Selama tiga hari terakhir, Anya menghabiskan waktu untuk beristirahat di rumah. Kondisi Anya sudah membaik, tetapi ia tetap menuruti saran Dokter Tara agar tidak terlalu kelelahan hingga ia benar-benar pulih kembali.
Selama tiga hari itu pula Aiden membawa pekerjaannya ke rumah. Tentu saja ia tidak mengatakan pada Anya bahwa ia bekerja dari rumah karena kondisi Anya belum benar-benar pulih. Ia mengatakan bahwa perusahaannya sedang tidak terlalu sibuk sehingga ia tidak perlu datang ke kantor secara pribadi.
Sore ini, Anya merasa sudah cukup sehat dan merasa sangat bosan, beristirahat di dalam kamar setiap hari. Akhirnya, ia memutuskan untuk turun dan membantu Hana di dapur. Hari ini, ia dan Hana memanggang kue kering sambil mengobrol untuk menghabiskan waktu mereka.
"Anya, apakah kamu mau membawakan sebagian kue kering ini untuk Tuan Aiden?" tanya Hana.
Sepertinya itu ide yang cukup bagus. Saat ini Aiden sedang bekerja bersama dengan Harris di ruang kerjanya. Bekerja terlalu lama pasti akan membuat mereka merasa lapar dan kue kering ini adalah camilan yang sangat pas untuk mereka.
"Baiklah, aku juga akan membuatkan teh untuk Aiden," kata Anya.
Mereka segera meletakkan beberapa kue kering di atas piring. Kemudian, ia menggunakan sebuah nampan untuk membawa piring tersebut dan dua secangkir teh panas ke ruang kerja Aiden.
Belum sempat ia mengetuk pintu ruang kerja Aiden, Anya mendengar sebuah suara dari dalam. "Paman, datanglah ke kantor! Aku sangat sibuk tanpamu. Rasanya aku sudah hampir mati," kata seseorang dari dalam ruang kerja Aiden.
Sepertinya Aiden sedang menemui tamu. Anya mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu ruang kerja Aiden dan memutuskan untuk menunggu Aiden menyelesaikan urusannya terlebih dahulu. Ia bisa memberikan kue kering dan teh ini nanti.
Namun, sebelum ia sempat berbalik dan pergi, Harris tiba-tiba saja keluar dari ruangan itu. "Nyonya! Apakah Anda mencari Tuan?" tanya Harris saat melihat Anya berdiri di ambang pintu.
"Aku hanya ingin mengantarkan kue dan teh, tetapi sepertinya Aiden sedang sibuk. Aku bisa kembali nanti," kata Anya.
Dari dalam ruangan, Aiden bisa mendengar suara Anya. "Masuklah, aku tidak sibuk," katanya.
Harris membukakan pintu lebih lebar sehingga Anya yang membawa nampan berisi camilan dan cangkir teh bisa masuk dengan lebih mudah. Setelah itu, ia meninggalkan ruangan agar Tuannya bisa mengobrol dengan lebih tenang.
Saat masuk ke dalam ruangan itu, Anya bisa melihat seorang pemuda tampan. Perawakan dan wajahnya tampak mirip dengan Aiden. Dengan satu kali lihat saja, semua orang bisa tahu bahwa mereka berdua memiliki hubungan saudara.
Namun, berkebalikan dengan Aiden yang dingin dan serius, pemuda itu tampak ceria dan sangat ekspresif saat berbicara. Ia mengenakan pakaian yang santai. Kaos dan celana jeans sobek-sobek yang ia kenakan saat ini membuatnya terlihat lebih muda. Saat berbanding terbalik dengan Aiden yang selalu mengenakan baju formal ke mana pun ia pergi.
Jika Aiden bisa diibaratkan sebagai bulan menggantung seorang diri di malam hari, pemuda ini adalah matahari yang hangat di siang hari …
Saat melihat Anya memasuki ruangan, pemuda itu langsung menghampiri Aiden. Ia mengguncang-guncang lengan Aiden dan berteriak tanpa sungkan-sungkan seolah Anya tidak berada di sana, "Ah! Aku baru ingat paman sudah memiliki kekasih! Pantas saja paman tidak mau datang ke kantor dan terus mengurung diri di rumah!" Kepalanya bolak-balik melihat ke arah Aiden dan Anya dengan tatapan menggoda.
Tampaknya, pemuda itu sudah mendengar berita terbaru mengenai Anya dan Aiden dari gosip-gosip yang beredar, sehingga ia langsung mengenali Anya walaupun mereka baru pertama kali bertemu. Sepertinya pemuda itu sudah melihat wajahnya dari rekaman yang beredar di internet.
Mendengar kata-kata pemuda itu, Aiden menyentil kening pemuda itu dengan sedikit keras sehingga pria itu langsung mengusap-usap keningnya yang sedikit memerah. "Dasar tidak sopan. Beri salam pada bibimu!" kata Aiden.
Bibi? BIBI!
Anya seolah bisa melihat kejadian ini dengan kecepatan lambat. Ia melihat pemuda itu berpikir, mencerna kata-kata Aiden. Setelah itu, matanya terbelalak lebar saat memahami apa yang dikatakan oleh Aiden dan langsung menoleh ke arah pamannya itu.
"Paman! Kapan kamu menikah? Mengapa kamu tidak mengundangku? Apakah kamu sudah tidak menyayangiku lagi?" seolah tidak kapok setelah mendapatkan sentilan di dahinya, pemuda itu kembali mengguncang-guncang lengan Aiden. Namun, Aiden terlihat sabar saat menghadapi kelakuan pemuda itu.
Belum sempat Aiden menjawab, pemuda itu berhenti mengguncang tubuhnya dan meletakkan tangannya untuk menutupi mulutnya. "Apakah kalian kawin lari karena tidak mendapatkan restu?"
Sebuah pukulan mendarat di kepala pemuda itu, sebagai jawaban atas apa yang ia tanyakan. Aiden tidak memedulikan pertanyaannya lagi dan menatap ke arah Anya. "Kemarilah," katanya dengan lembut.
Anya segera menghampiri meja kerja Aiden dan meletakkan nampan yang ia bawa di atas meja. "Aku membawakan camilan dan teh untukmu," kata Anya.
"Hmm …" Aiden mengangguk saat melihat Anya meletakkan nampan itu di hadapannya. Ia terlihat biasa-biasa saja, tetapi matanya memancarkan kebahagiaan yang tidak terlihat oleh siapa pun.
"Ini Nico Atmajaya. Dia adalah anak dari kakak tertuaku," akhirnya Aiden memperkenalkan mereka berdua.
Mulut Nico ternganga saat melihat nada lembut Aiden saat berbicara pada Anya. Ia tidak pernah mendengar pamannya berbicara seperti itu. Hal itu membuatnya merasa heran sekaligus merinding karena geli. Ia bisa melihat semua bulu di tangannya berdiri.
Setelah itu, ia langsung menghampiri Anya dan menyalami tangannya, "Salam kenal, Bibi. Namaku Nico."
Anya menerima jabatan tangan itu dengan canggung. Anya tidak menyangka ia memiliki keponakan sebesar ini! Sepertinya, usianya dan keponakannya itu tidak berbeda jauh sehingga ia merasa sangat aneh saat mendengar seseorang yang seusia dengannya memanggilnya dengan sebutan bibi.
"Jangan panggil bibi. Panggil saja Anya," jawabnya dengan canggung.
Namun, Nico tidak melepaskan tangan Anya setelah selesai bersalaman. Sebaliknya, ia membawa tangan mungil Anya ke arah bibirnya dan mencium tangan yang mulus itu.
Pertama-tama, Anya sangat terkejut saat melihat sikap Nico. Tetapi dari cara pemuda itu membawa dirinya, Anya bisa tahu bahwa Nico sepertinya sudah terbiasa melakukan hal-hal seperti ini pada wanita. Ia terbiasa menggoda wanita, lebih tepatnya semua wanita!
Aiden langsung melemparkan salah satu buku di meja dan mengenai tubuh Nico, membuatnya mengaduh. "Paman! Apa yang kamu lakukan?" Seharusnya, pamannya itu kan tidak bisa melihat apa yang ia lakukan. Mengapa tiba-tiba pamannya melemparinya dengan buku. Apakah …
"Aku memiliki firasat kamu melakukan sesuatu yang buruk," jawab Aiden dengan acuh tak acuh.
Nico hanya nyengir saat mendengar kata-kata pamannya. Pamannya itu memang sangat mengenalnya. Ia memang terbiasa menggoda wanita, tidak peduli wanita itu lebih muda atau lebih tua darinya. Ia adalah seorang playboy sejati!
Anya tertawa kecil saat melihat tingkah kedua orang ini. Ia baru pertama kali melihat sisi Aiden yang seperti ini. Hubungan Aiden dan Nico sangat baik sehingga mereka terlihat seperti kakak dan adik.
Aroma kue kering yang baru saja matang tercium dari meja Aiden, membuat perut Nico berbunyi karena kelaparan. Ia langsung mencomot kue kering yang ada di atas meja dan hendak memasukkan kue itu ke dalam mulutnya.
Namun, sebelum tangannya bisa terangkat, Aiden sudah memukul tangannya, membuat kue itu kembali jatuh ke piringnya.
"Aduh, Paman! Aku lapar dan aku ingin makan kue itu! Paman kan tidak suka makanan manis, lebih baik kue itu untukku saja daripada mubazir," Nico terlihat cemberut sambil mengelus-elus tangannya.
"Mulai saat ini aku menyukai makanan manis …" jawaban Aiden membuat mulut Nico ternganga. Pamannya benar-benar dimabuk cinta!
Anya hanya tertawa melihat pertengkaran kecil kedua pria ini. "Masih ada banyak kue di bawah. Aku akan mengambilkannya lagi kalau kurang …"
"Tidak usah, dia sudah mau pulang." potong Aiden.
Nico langsung menoleh menatap pamannya. Sejak kapan ia mengatakan ia mau pulang? Ia belum mau pulang, tetapi pamannya itu mengusirnya secara halus.
"Eh? Apakah kamu tidak mau ikut makan malam dengan kami?" tanya Anya.
Aiden memelototi Nico, menyuruhnya untuk segera pergi dari rumah itu. Tetapi Nico tidak memedulikan tatapan pamannya. Ia menjulurkan lidahnya ke arah Aiden, beranggapan bahwa pamannya itu tidak bisa melihatnya. "Aku mau ikut makan malam!"
'Dasar bocah satu ini,' pikir Aiden sambil memutar bola matanya melihat tingkah keponakannya itu.