webnovel

26

Makan malam yang lebih nyaman bersama keluarga Namikaze berbeda saat berada di rumahnya, di mana penuh ketegangan, tata krama yang terlalu kuat, hingga tidak ada satu pun suara yang muncul kecuali suara-suara gesekan sumpit dan piring. Dan meskipun keluarga Namikaze termasuk keluarga bangsawan juga, di meja makan mereka justru lebih erat dan hangat. Hinata sama-sekali tidak canggung, bahkan Kushina menyinggung tentang Neji yang tidak sekali bergabung bersama mereka.

Seusai makan malam tersebut, Hinata diantarkan ke kamar di lantai dua, tepat di sebelah kamar Naruto. Saat baru duduk di pinggir kasur, tiba-tiba seseorang mengetuk pintunya. Hinata mendekati pintu kamarnya, menemukan Naru di depan sana. "Kalau kau butuh sesuatu ketuk saja pintu kamarku."

"Kurasa akan merepotkan nanti, semuanya sudah disediakan, air putih, penghangat ruangannya juga sudah pas. Jadi, aku tidak butuh apa pun."

Naru terdiam sebentar. "Mm, mungkin kau butuh teman bicara," Hinata memandang ragu ke arahnya. "Atau kau mau segelas susu putih panas?"

"Kau tidak bisa tidur, ya?"

"Aku biasa tidur lewat jam dua belas, aku selalu mengerjakan sesuatu terlebih dahulu sebelum akhirnya ketiduran," ungkap Naru. "Kalau kau mau aku akan buatkan segelas susu, kita bisa menikmatinya di teras lantai dua, atau di lantai tiga. Di atas rumahku ada taman buatan, dan dari sana kita juga bisa melihat panorama Tokyo."

"Apa tidak apa-apa menyelinap keluar? Kukira nanti ibumu akan mencari kita."

"Dia tahu kebiasaanku kalau tidak bisa tidur, aku sering ke sana membawa beberapa tugas sekolah ditemani dengan mug cokelat, camilan, atau kadang cuma susu panas. Kalau kau sudah mengantuk, aku bisa ke sana sendiri, tapi kalau kau tidak bisa tidur, susul aku ke sana."

Di saat Naru ingin beranjak dari kamar Hinata, gadis itu justru menarik haori hitamnya. "Aku… ikut," katanya, sambil menunduk malu. "Omong-omong, kau seperti laki-laki tua yang suka pakai haori dipadukan dengan piama," gadis itu seakan-akan sedang melayangkan protesnya sambil memainkan kain haori tebal itu. "Pasti kau menyukainya karena hangat."

"Betul, aku suka pakai haori karena hangat, cocok digunakan saat musim dingin, tapi kupikir ini lebih ke fashionable," Hinata menahan tawa. "Tidak cocok kugunakan karena wajahku?"

"Tidak, walau benar kalau seperti turis yang sedang melakukan tur tahunan di sini," Naru mendengkus cukup keras, gadis itu mulai kambuh dalam mengejek dirinya. "Jangan dilepaskan!" Hinata terkejut yang dilakukan oleh Naru, di mana pemuda itu langsung melepaskan haori-nya. "Kau tidak bisa diajak bercanda."

"Bukan, aku ingin kau mengenakannya, karena di luar sangat dingin, aku mau ambil haori yang lain," karena tidak pernah diperlakukan seperti ini oleh pemuda seumurannya, Hinata merasa begitu asing dan sangat malu. Kebanyakan dari mereka memang terlalu menghormatinya, atau larangan untuk bersentuhan dengannya karena status spiritual yang terjadi padanya, bahwa dia telah menjadi milik Dewa. "Tunggu di sini, nanti aku jemput."

"Kau mau buat susu di dapur? Aku ikut boleh?"

"Kau yakin?" Hinata mengangguk. "Ayo, kalau begitu."

Mereka berdua akhirnya pergi ke dapur bersama-sama. Di sana masih ada beberapa pelayan yang sedang menyiapkan bahan-bahan masakan untuk esok hari, juga satu juru masak junior yang mencoba membersihkan beberapa peralatan memasak. Tapi seakan ini sudah kebiasaan, tidak ada satu pun dari mereka bertanya, apa yang dilakukan Naruto di dapur, mengambil gelas, juga mengambil kaleng susu di dalam lemari penyimpanan, semua orang bahkan seakan tidak peduli, atau tidak mencoba mengambil alih.

Hinata yang merasa penasaran pun bertanya. "Kenapa mereka tidak mencoba menolongmu?"

"Sudah kubilang, aku sering pergi ke atap dengan menikmati sesuatu, ini sudah jadi kebiasaan hampir setiap malam kalau aku tidak bisa tidur," setelah menutup kaleng susu dan mengembalikan kaleng tersebut ke tempatnya, Naru pun melanjutkan. "Mereka sudah tahu, kalau aku lebih suka mereka tidak ikut campur."

"Senangnya bisa melakukan apa pun sendiri," celetuk Hinata, tanpa disadari bahwa Naru langsung menoleh ke arahnya. Gadis itu kemudian tersenyum kaku. "Aku tidak pernah dibiarkan melakukan apa pun sesukaku."

"Aku tahu."

Hinata tertegun. "Tahu?"

"Semua perempuan bangsawan selalu diperlakukan bagai berlian, ibuku juga ketika masa muda sering kali dijaga ketat, apa pun yang ingin dilakukannya pasti dilarang beberapa pihak," Naru mengaduk susu perlahan ketika dia baru saja menuangkan air panas. "Hidupnya tertekan, belum lagi saat dia menikah dengan ayahku, dia jauh mendapatkan banyak tekanan, tidak heran kalau ibu pada akhirnya mengalami depresi dan stres berkepanjangan."

"Apakah beliau sudah baik-baik saja?"

Naru tersenyum ke arah Hinata, ia senang menjumpai wajah gadis itu benar-benar terlihat peduli. "Tenang saja, ibuku sudah sembuh."

"Syukurlah."

"Jadi, ayo kita pergi ke atap, kita bisa menikmati susu selagi panas."

Mereka berdua keluar dari dapur, menaiki tangga sampai ke lantai atap. Sesuai perkiraan Hinata, bahwa tempat tersebut sungguh nyaman dengan rumput sintetis yang terasa lembut di kakinya begitu dia melepaskan sepatu kanvas yang diberikan oleh Kushina tadi untuk digunakan selama bermalam. "Indah!" gumamnya, melihat pagar-pagar besi berwarna hitam dipenuhi oleh clematis, juga pagar rerumputan sejenis American holly. "Apa semua asli?"

"Tidak, semua yang ada di sini palsu, buatan."

"Sayang sekali."

Naru kemudian meletakkan susu panas itu ke sebuah meja lipat yang baru saja dipasang. "Ayo, kita duduk di rerumputan saja, dan melihat langit, hari ini lumayan cerah, kita bisa melihat sesuatu di atas sana," Hinata tidak begitu mengerti akan perasaan berdebar-debar yang terasa begitu asing saat dia mencermati Naru. Padahal, mereka sempat bermusuhan, tapi ketika mendapati perasaan semacam ini menyelusup ke dalam dadanya. Membuat Hinata merasa malu sendiri.

"Kau kenapa?" Hinata menggeleng-gelengkan kepala, kemudian dia berbaring di atas rerumputan sintetis itu sambil menghadap langit yang indah, dengan kondisi salah tingkah—jujur saja, dia agak kecewa tidak bisa melihat bintang di sini, begitu telentang dan merasa sedikit kedinginan.

"Bintang ternyata tidak terlihat dari sini."

"Pasti tidak membuatmu nyaman, sekarang kau mengerti perbedaannya, 'kan?"

Hinata membuang tawa. "Tetap saja aku nyaman tinggal di sini kok, tenang saja," Naru mengambil duduk dan menyesap susu panasnya dengan hati-hati. "Di pekarangan rumahku, ada pohon raksasa yang sangat kubenci, sampai-sampai suatu hari nanti aku berkeinginan untuk menebangnya dengan kedua tanganku sendiri," Naru terdiam, mencermati sesaat. "Pohon itu sebenarnya menghalangi langit."

"Kau jadi tidak bisa melihat bintang?"

"Itu benar."

"Terdengar sama saja dengan apa yang ada di sini."

"Omong-omong, apakah kau pernah membawa gadis datang kemari?" baru saja berbaring di samping Hinata, Naru menoleh ke arah gadis itu. "Siapa yang kau ajak kalau boleh tahu."

"Kau yang pertama," Hinata ikut menoleh, ia menjumpai Naru memandanginya intens. "Aku tidak pernah mengajak siapa pun, karena aku orang yang tertutup, aku punya banyak teman, tapi aku kadang menjadi orang yang kurang nyaman untuk berdekatan dengan mereka terlalu lama. Hanya kakakmu yang sanggup mendekatiku."

"Berarti kau tidak pernah pacaran?"

"Eh?" Naru agaknya kaget dengan pertanyaan itu. Belum lagi, saat dia masih tertegun, Hinata merangkak untuk mengambil duduk di perutnya. "Apa yang sebenarnya—"

"Mau pacaran denganku?" aku pasti gila, Hinata berkata dalam hatinya. "Aku ingin melakukan apa pun dan pergi ke mana pun sesukaku. Kudengar pemuda-pemuda Tokyo lebih suka dengan gadis agresif, bahkan tentang seorang gadis yang menyatakan cinta kepada seniornya. Apa kau suka dengan pernyataan cintaku?"

"Kau tidak menyatakan cinta, tapi kau mengajak aku berpacaran," balas Naru, dia masih tenang dengan membiarkan Hinata duduk di atas perutnya. "Ini rencanamu ketika kau mau ikut bersamaku?"

"Rencana?" tanya Hinata balik, merasa penasaran. "Apakah aku seperti gadis murahan Tokyo? Apa kau tidak suka dengan adik kelas yang agresif?"

Naru menghela napas. "Neji pasti akan membunuhku jika aku mendekati adiknya," Hinata tertunduk, pandangannya tiba-tiba kosong, wajahnya pun terlihat ingin menangis. "Kau baik-baik saja? Menangislah jika memang kau ingin."

"Aku tidak pernah bisa," balas gadis itu. "Aku selalu ingin menangis, tapi aku tidak pernah bisa menangis," tetapi pada akhirnya, untuk pertama kalinya air mata Hinata terjatuh tepat di atas dada Naru, dengan kedua tangan yang mencengkeram kain-kain piama Naru yang semakin kusut. "Aku membenci hidupku, aku membenci semua yang ada di dunia ini," teriakannya agak menggema, seolah sedang meluapkan kemarahannya juga kesedihan yang terus terpendam.

"Aku ingin menghilang, aku ingin mati," dengan tangisan yang semakin menjadi-jadi, Naru memiliki inisiatif menarik tubuh gadis itu untuk dipeluk, dan dibiarkan gadis itu menangis di dadanya.

ตอนถัดไป