webnovel

27

Neji berencana keluar dari apartemen di saat ia baru sampai, begitu pendamping Hinata mengumumkan jika Hinata sejak semalam tidak pulang ke rumah.

Meski Neji tidak memiliki tujuan pastinya ke mana harus mencari Hinata, tapi tidak salah untuk mencobanya, ia akan pergi ke rumah Namikaze karena satu-satunya tempat yang menjadi tujuan gadis itu untuk kabur mungkin ke sana. Namun beruntung sebelum dia dapat menyelinap keluar dengan menggunakan mobil tanpa sim, gadis itu sudah muncul di depan apartemen.

"Kau ingin membuat geger penduduk Okutama karena hilangnya dirimu?" Neji tidak pernah marah—setidaknya tidak pernah berteriak ke muka adiknya, ini pertanda dia benar-benar khawatir, sebab dia bertanggung jawab penuh atas keberadaan gadis itu di sini. "Mengapa kau pergi tanpa pendampingmu? Katakan padaku sekarang!"

Hinata berhenti tepat di ruang tamu kecil apartemen mereka, melirik sebentar ke arah sang pendamping, mendapati wajah wanita itu agak membengkak. Mungkin semalaman menangis dan tentu saja tidak bisa tidur. "Keluarlah," kata gadis itu tanpa merasa iba sedikitpun, pada pendampingnya yang buru-buru keluar dari apartemen, sambil wanita itu berpikir untuk tidak membuat majikannya kembali merajuk.

"Aku bertemu temanmu di tengah jalan, saat aku berencana untuk jalan-jalan sebentar mencari angin, lalu dia mengajakku pergi ke rumahnya, makan malam bersama ibunya, dan bermalam di sana. Aku tidak pergi ke mana pun setelah itu."

"Mengapa kau tidak menghubungi pendampingmu?" Neji masih memprotes segala yang dilakukan oleh Hinata semalam, dan pagi ini gadis itu pulang dengan wajah yang terlihat murung. "Terjadi sesuatu selama kau berada di Namikaze?"

"Tidak ada yang terjadi," Hinata menatap Neji kosong. Ia tentu tidak ingin mengakui bahwa telah melakukan banyak kebodohan sejak semalam. "Aku hanya lelah."

Seharusnya Neji tidak mengganggu acara gadis itu untuk istirahat. Hinata kadang punya waktu tidur yang melebihi orang normal, atau ketika meski tertidur selama apa pun, gadis itu akan tetap merasa begitu lelah dan kurang. Mungkin saja itu karena stres atau banyak pikiran yang dideritanya. Ia tahu, untuk saat ini menginterogasi gadis itu sudah cukup.

Neji membiarkan Hinata untuk masuk ke dalam kamarnya, daripada membiarkan gadis itu mengamuk.

Sesudah masuk ke dalam kamarnya, gadis itu pun mengunci kamar rapat-rapat dan berharap tidak ada satu pun yang boleh mengganggunya.

Gadis itu sedang berada pada titik keterpurukan yang paling rendah, belum lagi merasa begitu bingung pada tindakannya semalam. Mengapa dia bisa menangis di hadapan Naruto, dan mengapa dia perlu berteriak bahwa ingin mati. Ia pikir kematian tidak akan menyelesaikan masalah, Hinata kadang tahu dalam hal itu.

Berada di dalam kamarnya, Hinata berpikir mungkin dia bisa kembali menangis seperti semalam saat berada di pelukan Naruto. Namun nyatanya tidak. Dia merasa begitu kosong dan seolah-olah ada yang kurang entah apa itu. Meski kenyataannya ia amat lega menumpahkan seluruh air matanya, dan bodohnya, dia duduk di perut laki-laki itu dengan tidak tahu malunya.

Oh Tuhan, bunuh saja aku!

"Memalukan!" satu hal lagi yang tak bisa ditepis bahwa dengan percaya dirinya dia perlu mengajak laki-laki itu berpacaran—walaupun apa yang dilakukan termasuk dalam rencana untuk menghancurkan status pengantin dewa.

Bagaimana kalau dia berpacaran diam-diam, berciuman, berhubungan intim, lalu menikah dengan manusia? Apakah Dewa tahu rencana bodohnya. Tapi, dia tidak mungkin melibatkan Naruto ke dalam masalahnya, bukan?

Akan tetapi, tidak ada satu pun dalam daftar lelaki yang dapat diandalkannya. Tentu saja Neji sebagai pengecualian. Ia tidak boleh melibatkan Neji, dan orang seperti Neji tidak mungkin menyetujui hal kontradiksi semacam itu berada pada kehidupannya. Dan soal tadi malam, dia harus merahasiakannya dari Neji, tentu saja dia harus mengancam atau memaksa Naruto untuk diam—demi Tuhan! Laki-laki itu tidak boleh membocorkan masalah semalam.

ตอนถัดไป