Selamat Menuju Tahun Baru💥💥
🎆🎇🎉
___________________________
Jam 1 malam, semua orang yang berada di rumah besar Alfano telah masuk kedunia mimpi mereka masing-masing. Tidak terkecuali Sebastin dan Defian.
Pasangan tersebut masih di sibukan dengan aktifitas panas mereka di atas ranjang.
"Sebastin lebih pelan... Hah, ah!"
Orang yang disebut namanya pun memelangkan kecepatannya menjadi santai dan tidak terburu-buru seperti yang dilakukannya tadi.
Walaupun mereka berdua sering melakukan seks, yang seperti ini yang selalu membuat Defian merasa malu. Dimana Sebastin memelankan goyangan pinggulnya selambat-lambat mungkin, sambil menatap Defian dengan tatapan seperti ingin menelan Defian hidup-hidup.
Sebastin menaruh kedua lengannya di atas kepala Defian, memastikan agar kepala Defian tidak terpentok di kepala tempat tidur, "Apa saja yang dikatakan kakek dan nenek padamu?"
Defian memegang bahu sebastin, "Tidak banyak. Hanya seputar cicit dan kehamilan. Aku jadi merasa bersalah tidak bisa memberikan apa yang mereka inginkan." Sebastin mencium dahi Defian dan tersenyum lembut pada sang istri.
"Apa yang akan kamu lakukan jika suatu hari nanti kamu bisa hamil!"
Defian tertawa pelan mendengar ucapan Sebastin. Tapi hal itu tidak bisa menyembunyikan perasaan sedih yang bergejolak di dalam hatinya. Defian terlihat tertawa, namun sesuatu mengalir dan keluar tanpa permisi dari kedua bola mata cantinya.
Sebastin menghentikan aktifitas memompanya ketika melihat air bening jatuh dan membasahi kedua bola mata istrinya.
"Maafkan aku Sebastin."
"Apa kamu tidak suka, jika suatu hari nanti kamu bisa mengandung anak kita?"
Defian menggelengkan kepalanya, "Aku sangat senang. Tapi aku bukan seorang wanita yang bisa memberikanmu anak."
Sebastin menghapus air mata Defian.
"Apa sekarang kamu ingin memiliki anak?"
Defian tertawa, kali ini dia tertawa dengan sungguh-sungguh. Defian menganggukan kepalanya.
"Kalau begitu mulai dari malam ini, aku akan membuatmu mengandung anakku."
Ucapan itu hanya dibalas senyum indah oleh Defian, "Anak kita."
Mereka berdua tertawa dan melanjutkan kembali aktifitas panas yang sempat tertunda.
Satu hal yang pasi, yang Defian sendiri tidak menyadari. Bahwa apa yang dikatakan Alfano Mia Sebastin adalah hal yang serius dan nyata.
Pria itu sama sekali tidak sedang bercanda dengan ucapanya.
Keesokan paginya, beberapa orang sudah berkumpul diruang makan untuk sarapan pagi bersama.
Sebastin dan Defian datang dengan wajah ceria.
Gabriel yang sedang mengolesi selei di atas roti miliknya, merasakan ada sesuatu yang sedikit mengganjal. Gabriel menatap anak dan menantunya.
"Pagi semua." Sapa Sebastin dengan wajah berseri-seri.
"Pagi." Jawab beberapa orang yang tengah sibuk dengan sarapan mereka.
Sebastin menarik kursi dan mempersilahkan Defian duduk.
"Apa yang ingin kamu makan? Biar aku yang akan mengambilnya." Tanya Sebastin dengan penuh perhatian.
"Berikan aku roti yang ada di sampingmu."
Bagi beberapa orang mungkin itu adalah hal yang biasa-biasa saja. Tapi itu tidak bagi keluarga Alfano.
Gabriel menatap mereka lekat. Sedangkan Ayah dan Ibu Gabriel hanya tersenyum sambil meminum teh milik mereka.
Disisi lain, Arsen mengambil beberapa roti yang sudah ia olesi selai coklat di atas piring dan menuangkan susu di dalam gelas, Van Van yang melihat hal itu langsung saja menegurnya.
"Arsen, untuk apa roti sebanyak itu?"
Semua orang yang berada di ruang makan menatap Arsen.
"Aku akan memberikannya pada Firaz. Dia lagi demam... Paman, nenek, kakek. Maaf aku tidak sopan meninggalkan meja makan begitu saja."
Gabriel, "Tidak apa-apa. Rawat temanmu dengan baik, dan jangan lupa panggil dokter untuk memeriksanya."
Defian yang setengah jalan memasuki rotinya kedalam mulut kini saling menatap dengan Akemi yang saat ini memiliki keadaan yang sama dengan dirinya.
Mereka berdua baru menyadari ternyata teman mereka yang bernama Firaz itu, masih ada dimuka bumi dan saat ini tengah mengalami demam.
Van Van, "Tidak perlu khawatir, Arsen yang membuatnya sakit. Jadi biarkan dia yang mengurusnya."
Akemi, "..." Aku tidak paham.
Berbeda dengan respon Akemi yang biasa-biasa saja. Defian menjatuhkan roti yang ada di tangannya ketika mendengar ucapan dari ketua Osis Blue tersebut.
Yah, Defian tahu betul apa yang dikatakan Van Van barusan, karena Defian pernah mengalami hal yang sama ketika dia bersama dengan Sebastin.
Selesai makan, Defian menarik Akemi dipojok-pojok ruangan untuk ngerumpi bersama.
Sebastin berjalan menuju halaman depan dan bertanya pada Kakek dan Neneknya serta Van Van yang kini tengah sibuk bermaim catur dengan Alfano, "Apa ada yang melihat Defian?"
Nenek, "Apa gunanya benda persegi yang mahal milikmu itu cucuku~"
"Ponsel miliknya ada bersamaku." Ucap Sebastin sambil menunjukan ponsel milik istrinya.
Van Van menjalankan raja yang ada dipapan catur dan memakan dua prajurit dan satu jendral milil kakek Alfano, "Tidak perlu dicari. Istrimu sedang bergosip dengan Akemi di pojokan."
Sebastin mengernyit, "Tahu dari mana?"
Van Van mengalihkan pandangannya dari papan catur dan menatap Sebastin, "Begitulah kerjaan mereka sehari-hari di Blue."
Defian menarik Akemi di dalam kamar kosong yang bersebelahan dengan kamar yang ditempati Firaz.
"Apa yang kamu katakan tadi itu benar?" Tanya Akemi memastikan.
"Apa aku pernah membohongimu?"
Akemi menggelengkan kepalanya.
Mereka berdua berjalan menghampiri tembok dan menempelkan telinga mereka ditembok kamar yang membatasi kamar kosong tersebut dengan kamar Firaz.
Fokus ... Fokus ... Dan fokus.
Terdengar suara samar-samar di kamar sebelah, dan terdengar beberapa suara samar seperti suara desahan seseorang. Akemi dan Defian saling memandang.
"Akemi/Defian." Panggil dua orang pria secara bersamaan.
Kedua orang yang tengah sibuk menguping itu terlonjak kaget.
"Sebastin/Van Van."
Bagaimana perasaanmu jika ketahuan melakukan sesuatu seperti yang di alami Akemi dan Defian saat ini?!
Sangat.me.ma.lu.kan.
Mereka berdua disidang didalam kamar yang terpisah.
Sebastin berdiri sambil melipat tangannya di depan dada dan menatap istrinya yang saat ini tertunduk malu diatas tempat tidur.
"Apa ada yang ingin kamu katakan, sayang."
Defian menatap Sebastin sambil memasang wajah bodoh, "Maaf."
Sebastin menghampiri Defian dan memeluknya, "Jangan ulangi, itu prifasi orang."
"Umm..."
Sebastin menggendong Defian dan membawanya ke jendela kamar mereka yang masih tertutup.
"Apa yang kamu lakukan?" Sebastin membalikan posis tubuh Defian membelakanginya, dan membuka pakaian miliknya beserta pakaian milik sang istri. Ia mengangkat sebelah kaki sang istri ke jendela.
Defian panik, diluar jendela lantai dua ini. Defian bisa melihat dengan jelas, Ayah, kakek dan nenek Sebastin yang sedang duduk ditaman halaman depan rumah.
Sebastin mencium punggung Defian bertubi-tubi, serta tanpa basa basi langsung menyambar bibir Defian. Tidak lupa jari-jari nakalnya itu telah mengaduk-aduk krisan milik sang istri.
Bersambung ...
Selesai pengetikan pada hari–
Minggu, 29 Desember 2019
Akan saya lanjutkan di part berikutnya.
😊Sampai ketemu dua hari kemudian...
👐 See you again two days later