Sudah dua hari ini, Sebastin dan Defian pisah ranjang tanpa ada alasan sedikitpun dari Sebastin. Jujur saja Defian sudah merasa risih dengan sikap Sebastin padanya. Setiap Defian bertanya pada Sebastin 'apa yang sebenarnya terjadi', Sebastin sama sekali tidak menjawabnya, bahkan setiap Defian berbicara dengannya, Sebastin hanya menatap Defian dengan tatapan kosong, dan setelah itu pergi meninggalkan Defian di tempatnya sendirian.
Seorang pria yang selalu saja menggodanya dan melontarkan kata-kata kotor namun romantis itu, kini telah berubah drastis seperti bukan dirinya lagi. Kalau bisa, Defian ingin Sebastin yang selalu bertingkah cabul itu kembali. Defian rela di cabuli sampai mati, asalkan Sebastin tidak lagi menghiraukannya dan menganggap seakan-akan dirinya tidak ada di rumah ini.
Mungkin Sebastin sangat menyukai gadis itu. Itulah kata yang selalu di ucapkan Defian pada dirinya sendiri.
Minggu pagi sekitar jam 10, Defian mengetuk pintu kamar Sebastin. Namun tidak ada jawaban ataupun tanda-tanda Sebastin akan membuka pintu kamarnya.
"Tidak biasanya, Sebastin belum bangun jam segini?"
Defian membuka pintu kamar dengan hati-hati, dia menatap Sebastin yang sedang duduk menatap luar jendela.
'Ternyata sudah bangun'. Pikir Defian.
"Sebastin..."
Seperti biasanya tidak ada jawaban.
"Ini hari minggu ... Kamu .. ah maksudku kita berdua tidak kerumah sakit?" Kata Defian ragu-ragu.
"Kau saja yang pergi." Kata Sebastin tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela kamar.
Defian, "..." Apa maksudnya! Untuk apa aku ke rumah sakit, bahkan aku sendiri tidak tahu apa yang akan aku lakukan di sana.
Defian menghembuskan napas dan duduk disamping Sebastin, "Kenapa tidak berbagi saja padaku jika kamu memiliki masalah."
Defian meraih dan menggenggam tangan Sebastin, namun seketika Defian terkejut ketika mendapatkan respon penolakan dari Sebastin.
"Keluar."
"Sebastin" Defian menatap Sebastin bingung.
Sebastin menatap Defian dengan wajah marah, "Keluar."
Apa yang bisa Defian lakukan jika sudah seperti ini. Defian keluar dengan wajah memucat.
Wajah itu dan aurah itu, benar-benar adalah aurah Sebastin yang sering Defian dengar dari orang-orang. Dan wajah serta aurah menindas itu, kini sudah Sebastin tunjukan secara langsung padanya.
Defian turun di lantai satu, di sana sudah berkumpul para asisten rumah tangga yang Defianpun jarang melihatnya.
"Tuan Defian." Sapa khawatir seorang wanita yang cukup berusia.
"Maaf jika aku lancang, sebenarnya apa yang telah terjadi?"
Pertanyaan wanita berusia yang merupakan kepala pelayan itu, hanya di jawab gelengan kepala oleh Defian.
Ting ning... (bunyi bel pintu)
Salah satu asisten rumah tangga berjalan menuju pintu.
"Bibi biar aku saja yang membukanya, kalian semua istrahat saja dulu."
"Oh, baiklah."
Defian membuka pintu rumah dan tamu yang tidak terduga telah datang di rumah mereka.
Mika tersenyum manis pada Defian, "Hallo" Ucap Mika sambil melambaikan tangannya.
"Ha–halo, silahkan masuk." Defian mempersilahkan Mika masuk.
"Silahkan duduk."
Mika tersenyum ramah, "Makasih"
Asisten rumah tangga membawa teh dan beberapa cemilan di atas meja.
Defian menatap penampilan Mika dari kepala hingga kaki. Sangat elegan dan cantik.
Mika melihat-lihat sekeliling dan kemudian menatap Defian, "Apa Sebastin sudah bersiap-siap?" Tanya Mika.
"Eh? Bersiap-siap apa?" Bingung Defian.
"Kamu sudah tiba." Terdengar suara Sebastin di tangga rumah.
Mika tersenyum dan berdiri dari duduknya, "Seperti yang kamu lihat."
"Ayo pergi." Kata Sebastin, bahkan melirik Defianpun tidak.
"Ok," Mika menatap Defian, "Defian aku dan Sebastin memiliki beberapa urusan di luar. Apa kamu tidak keberatan jika aku meminjam suamimu?"
"Oh, iya"
"Kalau gitu aku pergi."
Kejadian ini terus berulang, terus berulang dan terus berulang.
Setiap hari Sebastin selalu keluar dan bahkan terkadang 2 sampai 5 hari tidak kembali kerumah.
Dan setiap Defian ingin bertanya, Sebastin selalu menatapnya dengan wajah dingin.
Setiap hari, Defian menunggu Sebastin kembali kerumah.
"Sebastin kamu dari mana saj–"
"Diam." Potong Sebastin dengan suarah penuh penekanan, dan berlalu pergi menuju kamarnya, meninggalkan Defian berdiri sendirian di lantai satu.
Besok malamnya, Defian tidak lagi menunggu Sebastin di ruang tamu seperti hari-hari biasa yang dia lakukan. Defian berbaring di tempat tidur dan sama sekali tidak memiliki niat untuk menutup matanya.
Sudah jam 1 malam tidak ada tanda-tanda suara mobil Sebastin, "Dia tidak pulang lagi."
Tapi beberapa menit kemudian, terdengar suara mobil. Defian bangun dan berlari ke jendela kamar yang sudah beberapa minggu ini di tempati.
Sebastin memarkirkan mobil miliknya di halaman rumah, Defian melihat Sebastin keluar dari mobil bersama seorang wanita yang diketahui Defian adalah Mika 'kekasih masa kecil Sebastin'.
Pintu luar rumah terbuka, Defian berjalan membuka pintu kamarnya untuk menyambut kedatangan mereka.
Namun setelah itu Defian hanya bisa berdiri di di depan pintu kamarnya. Adegan yang selalu dilakukan Sebastin dan Mika, membuat Defian merasa sangat kecewa dan putus asa.
Defian kembali kedalam kamarnya dan membungkus dirinya dengan selimut dalam keadaan kedua tangannya gemetar.
"Jika dia masih menyukainya, seharusnya dia tidak usah membuat ikatan denganku." Marah Defian. Dia bangkit dari kasur dan berjalan menuju laci nakas, mengambil gunting yang berada di dalamnya.
Defian berniat menggunting jari miliknya sendiri agar cincin bodoh itu terlepas darinya. Pada saat mulai menggunting, tiba-tiba saja gunting itu terlempar melayang keluar jendela.
Defian terkejut.
Sring ... Sring ... (bunyi rantai borgol)
Minggu paginya, di meja makan sudah terdapat tamu tambahan di pagi hari.
"Mika jam berapa kamu datang?" Tanya Defian pura-pura bodoh.
"Jam 11 malam" Ucap Mika berbohong, "aku mengantar Sebastin, semalam dia mabuk. Aku takut dia tidak bisa mengendarai mobilnya." Kata Mika sambil tersenyum ramah.
"Oh, kenapa kamu tidak kembali setelah itu?" Tanya Defian sedikit menyindir.
Mika tersenyum kaku, "Ah itu..."
"Aku menyuruhnya untuk tidak kembali." Potong Sebastin.
Defian, "Oh"
Mendengar itu Defian menaru rotinya di atas piring dan langsung berdiri dari kursinya meninggalkan dua orang tersebut.
Defian masuk kedalam kamar dengan keadaan diam, tidak menangis maupun marah. Dia hanya memandang cincin merah bergaris biru itu di tangannya dan sesekali menariknya keluar dari jarinya. Defian menghembuskan napas pasrah dan berbaring di tempat tidur.
.
.
.
Sebuah tangan melingkari pinggang Defian dari belakang. Defian terlonjak kaget dan refleks memegang tangan tersebut, orang dibelakangnya menaruh kepalanya di ceruk leher Defian.
"Sebastin," Panggil Defian.
"Aku sangat mencintaimu. Defian jangan tinggalkan aku, hmm." Ucap Sebastin senduh dan memeluk erat tubuh istrinya.
"Jangan tinggalkan aku, jangan tinggalkan aku, jangan tinggalkan aku..." Kata-kata itu terus di ucapkan Sebastin berulang-ulang.
Defian bangun dari tidurnya dalam keadaan linglung, "Ternyata cuma mimpi." Defian bangun dan duduk di atas kasur, dia menatap jam beker di atas nakas,
"Sudah jam 5 sore. Hari minggu yang sangat membosankan."
Defian keluar dari kamarnya dan mendapatkan Mika sedang memeluk mesra Sebastin sambil menaruh kepalanya di bahu milik suaminya.
Defian pikir gadis itu sudah pulang, ternyata masih berada di rumah mereka. Jujur saja Defian ingin marah dan menghajar wanita itu. Tapi dia mengingat kembali perkataan Mika pada saat acara makan malam beberapa minggu yang lalu.
Bahasa itu masih tertancap dalam di jantung hatinya,
'Apa kamu ingat, kamu pernah mengatakan padaku di usia kita yang menginjak 12 tahun, bahwa besar nanti kamu ingin menikahiku'
'di usiaku yang ke 15. Ibuku mengatakan padamu untuk mencoba memakaikan cincin itu pada jariku dan hasilnya, ternyata aku bukan pasanganmu. Menyedihkan. Kita berdua terlihat sangat menyedihkan pada saat itu. Kamu menangis begitu juga dengan diriku. Jika tidak ada cincin pengikat itu, mungkin sampai sekarang kita masih bersama'.
Kata-kata itu membuat Defian merasa sangat bersalah kepada dua pasangan itu. Defian menganggukan kepalanya, "Benar. Seharusnya aku tidak ada di antara mereka berdua. Jika Sebastin bersamanya, pasti Sebastin merasa sangat bahagia, dia juga dapat memiliki anak, dan para tetua juga akan merasa sangat senang. Jika hidup denganku, apa yang bisa Sebastin dapatkan!"
Bersambung ...
Selasa, 7 Januari 2020