"Aku pergi dulu," kata Aiden. Pria itu sudah mengenakan setelan rapi dan membawa tas besar berisi pakaian untuk menginap. Hari ini, ia mengenakan jas berwarna biru gelap, dipadukan dengan kemeja dan sepatu berwarna hitam.
Hari ini, Aiden akan pergi ke luar kota bersama dengan Nico dan Harris untuk urusan pekerjaan. Ia akan pergi selama tiga hari. Itu artinya, Anya akan tinggal di rumah sendirian selama tiga hari.
Anya hanya mengangguk dan melambaikan tangannya pada Aiden dan Harris. Ia merasa sedikit senang akhirnya memiliki waktu untuk dirinya sendiri, tetapi tentu saja ia tidak berani menunjukkannya di hadapan Aiden. Ia bersikap biasa-biasa saja namun sebenarnya hatinya sangat gembira.
Mulai hari ini dan selama tiga hari ke depan, ia bisa melakukan apa pun yang ia mau! Ia bisa bebas!
Setelah Aiden pergi, ia menghabiskan waktunya berada di rumah kaca. Bersantai, membaca buku dan mengamati berbagai tanaman yang berada di dalam rumah kaca tersebut. Saat ia berada di dalam rumah kaca itu, ia teringat pada taman bunga milik ibunya. Sudah lama ia tidak mengunjungi taman bunga itu. Mungkin sudah banyak rumput liar yang memenuhi taman itu.
Besok ia akan mencoba meminta ijin pada Aiden untuk pergi ke taman bunga miliknya. Ia bisa membersihkan taman itu dan membeli beberapa bibit bunga untuk ditanam.
Tak terasa matahari sudah mulai turun, langit perlahan ditutupi oleh awan-awan. Anya segera kembali ke dalam rumah. Saat ia berjalan menuju ke dalam rumah, ia mencium aroma masakan yang membuat perutnya berbunyi. Hana sedang berada di dapur untuk menyiapkan makan malam sehingga Anya bergegas untuk membantunya.
Dalam waktu singkat, makan malam tersaji di atas meja makan. Hari ini, hanya ia dan Hana yang akan makan bersama-sama.
Untung saja ada Hana di rumah ini. Kalau tidak, mungkin sekarang ia akan makan sendirian di meja yang besar ini. Ia pasti akan merasa sangat kesepian!
Setelah makan malam, mereka pun lanjut mengobrol di ruang keluarga hingga Anya mulai menguap. Sepertinya berjalan-jalan di rumah kaca tadi membuatnya cukup lelah.
Melihat Anya yang menguap, Hana pun ikut menguap. "Sudah malam, beristirahatlah!" kata Hana.
"Iya, Bu. Saya pamit ke kamar dulu ya. Selamat malam," pamit Anya.
Ia segera melakukan rutinitasnya sebelum tidur dan berbaring di sisi tempat tidurnya. Tanpa sadar, tangannya menyentuh sisi tempat tidur yang biasa ditempati oleh Aiden. Tempat tidur itu terasa dingin. Ada perasaan aneh menyusup ke hatinya saat menyadari tidak ada orang yang berbaring di sisinya.
Tempat tidur ini terasa sangat besar untuknya seorang diri. Dulu, tempat tidurnya bahkan tidak mencapai separuh dari tempat tidur ini.
Ia memejamkan matanya, sementara tangannya masih berada di sisi tempat tidur Aiden. Pada akhirnya, ia pun terlelap.
…
Keesokan paginya, setelah sarapan, Anya mencoba menghubungi Aiden. Ia ingin meminta ijin pada Aiden untuk pergi ke taman bunganya.
Tidak butuh waktu lama bagi Aiden untuk menjawab panggilan tersebut.
"Hmm," gumamnya.
"Apakah kamu sudah sarapan?" tanya Anya berbasa-basi.
"Sudah. Ada apa tiba-tiba menelepon?" tanya Aiden. Anya jarang sekali meneleponnya. Mungkin bisa dihitung dengan jari berapa kali Anya meneleponnya setelah mereka menikah. Ia tahu bahwa saat Anya meneleponnya, itu artinya wanita itu sedang membutuhkan sesuatu atau ingin meminta ijin padanya.
"Apakah aku boleh mengunjungi taman bunga milik ibuku? Taman itu sudah lama tidak diurus," tanya Anya.
Tentu saja Aiden mengetahui mengenai taman bunga milik ibu Anya. Saat ia mencari informasi mengenai Anya, informasi mengenai lahan itu juga disertakan. Ia juga tahu bahwa Deny berusaha untuk meminta lahan itu dari Anya beberapa saat yang lalu.
"Hmm … Pergilah. Suruh Abdi mengantarmu dan ajak beberapa pelayan bersamamu," jawab Aiden.
Anya merasa sangat senang mendengar jawaban Aiden. Ia mendapatkan ijin untuk pergi!
"Terima kasih!" jawab Anya pada Aiden. Ia tidak bisa menyembunyikan kegembiraan di dalam suaranya sehingga Aiden yang berada di ujung telepon pun mendengarnya.
Aiden tersenyum tipis saat mendengar suara itu. Ia bisa membayangkan sebuah senyum yang lebar merekah di wajah Anya, membuat lesung pipitnya terlihat. Matanya akan berbinar dengan penuh semangat dan mungkin ia akan melompat-lompat kecil karena terlalu gembira.
Nico melihat ekspresi Aiden yang berada di sampingnya berubah. Pamannya itu baru saja mengangkat telepon dari seseorang, tetapi jelas sekali bahwa orang itu adalah bibinya. Hanya bibinya saja yang bisa membuat pamannya jadi budak cinta seperti ini!
Ia langsung berdeham dengan keras, berusaha menarik perhatian pamannya itu. "Paman, apakah bibi yang meneleponmu?" ia menanyakan suatu hal yang sudah pasti, tetapi ia tidak akan melewatkan kesempatan ini untuk menggoda pamannya.
"Hmm …" Aiden tidak memedulikan pertanyaan Nico dan menjawabnya dengan gumaman yang tidak jelas.
"Pantas saja suara paman terdengar begitu lembut. Kalau saja aku yang menelepon, paman pasti sudah menutup teleponnya terlebih dahulu sebelum aku selesai berbicara," kata Nico sambil merajuk.
Aiden memutar bola matanya saat mendengar kata-kata Nico. Ia tidak mengerti bagaimana bisa keponakannya itu sangat cerewet seperti ini. Begitu berbicara, Nico seperti tidak memiliki rem dan tidak bisa menghentikan mulutnya. Ia dan keponakannya itu benar-benar berbeda 180 derajat.
Melihat pamannya itu sama sekali tidak menanggapi godaannya, ia segera mengalihkan pembicaraan. "Paman, aku dengar bibi memiliki sebidang lahan yang digunakan untuk taman bunga," tanya Nico.
Aiden menoleh saat mendengar pertanyaan Nico, "Darimana kamu tahu itu?"
"Aku punya banyak cara untuk mencari tahu," jawab pemuda itu sambil nyengir lebar. Tentu saja ia mengetahuinya, ia juga anggota Keluarga Atmajaya! Ia memiliki banyak orang yang bisa ia perintahkan untuk mengumpulkan berbagai informasi.
Sebenarnya, ada sebuah pertanyaan yang mengganjal di hatinya saat mengetahui informasi mengenai lahan milik Anya. "Paman … Paman tidak menikahi bibi karena tanah itu kan? Apakah paman benar-benar menikah karena mencintai bibi, atau karena paman menginginkan tanah itu?" tanya Nico sambil menatap ke arah Aiden dengan penasaran.
"Aku tidak menikahi Anya karena tanah itu. Tanah itu adalah miliknya," jawab Aiden.
Nico menganggukkan kepalanya saat mendengar jawaban Aiden, tetapi ada perasaan tidak rela di dalam hatinya saat mengetahui tanah yang strategis itu digunakan untuk menanam bunga, walaupun tanah itu sama sekali bukan miliknya.
Tapi, paman dan bibinya itu sudah menikah. Jadi, apa pun milik bibinya itu adalah milik pamannya! Sama halnya dengan tanah itu. Tanah itu bisa dianggap sebagai milik pamannya sekarang …
"Sayang sekali tanah itu digunakan untuk menanam bunga. Itu sungguh sia-sia. Apakah bibi tidak mau memberikannya pada paman saja? Jika tanah itu digunakan untuk bisnis …" keluh Nico panjang lebar. Walaupun masih muda, ia sudah terbiasa membantu Aiden dalam menangani perusahaan sehingga jiwa bisnisnya pun muncul secara alami.
"Aku punya rencana lain untuk tanah itu!" kata Aiden, membuat Nico berhenti mengoceh.