Erna menyenggol lenganku. "Cie, dari tadi senyum-senyum terus?" ledeknya.
"Erna, apa aku salah kalau menerima semua kebaikan dari Azam?" tanyaku.
"Tentu aja gak salah, kan, bukan kamu yang minta?"
"Aku takut dibilang pelakor nanti, apalagi kalau sampai Lisa tau," jawabku kemudian.
"Kamu jangan mengirimkan pesan WA duluan, biar aja si Azam yang duluan kirim." Aku mengangguk paham.
Benar juga, untuk apa juga aku mengirim pesan duluan? Di dalam kontak, hanya ada nomor Erna dan Azam yang baru kusimpan dalam memori telepon.
Bahkan, aku tidak tahu berapa nomor telepon suamiku sendiri. Setengah jam telah berlalu, suara mertuaku terdengar dari dalam rumah. Sepertinya, dia baru kembali.
"July! Buatin kopi!" teriaknya.
"Baru pulang, tuh. Sana buatkan dulu, biar Fito di sini aja," ucap Erna.
Aku melangkahkan kaki dengan malas, masuk melewati pintu belakang kembali. Namun, aku terkejut melihat mertuaku berkacak pinggang, "Bisanya ngerumpi aja!" bentak mertuaku.
Tanpa berkata apa pun, aku mengambil panci yang tergantung pada dinding dapur. Menaruh air ke dalamnya, lalu merebus. Mertuaku masih sibuk memaki, mengumpat, dan menyindirku seperti biasa.
"Udah jelek, mah, jelek aja! Makeup punya Risa, ya?!" umpatnya. Aku menoleh sesaat menatap wajah mertuaku.
"Dasar maling! Nanti malah banyak virus lagi, tuh, spon bedaknya!" Lagi, ia terus mengumpat. Air sebentar lagi mendidih, tidak berbeda jauh dengan hatiku yang sudah mendidih karena emosi.
Ada dorongan dari dalam hati, untuk menyiram seduhan air panas yang sedang aku masak ini. Ketika gagang panci telah ku genggam, bisikan itu semakin menjadi. Namun, aku mencoba untuk meredam emosiku. Bukan karena takut, tetapi aku tidak mau jika Azam membenciku nantinya.
"Baju siapa yang kamu pakai ini?" Nyonya besar itu menarik kasar baju yang aku pakai. Hampir saja air yang sedang aku tuang ini tumpah mengenai tanganku.
"Baju July." Aku menjawabnya dengan singkat sambil mengaduk kopi pesanannya. Sepertinya mertuaku tidak senang mendengar jawaban dariku.
"Gak mungkin! Pasti ngutang, ya?! Dasar manusia gak tau diri, suami baru kerja tapi pakaian langsung glamor!" tuduhnya. Aku membanting panci yang masih ada air panas begitu saja ke atas kompor, percikan air mengenai tubuh mertuaku, ia menjerit dan memaki.
"Dasar kurang ajar! Sengaja menyiram air panas ke mertua sendiri!" Tangannya meraih rambutku, menjambak dengan sepenuh tenaga. "Sakit! Lepasin!" teriakku sambil menepis cengkraman Nyonya besar itu.
Tergopoh-gopoh Erna datang saat mendengar teriakan kami, mungkin ia takut terjadi hal yang tidak diinginkan.
"Kalian kenapa, sih?!" Erna membantu memisahkan kami, tangan mertuaku masih dalam posisi menjambak.
"Gak usah ikut campur urusan saya! Dasar tetangga kepoh!" makinya.
"Tolong dilepas, Tante! Atau saya akan menelpon Azam!" ancam Erna. Sontak aku pun menoleh ke arahnya, Erna membalas tatapanku sesaat lalu menatap mertuaku dalam.
Cengkraman tangan mertuaku mulai melemah saat mendengar ucapan Erna, "Eh! Jadi manusia itu jangan suka ikut campur urusan orang! Pergi sana!" bentak mertuaku.
"Baik. Saya akan merekam kelakuan Tante ini dan mengirimkannya kepada Azam!" Erna mengancam kembali.
Mertuaku mengalah, ia menendang bokongku secara kasar dan membuatku jatuh tersungkur. Erna membantuku berdiri dan menuntunku ke rumahnya. Rasa sakit begitu terasa di tulang ekorku.
Sebelum kami mencapai pintu dapur, dengan sangat brutal, mertuaku membanting gelas kopi buatanku tadi ke wastafel cucian piring. Gelas itu pecah dan kopi tumpah ke mana-mana. Aku sempat menolehnya, namun tangan Erna menarikku agar dibiarkan saja.
Setelah sampai di teras rumah Erna, ia menyuruhku untuk segera pindah mencari kontrakan baru. Sebenarnya, Azam telah memberikan rumah untuk mertuaku, hanya saja azam memberikan pilihan padanya. Menempati rumah itu tanpa berhubungan lagi dengan Om Bayu, atau tinggal di kontrakan kecil dengan status simpanan suami orang itu.
Mertuaku lebih memilih tinggal di kontrakan kecil, agar masih bisa bersama suami orang itu.
"Sebaiknya hari ini, kita cari kontrakan aja?" Erna memberiku secangkir air hangat.
"Terima kasih, Na. Untung aja kamu cepat datang. Kalau tidak, si Nenek Lampir itu pasti sudah habis sama luapan emosiku!" Darahku mendesir hebat, wajahku memanas saat mengingat kejadian tadi. Sakit sekali. "Cari kontrakan perlu uang, Na. Sedangkan tabunganku baru ada 500 ribu, itupun uang Fito yang dikasih Azam kemarin."
"Pakai uangku dulu, cari kontrakan yang bisa jualan. Jadi, kamu gak harus memikirkan pengeluaran lagi kalau sudah ada pemasukan."
Memang benar apa yang dikatakan oleh Erna barusan, tetapi semua itu butuh modal yang tidak sedikit. Kalau meminjam uang Erna, aku malah takut jika nanti lama membayarnya. Mas Bo'eng juga tidak memberiku uang, padahal konter itu telah menjadi miliknya.
"Terus, kalau aku gantinya kelamaan, gimana?"
"Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Yang penting, kamu keluar dari rumah itu."
Sempat aku berpikir, untuk menjual ponsel pemberian dari Azam ini. Akan tetapi, aku takut jika Azam marah dan berpikir kalau aku tidak bisa merawat pemberiannya.
"Apa aku jual aja, ya, handphone dari Azam ini?" tanyaku seraya menyapu layar ponselku.
"Ya, jangan! Nanti Azam malahan marah lagi. Itu, kan, hadiah dari dia. Masa' mau dijual? Sudah, pakai aja uang tabunganku dulu. Lagian, itu untuk pendaftaran sekolah Mitta ke jenjang selanjutnya, masih lama, kok. Udah, tenang aja." Erna mengacungkan jempol ke wajahku. Kami tertawa kecil bersama.
Di saat seperti ini, hanya Erna yang selalu ada. ‘Aku akan membalasmu, Mas!’ ucapku dalam hati. Dendam yang kubiarkan tertanam di hati. Kelak, mereka semua akan memandangku dengan kedua matanya, bukan hanya sebelah saja.