webnovel

Bukan yang diinginkan

Kamu terima ya, Nak! Kasihan ayah kamu, keluarga Hardiwinata sudah menjalin hubungan baik dengan keluarga kita sejak dahulu. Ibu harap kamu mau melakukannya," ucap Hani, wanita berumur empat puluh sembilan tahun.

Zahra terlihat memejamkan mata sekilas, menarik napas panjang lantas mengembuskannya perlahan. "Baik, Bu! Demi Ayah dan Ibu, aku akan terima," timpal Zahra dengan seutas senyum di bibirnya.

Sabrina Azzahra Putri, umur dua puluh empat tahun, baru saja lulus dari Cairo university, mengambil jurusan kedokteran di sana.

Hani tersenyum senang, bukannya tega memaksa sang putri menikah dengan pria yang tidak dikenal atau cintai. Namun, karena sebuah janji jika mereka akan menjodohkan putri pertama mereka dengan putra pertama Hardiwinata, membuat Hani dan suami tidak punya pilihan lain.

Dua bulan yang lalu mereka menerima lamaran keluarga Hardiwinata, mereka menjodohkan Sandra—putri pertama mereka. Namun, satu bulan yang lalu Sandra divonis mengidap tumor otak, hingga akhirnya gadis itu menolak menikah, karena takut mempermalukan keluarga. Hingga pada akhirnya Sandra dikirim ke luar negeri untuk berobat.

Kini pilihan keluarga satu-satunya adalah Zahra, selain umur mereka hanya terpaut dua tahun, wajah Zahra dan Sandra hampir mirip.

"Ibu tahu kamu anak yang berbakti, terima kasih sudah mengerti kondisi Ibu dan Ayah." Hani memeluk putrinya, mengusap lembut surai panjang gadis itu.

Zahra sebenarnya belum ingin menikah, masih mempunyai cita-cita untuk menjadi dokter di sebuah rumah sakit. Zahra ingin mengabdi pada negara dengan menjadi seorang dokter sukarela.

Namun, sekali lagi demi berbakti kepada kedua orangtua yang sudah membesarkan dan merawatnya, Zahra akhirnya mengubur impiannya dan memprioritaskan keluarga.

***

Hari pernikahan pun tiba, keluarga Hardiwinata sudah diberi tahu sebelumnya tentang kondisi Sandra, mereka bahkan tidak masalah jika akhirnya Zahra yang menggantikan, mengingat jika gadis itu tak kalah cantik dan baik.

Akhirnya acara pernikahan pun dilaksanakan. Para saksi terdengar mengucapkan kata 'sah' setelah pemuda yang akan menikah dengan Zahra, selesai mengucapkan kalimat ijab qobul. Semuanya terlihat bahagia kemudian tampak menengadahkan tangan memanjatkan doa untuk kedua mempelai.

Zahra terlihat menunduk, tersirat sebuah senyuman di bibirnya. Gadis itu tidak menyangka akan menikah dengan pemuda pilihan ayahnya. Tidak ada penyesalan dalam hatinya, bagi Zahra asal bisa membahagiakan kedua orangtuanya itu sudah cukup.

Pesta pernikahan Zahra dengan pemuda bernama Raditya Hardiwinata, digelar begitu mewah di sebuah ballroom hotel. Keluarga Hardiwinata dan Sulaiman memang sama-sama kaya, mereka sudah menjalin hubungan bisnis secara turun temurun, karena itu ketika mereka ingin mempererat hubungan bisnis dengan sebuah tali pernikahan, mereka sama-sama menyambutnya dengan rasa bahagia.

"Nak, kamu bahagiakan?" tanya Hani sekali lagi ketika melihat putrinya duduk di pelaminan sendiri.

Raditya sedang menemani para koleganya, sehingga meninggalkan Zahra sendirian.

"Iya, Bu! Ibu Jangan khawatir, jika ayah dan Ibu saja bahagia, bagaimana bisa aku tidak bahagia," jawab Zahra dengan seutas senyum.

Hani membelai sisi wajah Zahra, mengulas senyum dan mengucap banyak syukur karena bisa memiliki putri sebaik Zahra.

"Kamu sudah sah menjadi istri Raditya, ingat untuk selalu mencintai dan mengabdi padanya. Meski terkadang suamimu bersalah atau menyakiti, tetap saja kamu harus bisa memaafkan dengan lapang." Pesan Hani yang disambut sebuah anggukan oleh Zahra.

***

Setelah acara resepsi, Zahra dan Raditya tampak masuk ke kamar yang menjadi salah satu fasilitas hotel. Zahra tampak melepas hiasan rambut dan membersihkan sisa make-up di depan cermin.

"Kamu bukan gadis yang aku inginkan, jadi jangan harap kamu bisa mendapatkan perlakuan yang seharusnya aku berikan untuk kakakmu," ucap Raditya dengan nada ketus.

Pemuda itu duduk di tepian ranjang, seraya menatap tidak suka pada Zahra.

Zahra sejenak memejamkan mata, lantas menoleh dengan seutas senyum.

"Iya Mas, aku nggak nuntut kok. Apa pun yang Mas katakan, aku akan melakukannya," balas Zahra dengan nada suara lembut dan halus.

Raditya mendecih, lantas membaringkan tubuh di atas tempat tidur dan menarik selimut. Zahra hanya bisa menghela napas, menatap punggung Raditya yang tidur dengan posisi miring membelakangi dirinya.

Setelah selesai membersihkan diri, Zahra pun ikut berbaring, menatap langit-langit kamar, mencoba tersenyum meski suaminya tidak mencintainya.

"Hanya demi keluarga, meski tidak mencintai atau menginginkan, aku akan tetap mengabdi," batin Zahra.

Akhirnya Zahra memejamkan mata, malam yang seharusnya menjadi malam yang dinanti oleh banyak pasangan baru, tidak berlaku bagi Raditya dan Zahra.

Raditya sebenarnya menolak keras pernikahan itu ketika tahu jika pengantinnya diganti, tapi paksaan keluarga dan ancaman dari ayahnya membuat Raditya tidak bisa berkutik. Raditya sudah terlanjur jatuh cinta pada Sandra yang dianggap lebih cantik dan memikat dari pada Zahra, meski wajah mereka hampir sama. Namun, karena orangtua Sandra malah meminta agar Zahra yang menikah, membuat pemuda itu merasa ditipu dan sakit hati.

***

Setelah menginap di hotel malam itu, Raditya mau tidak mau harus mengajak Zahra pulang ke rumah orangtua—Rumah keluarga Hardiwinata.

"Ingat! Jangan pernah mengadu pada keluargaku jika aku tidak menginginkanmu! Apalagi mengadu tentang tidak ada malam pertama!" Raditya mengingatkan, seraya fokus menyetir.

"Iya, Mas! Aku ngerti," ucap Zahra dengan nada lemah lembut.

"Jangan sok polos atau baik di hadapanku! Aku tidak akan pernah tertarik kepadamu!" hardik Raditya.

Zahra tidak menjawab, tetap tersenyum seperti yang biasa dilakukan.

Zahra selalu ingat apa kata ibu dan juga guru mengaji tempatnya menimba ilmu agama. Mereka berkata, "Bersikaplah baik kepada imammu, meski dia tidak baik padamu. Karena sesungguhnya jalan terangmu ada pada ikhlasnya suami. Tetaplah mengabdi dan melayani suami meski apa yang kamu lakukan tidak pernah berarti baginya."

Karena itu, meski Raditya pada akhirnya akan terus membenci atau membentaknya, Zahra tidak akan mengeluh ataupun menceritakan keburukan suaminya kepada orang lain.

***

Mobil mereka sudah memasuki halaman rumah Hardiwinata, Zahra bisa melihat rumah besar itu dengan air mancur di halaman depan dan pagar besar yang menjulang tinggi menutup area lingkungan rumah itu.

"Ayo turun!" perintah Raditya begitu sudah memarkirkan mobil di halaman.

Zahra hanya mengangguk, kemudian turun mengikuti langkah Raditya yang tidak mau menunggunya.

Begitu sampai di dalam, Zahra melihat kedua orangtua Raditya dan satu adik perempuannya sudah menunggu. Mereka menyambut Zahra dengan sebuah kehangatan.

"Akhirnya kalian pulang," ucap Liza—Ibu Raditya.

Wanita itu langsung memeluk Zahra, menyambut kedatangan anggota baru keluarga mereka penuh suka cita.

"Kalian sudah sarapan? Makan dulu, yuk!" ajak Liza.

Zahra hanya mengangguk dengan seutas senyum, masih mencoba membiasakan diri dengan keluarga Hardiwinata.