maafin, gak tahu kalau mama."
"Papa gak mengharap maaf dari mama kamu. Kesalahan papa terlalu besar untuk dimaafkan."
"Pasti mama maafin kok, cuma butuh waktu aja. Ehmm, Lily pamit dulu ya pa."
"Papa anter ya?"
"Gak usah pa, Lily bisa pulang sendiri." Lily mencium tangan papanya dan segera pergi dari sana.
"Ly, nama temen yang deket sama kamu siapa?" Lily terkekeh dikala papanya terlambat menanyakannya. Lily melambaikan tangan sebelum akhirnya pergi dari sana.
Lily ingin sekali berlama-lama dengan papanya, hanya saja Lily sudah pergi dari tadi malam tanpa pulang dan tanpa memberitahu mamanya akan pergi kemana.
Takutnya hika Lily terlalu lama pergi, mamanya akan khawatir, sudah cukup banyak beban yang dipikul mamanya. Lily tidak bisa biarkan dirinya menjadi beban tambahan untuk mamanya.
Lily juga tidak bisa bilang semalam mengunjungi rumah keluarga Angkasa, Lily tahu mamanya tidak begitu menyukai Angkasa, mungkin Lily bisa beralasan menginap dirumah Yuli.
Juga, tentang apa yang Lily baca dan lihat semalam di ruang kerja papa Angkasa. Biarlah Lily simpan itu untuk dirinya sendiri. Lily tidak ingin menjauh dari Angkasa karena masalah itu.
Ini hanya soal membuat tekad yang kuat dan keberanian lebih untuk menghadapinya dengan mata terbuka.
*
Angkasa memakan sarapannya dengan malas, memikirkan semalam Lily pulang tanpa berpamitan padanya. Angkasa khawatir, entah bagaimana cara Lily pulang dan apakah Lily aman sampai rumah? Karena tak satupun dari keluarganya melihat Lily keluar karena semua sedang berada di ruang karaoke, hanya Sean yang bilang bahwa Lily berpamitan padanya karena harus segera pulang.
Angkasa ingin menyusul Lily, hanya saja keluarganya tidak membiarkan Angkasa pergi dari rumah ini semalaman, hingga tak terasa pagi sudah menyapa.
Angkasa juga sudah beberapa kali menghubungi Lily sejak tadi malam, tapi tidak dapat terhubung, entah karena hp Lily yang dimatikan atau kehabisan daya.
Banyak dugaan yang mungkin menjadi alasan Lily pergi begitu saja. Kemungkinan pertama, Lily bertemu papanya. Kedua, trauma Lily kambuh karena kejadian semalam. Ketiga, ada situasi genting di rumahnya.
"Dimakan sayang. Jangan dimainin gitu."
"Hm." Angkasa tak menghiraukan perintah mamanya dan tetap memainkan sarapannya.
Bella menyenggol tangan anaknya perlahan dan menunjuk dengan ekor matanya kearah dimana suaminya sedang berjalan kearah mereka.
Dengan malas Angkasa menegakkan tubuhnya dan mulai menyuapkan makanan kedalam mulutnya sesendok penuh. Agar Angkasa memiliki alasan tidak menjawab pertanyaan papanya jika papanya bertanya, karena mulutnya penuh dengan makanan.
"Angkasa, habis ini kamu ada jadwal pemotretan?" Dengan pipi yang menggembung karena penuh dengan nasi, Angkasa menggelengkan kepalanya.
"Bagus, nanti ikut papa ke kantor, kamu perlu menambah ilmu." Angkasa menelan makanannya dengan cepat.
"Apa? Enggak pa. Angkasa gak mau."
"Kamu tahu kalau papa gak suka dibantah kan?"
Angkasa menyudahi sarapannya tanpa menghabiskan separuh makanannya dan pergi kembali ke kamarnya.
"Angkasa! Papa tunggu lima belas menit lagi, kamu harus sudah si.."
Angkasa membanting pintu kamarnya tanpa menunggu teriakan papanya hingga akhir, terlalu malas mendengarkannya. Angkasa hanya ingin berdiri di bidang yang Angkasa sukai, bukan karena paksaan.
Angkasa menjatuhkan dirinya ke kasur besarnya. Mengelus-elus sprai lembutnya.
"Akhirnya sunyi."
Kesunyian datang dikala mata Angkasa perlahan terpejam dan pergi ke dunia mimpi.
*