Karin di tarik kasar oleh Maharani ke dalam rumah. Hari ini adalah kepulangan Karin dari rumah sakit, tapi perlakuan kasar justru ia peroleh.
"Kamu itu tidak tahu di untung, udah di besarkan, dirawat sekarang kamu malu-maluin kamu hah?" Teriak Maharani dengan sangat lantang dan kasar.
"Jika semua orang tahu kamu Hamil, hancur kita semua Karin. Papamu akan hancur, Mama akan di permalukan di sekolah. Mau taruh mana muka kami nanti punya anak kelakuan begajulan. Mama tidak mau tahu, bagaimana pun caranya gugurkan kandungan itu. Jangan sampai semua orang tahu."
"Mama memang tidak pernah peduli sama aku Ma, Mama sama Papa sama saja. Aku bahkan hampir mati karena bunuh diri aja Mama ngga peduli. Yang kalian pedulikan hanya uang, ketenaran dan jabatan. Kalau kayak kenapa Karin di lahirkan Ma."
Plakkkk!!!
Putra menampar Karin dengan sangat kasar hingga pipinya memar, bahkan dari sudut mulut Karin Nampak keluar darah segar.
"Gimana Pa? Udah puas tampar Karin? Kalau belum tampar aja Karin sampai mati. Toh dengan itu kalian ngga perlu lagi dipermalukan sama Karin." Air mata Karin sudah benar-benar membanjiri pipinya, tak ada sama sekali belas kasih yang ditunjukkan Maharani dan Putra.
"CUKUP!!! Besok kamu ikut sama Mama. Kita gugurkan kandungan itu." Teriak Maharani. Tapi Karin menanggapinya dengan tersenyum.
"Ngga Ma, Karin akan mempertahankan anak Karin. Mama ngga perlu khawatir, Karin akan simpan ini rapat-rapat. Mama sama Papa ngga usah khawatir, kalian tidak akan kehilangan dunia kalian." Karin lantas pergi berlari kearah kamarnya melewati mbok Darmi yang sangat kasian melihat anak majikannya itu tidak pernah mendapatkan kasih sayang yang tulus dari orang tuannya.
"Non, bibi boleh masuk?" Suara bi Darmi dari arah luar pintu kamar Karin. Karin berangsur turun dari Kasur dan membukakan pintu. Selama ini dirumah ini hanya mbok Darmilah yang paling menyayangi Karin, orang yang selalu menganggapnya ada. Karin pun membukakan pintu. Melihat Mbok Darmi berdiri di depannya dengan air mata yang juga sedang menetes, Karin lantas langsung memeluknya.
"Mbok Karin capek. Kenapa Karin ngga mati aja sih Mbok?" Mbok Darmi mengelus-elus punggung Karin, dan mengajaknya untuk duduk. Mbok Darmi sudah membawakan Karin segelas susu.
"Non Karin nggk boleh ngomong gitu. Non Karin kan orangnya kuat." Ujar Mbok Darmi sembari memberikan segelas susu itu.
"Karin ngga mau gugurin anak Karin mbok." Mbok Darmi menganggukkan kepalanya.
"Iya Non, anak itu sebuah anugerah. Dia tidak salah non, tapi hanya nasibnya saja yang kurang beruntung. Pertahankan anak ini Non, jika non menggugurkannya, yang ada hanya penyesalan menghantui." Karin sekali lagi memeluk Mbok Darmi, tetes air matanya kembali lagi menetes. Yang ia harapkan hanya kedua orang tuanya memperlakukan ia seperti apa yang dilakukan mbok Darmi kepadanya. Namun sayang semua itu hanya angan.
****
Keesokan harinya Karin memutuskan untuk berangkat ke sekolah, dengan seragam dan jaket berwarna hijau tosca. Karin benar-benar tidak mengindahkan perkataan ibunya untuk menggugurkan kandungannya. Bahkan hingga kini Maharani masih lebih memperdulikan Jabatan dari pada mental anaknya sendiri.
Seperti biasa Karin diantar supirnya untuk pergi ke sekolah, ia nampak seperti siswi-siswi lainnya yang penuh semangat datang ke sekolah. Karin berusaha keras menutupi pergelangan tangannya itu dengan sebuah kain yang ia ikat. Ada beberapa siswi yang menyapanya bahkan juga beberapa cowok-cowok yang sedang duduk di parkiran sekolah.
"Karinn!" Teriak Indah dari kejauhan, Indah lantas berlari mendekati Karin.
"Kamu ngga apa-apa kan? Kamu udah sehat? Kok udah sekolah sih." Tanya Indah bertubi-tubi tak henti-hentinya. Karin hanya tersenyum saja membalas pertanyaan-pertanyaan dari Indah. Sedangkan matanya masih saja sibuk menyusuri isi sekolah, orang yang ia cari tak sedikit pun terlihat. Sabiru tak lagi terlihat, mengirim pesan saja sudah tak pernah. Karin benar-benar rindu padanya.
"Nyariin gua ya Lo?" Rafa merangkul Karin dari belakang dengan gayanya yang seperti biasa, penuh dengan canda dan sangat ceria.
"Dih pede banget lo. Ngapain juga Karin nyariin lo kan. Jadi cowok jangan kepedean dong!" Cerocos Indah yang memang tak pernah bisa berhenti kalau sudah berdebat dengan Rafa. Rafa yang sangat suka membuat Indah emosi pun terus menggoda Indah. Sampai akhinrya Karin memutuskan meninggalkan mereka merdua yang masih berdebat tak jelas.
"Lo sih, pergi kan dia jadinya." Ujar Indah menyalahkan Rafa. Lantas Indah mengejar Karin yang masih melangkah kedalam kelas. Sebenarnya badannya sangatlah lemah saat ini, namun ia paksakan untuk bersekolah karena ingin bertemu dengan Sabiru, namun hingga jam pulang sekolah Sabiru tak terlihat sama sekali. Karin menunduk kecewa hari ini tak dapat melihat kekasih hatinya itu. Ia pun pulang dengan rasa kecewa. Namun esok kembali ia mencari Sabiru. Bahkan Karin berkeliling sekolah sendirian. Tak sedikit pun batang hidungnya terlihat.
Karin hampir saja menyerah, namun Indah yang sudah ngos-ngosan berlari kearahnya.
"Kar, Kar!!!"
"Ada apa Ndah?" Tanya Karin heran dengan tingkah temannya ini.
"Rafa berantem sama Sabiru." Karin benar-benar tidak percaya dengan apa yang dia dengar saat ini. Karin bergegas menuju lapangan. Ramai sekali siswa-siswi sedang menonton. Entah apa asiknya menonton orang berkelahi. Namun mereka tetap saja menontonnya. Bahkan jika kalian bertanya, pasti salah satunya akan mendukung Rafa atau tidak Sabiru.
Namun sebelum Karin sampai di tempat mereka berkelahi, Sabiru sudah terlebih dahulu memutuskan untuk pergi. Entah seakan tak ingin melihat Karin lagi. Karin melihat Rafa sudah babak belur dengan darah segar dan memar menghiasi wajahnya.
Sekali lagi Karin mengedarkan pandangannya, taka da sosok Sabiru di sana, Sabiru pergi, sabiru menghilang lagi. Karin memutuskan mencarinya, ia keliling kesegala penjuru sekolah, Sabiru benar-benar tidak ada. Kemana perginya? Kenapa begitu cepat dia menghilang. Karin tak menyerah, ia akhirnya memutuskan untuk pergi kearah gerbang kampus, yang ada hanya pak satpam yang sedang berjaga. Pagar sekolah itu sudah dikunci.
Kepala Karin semakin pusing, namun ia teruskan mencari Sabiru. Dalam pikirannya kita ia ingat sesuatu tempat. Sebuah pohon besar di belakang sekolah. Itu adalah tempatnya dan Sabiru biasa bersembunyi. Perlahan Karin berjalan ke sana, kerumunan yang tadi menonton Sabiru dan Rafa berkelahi sudah bubar dan pergi. Langkahnya masih mantap maju untuk bertemu Sabiru, pusing itu sudah tak ia hiraukan lagi. Baginya saat ini adalah Sabiru, itu lebih penting dari apapun.
Karin tiba di pohon besar itu, namun apa yang dia lihat. Sabiru tengah terduduk, namun tak sendiri. Ia bersama perempuan lain sedang berciuman mesrah. Ada rasa sesak seketika menjalar pada tubuh Karin. Pandangannya pun kian memudar, hingga Karin benar-benar tak sadarkan diri dalam keadaan kecewa.